puasa dzulhijjah
dzulhijjah

Istri Puasa Sunnah 10 Hari Pertama Bulan Dzulhijjah Tanpa Ijin Suami, Inilah Pendapat Ulama Madzhab

Bulan Dzulhijjah merupakan salah satu bulan yang dimuliakan tentang kemuliaan bulan Dzulhijjah disebutkan dalam al Qur’an surat al Fajr ayat 1-2.

“Demi Fajar; Demi malam yang sepuluh”.

Dalam kitab-kitab tafsir otoritatif ulama berbeda menafsirkan ayat kedua. Ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud 10 malam pada ayat di atas adalah 10 hari terakhir di bulan Ramadhan. Sebagian ulama berpendapat yang dimaksud adalah 10 hari awal Muharram. Sebagian yang lain mengatakan 10 hari pertama bulan Dzulhijjah.

Menurut Ibnu Katsir dalam tafsirnya, yang sahih adalah pendapat yang ketiga, yakni 10 hari pertama bulan Dzulhijjah. Berangkat dari sini para ulama kemudian menganjurkan puasa selama 9 hari pertama bulan Dzulhijjah bagi mereka yang tidak melakukan ibadah haji. Dalil puasa sunnah 9 hari pertama bulan Dzulhijjah berdasar pada keumuman hadits Nabi dari Ibnu Abbas riwayat Imam Bukhari. Seperti diterangkan dalam kitab al Muhadzdzab.

Dengan demikian, tidak diragukan bahwa puasa 9 hari pertama bulan Dzulhijjah sangat dianjurkan. Namun demikian, ada problem bagi wanita ketika akan melaksanakan puasa sunnah tersebut. Apakah perlu ijin suami atau tidak?

Menurut ulama Syafi’iyah, seorang istri tidak perlu meminta ijin suaminya ketika akan puasa sunnah yang tidak berulang-ulang. Seperti termaktub dalam kitab Hasyiyah al Jamal yang menerangkan bahwa istri tidak perlu minta ijin suami ketika hendak berpuasa sunnah bulan Dzulhijjah.

Puasa 9 hari pertama bulan Dzulhijjah merupakan puasa sunnah yang sifatnya tidak berulang-ulang. Hanya dikerjakan pada hari-hari yang telah ditentukan. Karenanya, ulama Syafi’iyah tidak mewajibkan seorang istri untuk meminta ijin suami. Tentunya, meminta ijin suami akan lebih baik dan suami yang bijak akan memberi ijin.

Akan tetapi, kalau puasa sunnah yang berulang-ulang, seperti puasa hari Senin dan Kamis istri harus mendapat ijin suami. Kecuali kalau suami sedang tidak ada di rumah, ke luar kota dan lain-lain. Hal ini seperti dijelaskan oleh Abu Bakar Syatha al Dimyati dalam kitabnya I’anah al Thalibin.

Dalam al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuawitiyah dijelaskan, Jumhur ulama berpendapat puasanya sah, tapi haram. Adapun ulama Hanafiyah mengatakan hukumnya makruh tahrim (makruh mendekati haram).

Karena puasa 9 hari bulan Dzulhijjah memiliki keutamaan yang sangat besar, selayaknya istri maupun suami sama-sama melakukannya. Dengan demikian, seorang suami pasti memberikan ijin istrinya untuk berpuasa sunnah tersebut. Kemungkinan besar, alasan ulama yang mengharuskan ijin suami karena khawatir istri tidak dapat melayaninya apabila sewaktu-waktu diperlukan, khususnya untuk kebutuhan biologis.

Bagikan Artikel ini:

About Faizatul Ummah

Alumni Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo dan Bendahara Umum divisi Politik, Hukum dan Advokasi di PC Fatayat NU KKR

Check Also

Toa masjid

Toa dan Sejarah Tadarus Al Qur’an di Bulan Ramadan

Ramadan kali ini pun tak luput dari perdebatan soal pengeras suara (TOA). Polemik bermula dari …

manfaat tidur

Hati-hati, Ternyata Ada Tidur yang Membatalkan Puasa

Pemahaman tekstual terhadap dalil agama bisa berakibat fatal. Pemaknaan apa adanya tersebut berkontribusi memberikan informasi …