anak diruqyah
anak diruqyah

Kasus Anak Meninggal karena Diruqyah, Sudahkan Kita Menerapkan Pola Asuh Rahmatan Lil Alamin?

Beberapa hari terakhir, media ramai memberitakan tentang seorang anak yang meninggal karena diruqyah oleh orang tuanya. Penyebabnya, anak perempuan berusia 7 tahun dengan inisial A, oleh orang tuanya dilabel sebagai anak nakal dan disinyalir merupakan anak genderuwo.

Peristiwa yang terjadi di daerah Temanggung Jawa Tengah ini menjadi tamparan keras bagi kita semua. Sudahkah kita sebagai orang tua telah melaksanakan tugas dengan baik dalam mendidik anak? Sudahkah kita memperlakukan anak anak kita dengan manusiawi serta memberikan hak – hak yang semestinya diperoleh sebagai kebutuhan mereka?

Peristiwa yang sangat disayangkan sebagaimana terjadi pada A tersebut, merupakan ironi. Orang tua yang sepatutnya menjadi pihak pertama dan utama melindungi anak, sebaliknya menjadi pelaku tindakan kekerasan. Sering kali yang terjadi dikarenakan ketidakmampuan sang ayah dan ibu untuk memahami kondisi sang anak, sehingga berujung pada kesalahan penanganan dan secara fatal mengorbankan nyawa sang anak. Anak menjadi korban orang tua, dan orang tua menjadi korban minimnya pengetahuan.

Pada titik ini, kita sebagai orang tua dapat berefleksi dan muhasabah diri. Sudahkah kita, sebagai orang tua, membekali diri dengan ilmu ilmu pengasuhan yang benar dan sejalan dengan semangat rahmatan lil alamin?

Nabi Muhammad SAW sebagai mercusuar akhlaqul karimah secara langsung mengajarkan kepada kita ummatnya untuk berbuat baik kepada keluarga. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits berikut:

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِى

Artinya : Dari Aishah ra, berkata: Rasulullahsaw. bersabda: “Sebaik-baik orang di antara kalian adalah yang terbaik perilakunya terhadap keluarganya, dan aku adalah yang terbaik di antara kalian dalam memperlakukan keluargaku” (Sunan Turmudzi, no. hadits: 4269).

Berperilaku baik kepada keluarga dapat diwujudkan dengan menerapkan pola asuh yang sehat. Mengasuh anak, sebagaimana aktifitas lainnya, adalah sebuah kata kerja. Konsekuensi dari pemaknaan ini adalah, bahwa dengan menjadi orang tua kita siap untuk terus berkomitmen dan berusaha, mencintai dan membersamai tumbuh kembang mereka dengan kasih sayang yang berkesadaran.

Pola asuh yang sehat berangkat dari pola pikir orang tua yang mau memahami dirinya sendiri. Proses penggalian ke dalam diri sendiri menjadi pintu pertama untuk membantu ayah dan ibu berefleksi dan berpikir ulang. Praktisi pengasuhan menyebut langkah ini sebagai “default setting” atau pembawaan alami. Sebab ada banyak kesadaran diri yang perlu dilibatkan untuk menjadi orang tua yang baik, maka kita perlu memetakan pembawaan alami kita, apa yang secara reaktif kita lakukan saat kita lelah, stress dan ditarik sampai ambang batas terbawah.

Memahami pembawaan alami artinya baik ayah dan ibu berani mengakui bahwa ada beberapa hal yang perlu dirubah dan ini penting agar tidak menimbulkan lingkaran buruk bagi anak anak. Sebab bagiamana ayah dan ibu bertindak dan menyikapi satu hal, maka itulah yang terekam dalam memori anak dan menjadi pelajaran pertama dalam hidupnya. Maka sangat penting untuk berani merubah pembawaan alami jika memang diperlukan. Tentu kita ingin menanamkan akhlaqul karimah kepada anak anak sedini mungkin bukan?, maka langkah strategis yang penting diambil adalah dengan menerapkannya dalam pribadi kita sebagai suatu kesadaran dan laku hidup.

Pondasi yang kedua adalah cara pandang terhadap anak. Sebagian orang tua yang dengan mudah melakukan kekerasan baik secara fisik, verbal maupun simbolis terhadap anak didorong oleh pemahaman yang tendensius. Mudah menilai anak dengan label negative membuat anak mengira mereka memang begitu. Kontrubusi labelling terhadap bagaimana anak mencitrakan diri sangat signifikan. Berkaca pada kasus di atas, pelabelan buruk pada anak justru berakhir penghilangan nyawa anak. Oleh karena itu, sangat penting untuk kita memiliki cara pandang yang luas dan selalu meyakini bahwa setiap anak memiliki potensi baik.

Anak yang dianggap nakal, hiperaktif, banyak tingkah dan terlalu usil, bisa jadi mereka sedang menunjukkan potensi dan meminta perhatian lebih yang seharusnya mereka dapatkan. Yang diperlukan hanya sedikit kesempatan untuk orang tua memperluas cara pandang. Alih alih melihatnya sebagai suatu keburukan dan merepotkan, mengapa tidak kita pandang hal itu sebagai anugerah bahwa anak anak memiliki energi yang besar dan gizi yang cukup. Hanya butuh sedikit usaha untuk mengarahkan energi itu agar menjadi aktifitas yang produktif.

Adapun anak anak yang menunjukkan perilaku tidak sesuai dengan ekspektasi, maka langkah yang semestinya adalah bukan dengan memaksa anak untuk memenuhi harapan itu, tetapi hendaknya orang tua yang berkenan menyesuaikan ekspektasi dan mau membuka diri untuk mendengarkan dan memahami harapan anak kepada orang tua.

Memperlakukan anak dengan bermartabat dan manusiawi adalah ibadah dan ini merupakan wujud haqiqi kita melaksanakan tugas sebagai khalifah di atas bumi dengan bertanggung jawab. Karena sebagaimana sering kita dengar “Happy kids grow up to be happy adults who raise happy kids, and so on”. Mengasuh anak yang bahagia dengan masa tumbuhnya sejalan dengan semangat menebarkan rahmat ke seluruh alam. Inilah makna substansial dari pengasuhan yang rahmatan lil alamin.

Bagikan Artikel ini:

About Nuroniyah Afif

Check Also

anak terkonfirmasi covid-19

Anak Terkonfirmasi Covid-19, Jangan Panik! Berikut Ikhtiar Lahir dan Batin untuk Dilakukan

Grafik kenaikan kasus Covid – 19 di Indonesia belum menunjukkan tanda akan melandai. Covid – …

8 fungsi keluarga

Momentum Menguatkan Kembali 8 Fungsi Keluarga di Masa Pandemi

Meningginya kasus Covid – 19 hingga menyentuh angka 30 ribu kasus baru per hari memaksa …