Dalam berbagai hadis sahih, Rasulullah dikenal sebagai pribadi yang sangat mencintai kebersihan dan keharuman. Beliau tidak hanya mengajarkan umatnya untuk menjaga kesucian jasmani, tetapi juga mengajarkan pentingnya keindahan dan keharuman sebagai bagian dari fitrah manusia yang mencintai kebersihan.
Salah satu bahan wewangian yang disebutkan dalam hadis adalah kayu gaharu, atau dalam istilah Arab disebut al-‘ūd al-Hindi — kayu wangi dari timur yang dikenal sangat harum dan bernilai tinggi. Rasulullah bersabda:
“Gunakanlah al-‘ūd al-Hindi, karena di dalamnya terdapat tujuh macam penyembuhan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini sering menjadi perhatian para sejarawan dan ahli botani Islam, karena menyebut secara spesifik “al-Hindi” — kayu yang berasal dari wilayah timur. Namun, istilah al-Hind pada masa Nabi tidak hanya menunjuk pada wilayah India modern, melainkan seluruh kawasan timur dari Jazirah Arab, termasuk Sri Lanka, Asia Tenggara, hingga kepulauan Nusantara.
Dengan kata lain, sangat mungkin bahwa kayu gaharu yang disebut dalam hadis tersebut berasal dari hutan-hutan tropis di Nusantara, yang sejak ribuan tahun silam telah menjadi penghasil gaharu terbaik di dunia.
Dari Hutan Nusantara ke Padang Pasir Arab
Catatan sejarah menunjukkan bahwa perdagangan gaharu sudah berlangsung jauh sebelum datangnya Islam. Sumber-sumber Tiongkok kuno dari masa Dinasti Han dan Tang mencatat bahwa kayu wangi dari “Pulau-pulau Laut Selatan” — yang diyakini sebagai Sumatera dan Kalimantan — diekspor ke India, Yaman, dan Arab. Gaharu digunakan sebagai bahan parfum, dupa ritual, dan pengharum pakaian para bangsawan.
Pada masa kejayaan maritim Nusantara, terutama di era Sriwijaya (abad ke-7–13 M), gaharu menjadi komoditas utama yang diperdagangkan melalui jalur laut menuju Timur Tengah. Dalam naskah Akhbār al-Sin wa al-Hind karya Abu Zayd Hasan (abad ke-10 M), disebutkan bahwa kayu al-‘ūd dari “Zabaj” — sebutan Arab untuk Sriwijaya — merupakan salah satu wewangian paling mahal di pasar Yaman dan Mekkah.
Artinya, kemungkinan besar aroma gaharu dari Nusantara sudah sampai ke Jazirah Arab pada masa Rasulullah, dibawa oleh para pedagang melalui jalur laut Samudra Hindia. Dengan demikian, bangsa kita mungkin telah dikenal dunia Islam bukan melalui pertempuran atau politik, tetapi melalui aroma wangi dari pepohonan tropis Nusantara.
Gaharu: Wewangian Surgawi
Gaharu dalam tradisi Islam bukan sekadar bahan harum. Ia melambangkan kesucian batin dan ketulusan amal. Dalam banyak riwayat, Rasulullah menyukai aroma yang lembut dan alami. Beliau bersabda:
“Dijadikan kecintaanku pada dunia ini pada tiga hal: wanita, wewangian, dan penyejuk mataku adalah salat.” (HR. Ahmad dan an-Nasa’i)
Wewangian, termasuk gaharu, dianggap sebagai simbol kebersihan spiritual — sesuatu yang mengingatkan manusia bahwa kebaikan sejati harus beraroma harum bagi sekitarnya. Bahkan dalam hadis lain disebutkan bahwa kayu gaharu digunakan untuk mengharumkan kain kafan dan rumah-rumah ibadah. Harumnya gaharu seakan menjadi metafora bagi jiwa yang bersih, yang tetap wangi meski dibakar oleh ujian hidup.
Keberadaan gaharu dalam hadis-hadis Nabi memberi kita pelajaran penting: bahwa Islam tidak memisahkan antara spiritualitas dan alam. Alam semesta, termasuk pohon dan hutan, bukan sekadar sumber ekonomi, tetapi juga sumber nilai dan makna.
Ketika Rasulullah memuji kayu gaharu, sejatinya beliau sedang mengajarkan kita tentang keseimbangan — antara manusia, alam, dan Sang Pencipta.
Gaharu adalah simbol bahwa yang harum itu akan selalu dikenal, bahkan melintasi samudra dan zaman. Seperti gaharu yang tetap wangi meski dibakar, demikianlah seorang Muslim yang tetap menebar kebaikan meski diuji kehidupan.
Rasulullah telah menunjukkan bahwa keharuman bukan hanya milik tubuh atau pakaian, tetapi milik jiwa yang tulus. Maka, jika gaharu Nusantara dulu mengharumkan dunia Islam melalui perdagangan, semoga hari ini amal dan akhlak umat Islam Indonesia bisa mengharumkan dunia melalui peradaban.
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah