Negara manapun tengah menyesuaikan berbagai kebijakan untuk mengantisipasi wabah pandemi covid-19. Tidak hanya aktifitas sosial yang dibatasi, tetapi juga merambah pula pada aktifitas keagamaan. Beberapa negara termasuk negara Muslim di Timur tengah dan Asia juga melakukan hal sama.
Namun, di tengah upaya pencegahan pademi ada juga yang mempelintir menjadi pelarangan. Di tengah upaya pembatasan ada pula yang mengungkapkan pendzaliman. Nuansa provokasi dimunculkan untuk menumbuhkan sentimen dan perlawanan.
“Di negara kafir adzan serentak di tengah corona, di negera muslim ke masjid dilarang”. Begitulah salah satu narasi yang berbunyi untuk memposisikan seolah muslim sedang didzalimi negaranya.
Memang negara-negara seperti Belanda, Inggris dan bagian negara Amerika atas pertimbangan kebebasan beragama dan solidaritas, adzan diperdengarkan untuk membantu umat Islam. Namun, bukan berarti negara-negara tersebut juga tidak melakukan pembatasan ke tempat ibadah atau masjid.
Di negara Islam dan mayoritas muslim tidak ada pelarangan adzan. Bahkan kadang di Indonesia sulit untuk menjawab adzan yang mana karena kanan kiri penuh adzan. Itulah suasana relijius muslim Indonesia.
Beberapa negara terutama negara Islam seperti Arab Saudi menutup Masjidil Haram dan masjid Nawabi untuk pencegahan. Hal itu bukan keputusan yang mudah. Sangat memberatkan apalagi menjelang Ramadhan. Namun, ijtihad ulama mengedepankan kemashlahatan umat, bukan dasar ketaatan yang membinasakan.
Mungkinkah ada narasi yang muncul di Arab Saudi, Kerajaan Arab Saudi menindas umat Islam? Mungkinkah ada narasi Kerajaan Arab Saudi mendzalimi umat Islam dengan melarang ke masjidil Haram dan masjid Nabawi yang sangat bersejarah.
Mengembangkan narasi umat terdzalimi adalah salah satu mesin pendorong untuk menanamkan sentimen kebencian terhadap yang lain. Ini lazim digunakan untuk menabuh solidaritas untuk bisa bergerak.
Apalagi di bulan Ramadhan yang menuntut kebiasaan yang meriah sudah bisa dipastikan akan muncul narasi yang akan lebih kencang. Akan ada istilah yang semula bermakna pencegahan wabah menjadi “pelarangan”. Dari istilah pembatasan kemungkinan besar naik tingkat menjadi “penindasan” umat.
Bagi mereka ketaatan kepada Islam terpisah dari ketaatan pada negara (baca umara) dan ulama. Dalam tafsir mereka ada ulama sendiri yang harus dipatuhi dan pandangan yang lain adalah salah.
Umat mayoritas yang berpegang teguh pada jamaah ulama harus bisa menghindari pola-pola dan narasi seperti itu di tengah pandemi apalagi menjelang Ramadhan. Umat Islam harus berpegang teguh pada fatwa dan kesepakatan para ulama.
Rasulullah telah mengingatkan kepada kita :
ان الله لا يجتمع أمتى على ضلالة. ويدالله على الجماعة من شذ شذ إلى النار ,( رواه الترمذ ي ) زاد ابن ماجاه: فإذا وقع الاختلاف , فعليك بالسواد الاعظم مع الحق واهله
“Sesungguhnya Allah memberikan jaminan bahwa umatnya tidaklah akan bersekongkol untuk menyepakati kesesatan, keberpihakan Allah adalah pada Jama’ah, barang siapa yang menyimpang dari konsensus mayoritas berarti bahwa ia mengasingkan diri menuju neraka”. (HR. Al – Turmudzi).
Ketika mayoritas ulama telah bersepakat bahkan tidak hanya ulama Indonesia tetapi seluruh dunia memiliki fatwa yang sama tentang pencegahan covid-19, maka peganglah itu. Jangan pernah menyimpang dari kesepakatan ulama untuk mendasarkan pada ketaatan buta.