islam nusantara
islam nusantara

Islam Moderat versi Indonesia dan NU

Hampir lebih dari 85 persen dari 250 juta penduduk Indonesia mengidentifikasi diri mereka sebagai seorang muslim. Komunitas muslim ini sering dipahami bersama dalam dua bagian orientasi Islam, Islam tradisional dan modernis, yang berbeda dalam hubungan dialogis.

Islam tradisional lebih dikenal sebagai Islam Nusantara atau Islam Jawa yang dipahami bersama sebagai orientasi yang diilhami dari sufisme. Bahkan sering digeneralisasikan dalam wacana Nahdlatul Ulama (NU) sebagai Islam Indonesia, sehingga mengabaikan perbedaan halus di antara keduanya.

Istilah Islam Nusantara adalah bentuk hibrida dari Islam yang telah berkembang pesat di Nusantara, terutama di Pulau Jawa sejak abad ke-16. Yang mana secara bertahap mengalami percampuran dengan hukum adat, Hindu, Budha, dan kejawen atau praktik mistik Jawa.

Meskipun sering dipandang sebagai Islam yang dikembangkan secara ekslusif dengan istilah lokal, nyatanya tidak serta merta demikian. Terdapat unsur global yang juga menyelimuti pemahaman Islam Nusantara, melalui arus pertukaran informasi, masyarakat, dan budaya. Bahkan pada abad ke-19 banyak orang Jawa pergi haji ke Mekah, belajar Islam di Mesir, dan membawa ide-ide baru mengenai Islam ke Nusantara.

Begitupun Islam modernis, di tengah berkembangnya Islam tradisional, mereka pun demikian. Islam modernis terkadang juga disebut Islam skripturalis yang sering mempertahankan bahwa apa pun yang ditulis dalam Kitab Suci secara harfiah selalu tidak bisa salah dan selalu relevan dan fungsional untuk segala tempat dan segala zaman hingga dunia ini kiamat.

Mereka berjuang untuk interpretasi literal. Walaupun nyatanya tidak semua Islam modernis demikian. Kaum modernis bertujuan untuk memurnikan iman dan menginginkan Islam terbebas dari pertambahan budaya.

Di Indonesia, secara sadar terbentuk dua golongan organisasi yang dikaitkan dengan dua orientasi Islam ini. NU untuk Islam tradisionalis, sedangkan Muhammadiyah untuk Islam modernis. Kedua memiliki pengaruh yang sangat besar di elemen Muslim Indonesia.

NU, dengan perkiraan mencapai 45 juta anggota, yang merupakan organisasi Islam Sunni terbesar. Sedangkan Muhammadiyah mengikuti di belakangnya dengan perkiraan memiliki 29 juta anggota. NU didirikan pada tahun 1926 oleh para teolog Islam, yang mengklaim sebagai pewaris Walisongo, Sembilan wali sufi yang diyakini memperkenalkan Islam di Pulau Jawa.

Gagasan Islam Nusantara yang diusung NU sekitar tahun 2015 adalah sebagai bentuk alternatif Islam global, yang menurut mereka saat ini Islam terlalu didominasi oleh perspektif Arab atau Timur Tengah. NU mulai mempromosikan Islam Nusantara sebagai alternatif Islam moderat, Islam wasathiyyah, atau Islam jalan tengah. Yang diyakini bersama sebagai penangkal radikalisme Islam.

Istilah Islam Nusantara telah beredar selama beberapa dekade, dan telah digunakan oleh NU dan Muhammadiyah, tetapi NU telah memberikan konsep tersebut fokus yang jauh lebih spesifik. Menggunakannya untuk memuji nilai-nilai Islamisasi Jawa yang sensitif secara budaya dan dominan dan untuk menolak apa yang dilihatnya sebagai bentuk-bentuk Islam yang di-Arabkan, seperti Salafisme dan Islamisme gaya Ikhwanul Muslimin.

Perlu dicatat di sini bahwa istilah radikal dan moderat adalah istilah yang selalu diperdebatkan. Radikalisme biasanya dipandang sebagai ancaman bagi bangsa Indonesia yang multi-agama dan multi-etnis.

Sayangnya, agak sedikit longgar ketika merujuk pada sejumlah praktik terhadap kata-kata radikal dan moderat. Seseorang tidak harus terlibat dalam praktik kekerasan untuk disebut radikal. Dalam wacana publik, derajat moderatisme Islam Indonesia seringkali ditentukan oleh bagaimana umat Islam mendekati Al-Qur’an dan hadits.

Mereka yang sangat bergantung pada konteks dalam memahami teks disebut sebagai Muslim moderat. Di sisi lain, mereka yang menggunakan pendekatan literal atau garis keras dalam wacana publik dapat dianggap radikal. Baik Islam radikal dan moderat, dengan demikian memiliki banyak makna yang dapat berubah-ubah.

Kembali fokus pada gagasan Islam Nusantara, NU secara resmi pada kongres tahunan di tahun 2015 mengadopsi gagasan tersebut sebagai pilar konseptual, baik di dalam negeri maupun global. Guna membantu mempromosikan Islam Nusantara di skala internasional, NU telah membuat semacam kegiatan internasional di Winston-Salem, North Carolina, Amerika Serikat.

Selain itu, NU telah mendirikan cabangnya berbagai negara eropa seperti Jerman, Prancis, Inggris, Belgia, Spanyol, hingga Rusia. NU juga bekerja sama dengan Universitas Wina, yang mengumpulkan dan menganalisis propaganda ISIS, guna mempersiapkan tanggapan maupun kontra narasi terhadap pesan-pesan radikalisme dan terorisme.

