musik haram
musik haram

Islam Mengharamkan Musik? Simak Pandangan Rasulullah, Sahabat dan para Ulama

Benarkah musik itu haram? Apakah memang Islam melarang dan membenci musik? Adakah dalil yang menegaskan keharamannya?


Jagad maya kembali dikacaukan oleh podcast Ahmad Dani dan Felix Siauw tentang “Musik Haram”. Padahal, semua sudah pada kenal keduanya sebagai sosok yang sama sekali tidak memiliki kompetensi dalam bidang ilmu agama. Khususnya fikih. Andaipun ujaran mereka benar, tentu harus disertai fakta dalil sebagai dasarnya.

Lalu, mengapa umat Islam yang memiliki kapabilitas ilmu agama di dunia maya harus merespon ujaran tak berdasar mereka? Tentu penting untuk dilakukan supaya tradisi “tutur tak berfaedah” itu diketahui khalayak ramai. Sebab, semua kalangan pengustad selebritis hanya bermain di wilayah agama untuk tujuan ketenaran belaka. Hal ini terbukti dari sikap ngawur dan asal-asalan ketika berbicara hukum Islam.

Oleh sebab itu, penting untuk membahas hukum musik berdasar pada literatur hukum Islam, supaya persoalan hukum musik dalam Islam ini menjadi jernih dan bening.

Seluruh ulama sepakat bahwa musik haram bila ada unsur kemaksiatan yang nyata, menimbulkan fitnah dan melalaikan kewajiban. Dengan demikian, pada asalnya musik tidak haram. Keharamannya lebih disebabkan oleh sesuatu yang mengikuti atau menempel padanya.

Dalam bahasa fikih, keharaman seperti ini disebut dengan istilah “haram li ghairihi” (haram karena ada faktor lain), bukan “haram li dzatihi” (memang haram pada asalnya). Seperti daging sapi hukum asalnya halal dikonsumsi. Tapi daging sapi yang diperoleh dengan cara mencuri hukumnya haram.

Ulama yang Mengharamkan Musik dan Lagu

Dua orang sahabat Nabi, Abdullah bin Mas’ud dan Abdullah bin Abbas dengan tegas mengajarkan musik dan nyanyian. Abdullah bin Mas’ud berkata, “Nyanyian itu menumbuhkan sifat munafik dalam hati, sebagaima air menyebabkan tumbuhnya tanaman”. (HR. Abu Daud)

Pendapat ini berangkat dari ayat al Qur’an yang melarang lahwu al hadis (QS. Luqman: 6). Dalam beberapa kitab tafsir, seperti tafsir al Thabari, para ulama menafsiri kalimat tersebut mengutip pendapat Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas yang menyatakan bahwa yang dimaksud lahwu al hadis (perkataan yang tidak berguna) adalah musik.

Rasulullah bersabda, “Akan ada dari umatku satu kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamar dan alat musik” (HR. Bukhari).

Berdasar pada dalil-dalil ini, sebagian ulama kemudian mengharamkan musik serta nyanyian. Namun demikian, hukum musik dan nyanyian ini tidak berhenti sampai disini. Sebab sebagian ulama ada yang berpendapat sebaliknya. Musik halal.

Ulama yang Menghalalkan Musik

Tentu saja kehalalan musik ini dengan catatan harus bebas dari tiga hal yang telah disebutkan sebelumnya. Yaitu, tidak disertai kemaksiatan, terjaga dari fitnah dan tidak menjadi penyebab lalainya kewajiban.

Dari kalangan sahabat Nabi ada beberapa orang yang menghalalkan musik. Di antaranya Abdullah bin Zubair dan Abdullah bin Ja’far.

Imam al Syaukani dalam Nail al Authar menulis bahwa Abdullah bin Zubair memiliki budak-budak wanita dan alat musik berupa gitar. Suatu ketika Abdullah bin Umar datang bertamu ke rumahnya dan di sampingnya ada gitar. Ia bertanya, “Apa ini wahai sahabat Rasulullah? Kemudian Abdullah bin Zubair mengambilkan untuknya. Ibnu Umar merenunginya kemudian berkata, “Ini Mizan Syami (alat musik) dari Syam? Abdullah bin Zubair berkata, “Dengan alat ini akal seseorang bisa seimbang”.

Dari Aisyah, ia berkata, “Abu Bakar masuk menemuiku, saat itu di sisiku ada dua orang budak tetangga kaum Anshar yang sedang bersenandung, mengingatkan kepada peristiwa pembantaian kaum Anshar pada perang Bu’ats. Aisyah melanjutkan kisahnya, “Kedua budak itu tidaklah begitu pandai bersenandung. Maka Abu Bakar berkata, “Seruling-seruling setan (kalian perdengarkan) di kediaman Rasulullah?”. Peristiwa itu terjadi pada hari raya ‘id. Maka Rasulullah bersabda, “Wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum memiliki hari raya, dan sekarang ini hari raya kita”. (HR. Bukhari)

Hadis memberi penegasan bahwa musik dan nyanyian itu tidak dilarang oleh Nabi. Sebab, seandainya beliau melarangnya tentu sedari awal beliau tidak akan mengijinkan budak-budak tersebut bernyanyi dan bermain musik di rumahnya.

Pada hadis yang lain Aisyah berkata, bahwasanya beliau menikahkan salah seorang saudarinya dengan dengan pemuda dari kaum Anshar, lalu Nabi mengatakan kepada Aisyah, “Tidakkah kalian menghadirkan lahw (musik)?, kaum Anshar  itu kaum yang suka lahw” (HR. Bukhari).

Kesimpulannya, hukum musik dan nyanyian terbelah menjadi dua. Sebagian ulama mengharamkan sementara sebagian lagi berpendapat boleh dengan catatan-catatan yang telah dijelaskan di awal. Oleh karena itu, tidak bijak kalau hanya mengambil satu pendapat dan menafikan pendapat yang lain. Apalagi ngotot membenarkan satu pendapat saja.

Bagikan Artikel ini:

About Faizatul Ummah

Alumni Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo dan Bendahara Umum divisi Politik, Hukum dan Advokasi di PC Fatayat NU KKR

Check Also

Toa masjid

Toa dan Sejarah Tadarus Al Qur’an di Bulan Ramadan

Ramadan kali ini pun tak luput dari perdebatan soal pengeras suara (TOA). Polemik bermula dari …

manfaat tidur

Hati-hati, Ternyata Ada Tidur yang Membatalkan Puasa

Pemahaman tekstual terhadap dalil agama bisa berakibat fatal. Pemaknaan apa adanya tersebut berkontribusi memberikan informasi …