berbuka puasa
berbuka puasa

Pro Kontra Hadis Puasa Sepuluh Hari Pertama Dzulhijjah

Silap paham puasa sunnah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah bukan pada boleh tidaknya berpuasa di hari kesepuluh bulan ini, sabab seluruh ulama telah sepakat hukumnya haram. Tanggal sepuluh Dzulhijjah adalah hari raya idul adha. Penyebutan tersebut populer karena mengikut redaksi al Qur’an dan hadis yang menyebut sepuluh. Sebenarnya yang dimaksud adalah puasa sembilan hari.

Puasa sembilan hari pertama bulan Dzulhijjah ini yang seringkali disoal keabsahannya. Sebab ada beberapa hadis Nabi yang terpilah dua. Mendukung dan tidak sama sekali.

Dalam Shahih Muslim, Aisyah berkata, “Saya sama sekali tidak pernah melihat Rasulullah berpuasa di sepuluh hari (pertama bulan Dzulhijjah)”.

Berdasar hadis ini segera akan maklum bahwa puasa sembilan hari pertama bulan Dzulhijjah tidak diteladankan oleh baginda Nabi. Soal kualitas hadis di atas tidak diragukan keshahihannya.

Kalau begitu, puasa selama sembilan hari pertama bulan Dzulhijjah tidak memiliki dalil dan hanya mengada-ada. Apakah memang demikian atau ada dalil yang lain? Ada hadis lain yang berkata sebaliknya dengan hadis Aisyah tersebut.

Dari Khunaidah bin Khalid, dari istrinya, dari istri-istri Nabi, mereka berkata, “Rasulullah biasa berpuasa sembilan hari di bulan Dzulhijjah, berpuasa di hari Asyura, berpuasa tiga hari di setiap bulannya, puasa senin pertama dan juga hari kamis di setiap bulannya”. (HR. Abu Daud, Ahmad dan Nasa’i).

Hadis ini malah menyatakan sebaliknya, Nabi biasa berpuasa pada sembilan hari pertama Dzulhijjah. Dengan demikian, puasa pada hari-hari tersebut hukumnya sunnah. Dan mayoritas ulama mengikuti hadis ini serta berpendapat hukumnya sunnah.

Diantaranya adalah Imam Nawawi. Dalam kitabnya al Majmu’ beliau mengatakan diantara puasa yang disunnahkan adalah puasa di sembilan hari pertama bulan Dzulhijjah. Pendapat ini beliau tegaskan kembali dalam karyanya yang lain yaitu Syarah Shahih Muslim.

Apakah dengan demikian hadis Aisyah lebih lemah dari hadis Khunaidah yang juga bearasal dari istri-istri Nabi sehingga mayoritas ulama menghukumi sunnah?

Perlu diketahui, tidak satupun ulama ahli hadis yang meragukan keshahihan hadis riwayat Aisyah, apalagi diriwayatkan oleh Imam Muslim. Demikian pun hadis yang diriwayatkan oleh Khunaidah yang bersumber dari istri-istri Nabi yang lain juga dinyatakan shahih oleh para ulama ahli hadis meski bukan riwayat Imam Muslim. Jadi dua hadis di atas sama-sama shahih.

Karena kualitas dua hadis tersebut sama, maka para ulama mengambil langkah-langkah berikut:

Pertama, kesaksian adalah hujjah bagi yang tidak tahu. Artinya, kesaksian Aisyah terhadap tidak berpuasanya Nabi tidak benar-benar menunjukkan kepada ketiadaan puasa di sembilan hari pertama bulan Dzulhijjah. Sebab boleh jadi beliau tidak melihatnya. Sedangkan istri-istri Nabi yang lain benar-benar melihatnya. Penglihatan secara nyata itu menjadi hujjah bagi yang tidak melihat.

Kedua, Al Musbit Muqaddamun ‘ala al Nafi. Yakni, jika ada dua hadis yang sama-sama shahih bertolak belakang, maka al Musbit (yang menetapkan adanya puasa) Muqaddamun (harus didahulukan) dari al Nafi (yang meniadakan).

Ketiga, al Jam’u baina al Hadis. Mengkompromikan dua hadis tersebut. Metode kompromi ini ditulis oleh Imam Nawawi dalam kitabnya al Majmu’. Menurut para ulama, tidak melihatnya Aisyah tidak membuktikan bahwa pada waktu yang sama Nabi benar-benar tidak berpuasa. Sebab Nabi hanya bersama Aisyah satu hari saja dari sembilan hari tersebut. Selebihnya beliau bersama istri-istrinya yang lain.

Kemungkinan yang kedua, Nabi berpuasa beberapa hari dalam beberapa kesempatan dan berpuasa penuh selama sembilan hari pada kesempatan yang lain. Dan, pada saat yang lain beliau meninggalkan sama sekali sebab safar, sakit dan sebab yang lain.

Sedangkan Ibnu Hajar al ‘Asqalani dalam kitabnya Fathu al Bari menjelaskan bahwa dua hadis tersebut sama sekali tidak bertentangan. Sebab ketika Aisyah melihat Nabi tidak berpuasa di sembilan hari pertama bulan Dzulhijjah tersebut merupakan bagian dari kebiasaan beliau meninggalkan ibadah-ibadah yang dicintai karena khawatir akan disangka wajib oleh umatnya.

Oleh karenanya, Ibnu Hajar al’Asqalani menyimpulkan bahwa hadis kedua di atas menjadi dalil sunnahnya puasa sembilan hari pertama bulan Dzulhijjah. Sebab puasa merupakan bagian dari amal shaleh.

Teori kompromi lain berbunyi, perkataan harus didahulukan dari tindakan. Al Qaulu Muqaddamun ‘ala al Fi’li. Perkataan tidak memiliki kemungkinan penafsiran lain. Sementara perbuatan memunculkan kemungkinan-kemungkinan penafsiran.

Bagikan Artikel ini:

About Khotibul Umam

Alumni Pondok Pesantren Sidogiri

Check Also

sirah nabi

Pesan Nabi Menyambut Ramadan

Bulan Ramadan, atau di Indonesia familiar dengan sebutan Bulan Puasa, merupakan anugerah yang diberikan Allah …

imam ahmad bin hanbal

Teladan Imam Ahmad bin Hanbal; Menasehati dengan Bijak, Bukan Menginjak

Sumpah, “demi masa”, manusia berada dalam kerugian. Begitulah Allah mengingatkan dalam al Qur’an. Kecuali mereka …