Islam seperti yang telah difirmankan oleh Allah SWT dalam Al-Quran merupakan agama yang ramah, adil terhadap sesama, menjelaskan bahwa manusia telah diciptakan berbeda, bukan saja warna kulit namun berbeda bangsa sehingga Islam menjadi agama yang sangat toleran.
Dilansir dari laman republika.co.id pada Rabu (30/8/23). Islam ingin menciptakan sebuah dunia yang adil, ramah, beradab, dan toleran.
Oleh AHMAD SYAFII MAARIF
Seorang jenderal polisi (Katolik) mengatakan via telepon kepada saya pada 16 Februari 2007 bahwa, ”Segala bentuk terorisme yang ada sekarang ini, penyebabnya adalah Amerika.” Tentu tidak seluruhnya benar pernyataan ini, karena teror yang merenggut nyawa Indira Gandhi dan anaknya, Rajeef, misalnya, tak ada hubungannya dengan Amerika.
Tetapi, teror yang marak belakangan ini di kalangan kelompok kecil Muslim garis keras di berbagai bagian dunia, memang tidak dapat dilepaskan dari politik luar negeri Amerika yang imperialistik, seperti sudah lebih dari sekali saya tulis di //Republika//.
Sejak Tragedi 11 September 2001, gelombang Islamofobia (takut dan benci Islam), di belahan dunia Barat khususnya, seperti tidak bisa dibendung. ”Either with us, or, against us” adalah bentuk kemarahan dan arogansi Bush dalam menjawab tragedi di atas yang didalangi oleh Muslim garis keras yang dulu pernah menjadi sahabat Amerika di era Perang Dingin.
Rabbi Abraham Cooper yang mengunjungi saya di Apartemen Rasuna, Selasa malam 12 Maret 2007, mengatakan bahwa ”Amerika harus membayar bill (ongkos) untuk menghadapi terorisme global. Bukankah dulu CIA yang membantu Taliban di Afghanistan untuk melawan Uni Soviet?”
Sejak Tragedi 11 September 2001, gelombang Islamofobia (takut dan benci Islam), di belahan dunia Barat khususnya, seperti tidak bisa dibendung.
Sekarang Amerika juga kewalahan berurusan dengan pasukan Taliban yang menggunakan siasat perang gerilya untuk melawan musuh. Bahwa, Taliban ingin membentuk rezim teokratik primitif di sana, tidak akan saya komentari di sini. Yang jelas pasukan berjubah ini masih mendapat dukungan justru karena hadirnya pasukan asing di Afghanistan yang dinilai rakyat sebagai penjajah. Dapat dipastikan bahwa Amerika dan sekutunya tidak akan pernah menang baik di Afghanistan maupun di Irak.
Opini publik dan nurani dunia semakin tidak berpihak kepada segala bentuk intervensi asing terhadap sebuah negara berdaulat. Tetapi, dasar keras kepala yang amoral, Amerika tidak pernah belajar dari kegagalan imperialistiknya di Vietnam tahun 1954 sampai dengan 1975.
Tuduhan teror terhadap umat Islam telah semakin menyuburkan sikap Islamofobia di dunia Barat khususnya, sekalipun ada saja penulis Barat yang agak paham Islam telah membantahnya dengan fakta historis. Karen Armstrong (penulis perempuan Inggris) dan John Esposito dari Amerika adalah di antara penulis Barat yang menangkis tuduhan semena-mena yang menyamakan Islam dengan terorisme.
Tetapi, mencitrakan Islam sebagai agama teror tetap saja dilakukan oleh pendukung gagasan Islamofobia, sekalipun perkembangan Islam di Barat sebagai agama perdamaian seperti tidak bisa dibendung pula. Inilah di antara paradoks dunia modern yang sedang mencari alternatif format peradaban yang lebih adil dan ramah.
Inilah di antara paradoks dunia modern yang sedang mencari alternatif format peradaban yang lebih adil dan ramah.
Pencarian peradaban alternatif ini memang masih diganggu oleh praktik bom bunuh diri yang sangat menakutkan pihak Barat dan merusak citra Islam di depan publik, sekalipun perbuatan nekat itu dilakukan oleh rasa frustrasi dan terhina yang sangat dalam. Ada teori yang mengatakan bahwa penyebab utama dari frustrasi ini adalah karena kegagalan umat Islam berurusan dengan gelombang modernitas sekuler-ateistik yang memang sangat menyakitkan.
Pertanyaannya adalah: Apakah dengan budaya bom bunuh diri, posisi umat Islam akan terangkat dari buritan peradaban? Akal sehat tentu mengatakan bahwa cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuan hanyalah akan menuai reaksi antipati, bukan simpati. Padahal, Islam ingin menciptakan sebuah dunia yang adil, ramah, beradab, dan toleran. Islam dengan wajah kejam dan bengis bukanlah Islam yang ada dalam hati dan otak nabi akhir zaman, Muhammad SAW.
Bahwa Islamofobia menyakitkan hati umat Islam adalah suatu yang wajar dan masuk akal. Tetapi, menjawabnya dengan cara-cara reaktif yang emosional tak terkendali hanyalah akan semakin menjauhkan kita dari cita-cita ”kemanusiaan yang adil dan beradab.
” Oleh sebab itu, untuk membendung gelombang Islamofobia yang masih gentayangan di muka bumi, umat Islam menurut hemat saya jangan sampai melupakan prinsip ini: ”Dan tidaklah Kami mengutus engkau [Muhammad], kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta.” (Lihat QS Sl-Anbiya: 107). Dalam ungkapan lain, betapapun perih dan parahnya beban sejarah yang menghimpit umat Islam, diktum Alquran ini jangan sampai dibenamkan ke dalam debu sejarah.
Tulisan ini disadur dari Harian Republika edisi 20 Maret 2007. Buya Ahmad Syafii Maarif (1935–2022) adalah ketua umum PP Muhammadiyah pada periode 1998-2005.
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah