sunan kalijaga
sunan kalijaga

Internalisasi Ajaran Tasawuf Sunan Kalijaga

Tidak banyak orang yang tahu, kalau Sunan Kalijaga sesungguhnya tokoh sufi atau tasawuf—di samping sebagai juru dakwah penyiar Islam—yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Peran dan kiprahnya oleh Widji Saksono (1996) dikatakan sebagai salah seorang dari sunan-sunan lain dalam lingkaran Wali Sanga yang mempunyai andil besar dalam “mengislamkan tanah Jawa”.

Sunan Kalijaga merupakan tokoh fenomenal, yang oleh masyarakat luas diakui sebagai Guru ing Tanah Jawi. Jasanya yang luar biasa besar adalah ketika ia mampu menyampaikan ajaran agama Islam dengan cara wicaksana, dan mudah diterima oleh berbagai lapisan sosial.

Membaca keseluruhan tentang sosok Kanjeng Sultan secara personal, terasa sangat unik dan mengagumkan. Dalam cerita-cerita jenaka, misalnya dikisahkan, Syaikh Siti Jenar—wali yang paling terkenal setelah Sunan Kalijaga—demikian keramat dan sakti, sehingga delapan wali yang lain kecuali Sunan Kalijaga dapat diatasai dan dikalahkannya.

Disebutkan bahwa Syaikh Siti Jenar itu bisa masuk bumi waktu dikejar-kejar oleh Sunan Kalijaga untuk menangkapnya. Di bawah tanah yang gelap gulita serta sempit-sesak itu lantaran keramatnya Syaikh Siti Jenar menciptakannya menjadi terang benderang dan luas-lapang seluas alam semesta lengkap dengan langitnya yang cerah. Untuk menandingi ini, maka Sunan Kalijaga menciptakan mendung, hujan dan topan badai yang amat dahsyat, sehingga alam di bawah bumi laksana bongkah, kembali gelap gulita dan sesak sempit seperti sediakala, bahkan lebih sempit dari yang semestinya. Itu terjadi lantaran kesaktian Sunan Kalijaga (Saksono, 1996).

Meski Syaikh Siti Jenar dan Sultan Kalijaga sama-sama mengajarkan makrifat, namun caranya berbeda. Menurut Achmad Chodjim (2004), Syaikh Siti Jenar lebih menitikberatkan pada olah batin untuk pencapaian “Diri Sejati”, sedangkan Sunan Kalijaga lebih memfokukan pengalaman praktis kehidupan sehari-hari orang Jawa dalam memahami asal-usul dan tujuan hidup (sangkan paraning dumadi).

Sangkan Paraning Dumadi

Pendekatan Raden Syahid—nama kecil Sunan Kalijaga, atau disebut pula Syaikh Melaya karena dia adalah putera Tumenggung Melayakusuma di Jepara—dalam menjelaskan wejangan dengan berdasarkan kepada tiga hal, yaitu momong, momor, dan momot. Purwadi (2005) menjelaskan, bahwa momong berarti bersedia untuk mengemong, mengasuh, membimbing, dan mengarahkan. Sunan Kalijaga memperlakukan pihak yang lebih lemah seperti sikap orang tua yang sedang mengasuh anak, seperti Nyai dengan santrinya, seperti guru dan muridnya.

Momor berarti bersedia untuk bergaul, bercampur, berkawan, dan bersahabat. Hal ini dimaksudkan agar pihak lain bisa merasa akrab. Sunan Kalijaga dihormati oleh segenap masyarakat Jawa karena kebijaksanaanya dalam melakukan pergaulan sehari-hari. Momot berarti kesediaan untuk menampung aspirasi dan inspirasi dari berbagai kalangan yang beraneka ragam. Sunan Kalijaga sangat berhasil menempatkan posisi keagamaan, kekuasaan, dan kebudayaan.

Secara lebih spesifik, ajaran tasawuf Sunan Kalijaga dapat ditemukan dalam berbagai sumber, antara lain dari babat Serat dan Suluk. Ajaran tasawufnya menyangkut beberapa aspek pokok ajaran yaitu mengenai konsep pancamaya, ilmu hakikat, sangkan paraning dumadi, roh Ilafi (ruh Idhafi), dan ajaran tentang fana, baqa, dan nubuat.

Ajaran sangkan paraning dumadi seringkali diinternalisasi oleh para wali dan penganut mistik kejawen. Sunan Kalijaga pernah memberikan wejangan serupa yang tersimpul dalam Tembang Dhandhanggula sebagai berikut: “Terjemahan: hidup di dunia ini tidak lama/ seperti jika kamu pergi ke pasar/ tidak akan ke pasar terus/ pastilah akan kembali juga/ ke rumah asalnya/ maka jangan sampai keliru/ maka ketahuilah/ ilmu sangkan paran/ agar jangan sampai kesasar”.

Suwardi Endraswara (2006) menafsirkan makna tersirat dari ajaran Sunan Kalijaga di atas. Bahwa menurutnya, pesan mistik tembang tersebut menghendaki bahwa hidup di dunia ini tidak lama, ibarat manusia pergi ke pasar, akan segera kembali ke rumah asalnya tadi, karena itu jangan sampai ragu-ragu terhadap asal-usulnya, agar jangan sampai salah jalan. Pesan ini menunjukkan bahwa manusia hidup di dunia sekadar mampir ngombe (singgah untuk minum), karena suatu ketika akan kembali kepada Tuhan. Tuhan adalah tumpuan sangkan paraning dumadi.


Ali Usman, pengurus Lakpesdam PWNU DIY

Bagikan Artikel ini:

About redaksi

Check Also

Mensos di Pontianak

Ketika Doa Menyatukan Hati: Gus Ipul Temukan Makna Toleransi di Sekolah Rakyat Pontianak

Pontianak — Di tengah riuh suara anak-anak yang sedang makan siang, suasana hening seketika menyelimuti …

KH M Hilmi Assidiqi

Jihad Kebangsaan Santri: Bangun Bangsa Sesuai Kemampuan untuk Wujudkan Cita-cita Luhur Berdasarkan Pancasila

Jakarta — Perjuangan santri tidak hanya berkutat pada spiritualitas, tetapi juga pada semangat kebangsaan. Ranah …