Menurut Burhanudin (2014) upaya NU untuk mempromosikan Islam moderat sebagai alternatif dari ancaman asing yang dirasakan Islam bukanlah hal baru. Selama era kolonial, Belanda sudah merasa khawatir terhadap sentimen pan-Islam yang akan memicu perlawanan. Belanda mengarahkan kebijakan mereka untuk menahan fanatisme Muslim dan berusaha menjaga ketertiban dengan menekankan kepercayaan lokal.

Islam moderat telah menjadi bagian penting dari diplomasi luar negeri selama hampir dua dekade. Hoesterey (2020) mengamati bahwa meskipun Indonesia bukan negara Islam, politisi dan pemimpin masyarakat sipil agamanya tetap memasukkan agama ke dalam kebijakan luar negeri maupun agenda diplomasi publiknya.

Islam moderat sudah menjadi bagian dari pendekatan soft power terhadap kebijakan luar negeri Indonesia. Peran Islam moderat dalam kebijakan luar negeri dipengaruhi oleh masing-masing rezim politik, politik internasional, dan agenda aktor non-negara Islam domestik.

Seperti NU yang perannya dalam mempengaruhi kebijakan luar negeri dimungkinkan oleh demokratisasi setelah jatuhnya Rezim Suharto pada tahun 1998. Atas pengertian ini, negara bukan satu-satunya aktor yang menentukan citra Islam moderat yang selama ini dikomunikasikan melalui skala domestik maupun internasional.

Menurut Umar (2016, 402), di bawah pemerintahan Sukarno (1957–1966) dan Suharto (1966–1998), Islam sering terlihat memainkan peran yang kecil. Namun semenjak peristiwa 9/11, Islam moderat memainkan peran penting dalam kebijakan luar negeri Indonesia.

Perang global melawan teror membagi dunia dalam kita versus mereka, dalam sekutu dan musuh Amerika Serikat, serta dalam Muslim baik dan Muslim jahat. Pembagian antara Muslim baik dan Muslim jahat ini secara signifikan mengubah kebijakan luar negeri Indonesia.

Umar (2016) menunjukkan bahwa setelah insiden 9/11, Indonesia sebagai negara yang berada di jalan menuju demokrasi itu berusaha menjual citra Islamnya yang moderat dan demokratis untuk mendapatkan dukungan eksternal. Dan ditegaskan lebih keras pasca peristiwa Bom Bali 2002.

Setelah serangan Bom Bali 2002, Presiden Megawati saat itu menandatangani perjanjian pertahanan dengan pemerintah Amerika Serikat. Menjadikan Indonesia masuk dalam bagian dari perang melawan teror yang dipimpin negara adidaya itu.

Pemerintah Indonesia saat itu juga turut mempromosikan Islam moderat sebagai wajah resmi Muslim Indonesia. Sementara di bawah pemerintahan presiden Yudhoyono (2004–2014), kampanye Islam moderat sebagai citra utama Islam Indonesia menjadi prioritas utama.

Selama kedua kepresidenan, Islam moderat dipolitisasi: dimasukkan ke dalam wacana demokrasi liberal, yang mereproduksi gagasan tentang Muslim baik, mereka yang cocok dan menerima wacana demokrasi liberal, sedangkan Muslim jahat diberikan kepada mereka yang menentang demokrasi liberal.

Organisasi Islam Indonesia, seperti NU dan Muhammadiyyah, juga mempengaruhi kebijakan luar negeri, dengan demikian cara Islam moderat menjadi bagian dari soft power Islam. Oleh karena itu, Islam moderat juga mengandung makna lokal.

Hoesterey (2020) menulis bahwa Islam moderat Indonesia sama-sama diperjuangkan untuk konsumsi domestik di Indonesia. Seringkali sebagai pengingat kebanggaan bahwa orang Indonesia harus merasakan komitmen sehari-hari mereka untuk menjalani kehidupan mulia yang berbudi luhur, sementara pada saat yang sama bagian dari kampanye diplomatik yang lebih luas, yang mencerminkan aspirasi geopolitik Indonesia sendiri di panggung global.

Bahkan Hoesterey (2020) menyimpulkan bahwa proyek mempromosikan Islam moderat Indonesia dengan demikian telah dibentuk oleh agenda lokal dan politik internasional.

Presiden Joko Widodo (2014-sekarang) mendukung NU dan Islam Nusantara. Meskipun NU adalah organisasi independen, namun memiliki ikatan yang kuat dengan pemerintah. Presiden Jokowi tidak mengungkapkan semangat yang sama seperti pendahulunya mengenai diplomasi agama di luar negeri, tetapi telah menggunakan forum global untuk mempromosikan Islam Nusantara sebagai penangkal radikalisme.

Kementerian Luar Negeri juga telah memasukkan aspek-aspek Islam Nusantara ke dalam program-program mereka. Konsep Islam moderat kini memandu kebijakan dalam negeri melalui badan-badan pemerintah untuk memerangi radikalisasi di kalangan Muslim Indonesia.

Bagikan Artikel ini:

About Islam Kaffah

Check Also

duduk di kuburan

Saat Ziarah, Bolehkah Duduk di Kuburan?

Meskipun arus puritanisasi  mengklaim ziarah kubur adalah ritual bid’ah, tapi tidak banyak muslim nusantara yang …

shalat ghaib korban bencana

Shalat Ghaib untuk Korban Bencana

Pada tanggal 4 Desember 2021 telah terjadi peningkatan aktifitas vulkanik di gunung semeru. Hal itu …