Abdullah bin Abbas
Abdullah bin Abbas

Kisah Ibnu Abbas Menginsyafkan 2000 Muslim Radikal

Kisah ini diriwayatkan oleh beberapa orang perawi hadits seperti Thabrani, Baihaqi, Hakim dan Nasa’i. Satu diantara kitab-kitab hadits yang memuat kisah ini adalah kitab as Sunan al Kubra, Kitab al Khashaish, Bab Dzikri Munadzarati Abdillah Ibn Abbas al Haruriyyah.

Kisah ini bermula dari peristiwa Tahkim (arbitrase) antara Sayyidina Ali dan Mu’awiyah. Pasca Tahkim 6000 pengikut Sayyidina Ali membelot, dan kemudian membangun markas di Harura, suatu tempat berjarak 3,2 km dari Kufah, Irak.

Mereka disebut Khawarij. Embrio kelompok Khawarij telah ada sejak masa Nabi, tepatnya tahun 8 Hijriah, ketika salah seorang sahabat Nabi menuduh dan memprotes Nabi telah melakukan ketidak adilan dalam pembagian harta rampasan perang. Lelaki itu bernama Abdullah bin Dzil Khuwaishirah.

Pasca peristiwa tahkim, kelompok Khawarij resmi sebagai faksi agama Islam dan entitas politik. Mereka mengkafirkan semua pihak yang terlibat dalam tahkim, baik dari kubu Ali maupun Mu’awiyah, dengan tuduhan tidak berhukum dengan hukum Allah. Mirip-mirip kelompok radikal zaman now yang menebarkan narasi Indonesia tahgut dan pemerintah harus dikudeta karena menjadi penolong thagut (ansharut thagut).

Ibnu Abbas meminta izin kepada Ali, bermaksud menemui mereka, untuk menyadarkan kelompok Khawarij di Harura yang berjumlah 6000 orang. Sepupu sekaligus menantu Nabi tersebut sempat melarang Ibnu Abbas khawatir ia disakiti oleh kelompok pembelot atau Khawarij. Ibnu Abbas meyakinkan Ali hal itu tidak akan terjadi dengan seizin Allah.

Ibnu Abbas mendatangi mereka dengan memakai pakaian terbaik dari Yaman. Sesampainya di Harura, Ibnu Abbas mengucapkan salam kepada mereka. Dijawab, “selamat datang Abdullah Ibnu Abbas”. Mereka menegur Ibnu Abbas setelah melihat pakaian yang dikenakannya. Seolah-olah Ibnu Abbas telah berbuat kesalahan karena mengenakan pakaian mahal dan mewah.

Ibnu Abbas menegur mereka karena telah mencela dirinya gara-gara mengenakan pakaian mewah. Ia menjelaskan kepada mereka, dirinya pernah melihat Rasulullah mengenakan pakaian yang indah dan mewah. Ibnu Abbas membaca ayat al Qur’an: “Katakanlah, siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pula) yang mengharamkan rezeki yang baik”. (QS. al A’raf [7]: 32).

Jawaban telak Ibnu Abbas. Mereka terhenyak, menyadari kesalahannya. Begitu mudahnya menyalahkan orang lain padahal belum tentu bersalah. Ibnu Abbas menang satu langkah.

Mereka kemudian menanyakan maksud kedatangan Ibnu Abbas. Beliau kemudian menjelaskan kedatangannya sebagai “Hakam” (juru damai), mewakili sahabat-sahabat Nabi dari kalangan Muhajirin dan Anshar untuk menyampaikan kepada kalian apa yang mereka katakan dan mengabarkan kepada mereka apa yang kalian katakan.

Ibnu Abbas mengingatkan kepada mereka bahwa para sahabat Nabi lebih memahami maksud wahyu, karena ia turun kepada mereka. Sebaliknya, wahyu tidak turun di tengah-tengah mereka. Sindiran ini membuat salah seorang kelompok Khawarij tersinggung.

Salah seorang dari mereka menghardik: “Jangan layani orang Quraisy, karena mereka senang bertengkar dan Allah telah berfirman: “Sungguh mereka adalah kaum yang senang bertengkar”. (QS. Zukhruf [43]: 48).

Ibnu Abbas berkata: “Aku sekarang ada di tengah-tengah sekelompok orang yang ibadahnya tidak tertandingi, wajah-wajahnya pucat karena bangun tengah malam, tangan dan mata kakinya kapalan dan berjubah cingkrang”.

Akhirnya, salah seorang dari mereka meladeni Ibnu Abbas. “Jelaskan kepadaku apa alasan kalian meninggalkan sepupu dan menantu Nabi juga sahabat-sahabat Muhajirin dan Anshar?” Kata Ibnu Abbas.

Mereka berkata: “ada tiga alasan. Pertama, Ali mengangkat “Hakam”, juru runding dalam perkara Allah, padahal Allah mengatakan: “Tidak ada hukum kecuali hukum Allah” (QS. al An’am [6]: 57, dan Yusuf [12]: 40), bukan hukum yang dibuat oleh manusia atau hakam”. Kedua, dalam perang Jamal (perang antara Ali dan Siti Aisyah) Ali tidak menawan dan merampas harta mereka. Kalau mereka mukmin, bukankah tidak boleh diperangi? Ketiga, dalam naskah perundingan Ali menghapus gelar Amirul Mukminin, berarti dia Amirul Kafirin”.

“Kalau saya jelaskan argumen berdasarkan al Qur’an dan hadits untuk menjawab tiga pertanyaan yang telah kalian sebutkan, apakah kalian dengan pikiran terbuka dan akal sehat bersedia menerimanya?”, kata Ibnu Abbas. Mereka majawab: “Iya”.

Ibnu melanjutkan, untuk yang pertama bukankah Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan ketika kamu sedang ihram, sampai ayat “maka dendanya adalah mengganti dengan binatang ternak (yang) seimbang dengan hewan buruan yang dibunuhnya menurut putusan dua orang yang adil diantara kamu”. (QS. al Maidah [5]: 95). Coba kalian pikir, lebih penting mana antara hewan ternak dan binatang buruan dibanding nyawa manusia dan perdamaian umat? Pikirkan juga, bukankah Allah bisa memutuskan sendiri tanpa menyerahkan putusan tersebut kepada manusia?. Selain itu, Allah juga memerintahkan dua Hakam untuk menyelesaikan cekcok rumah tangga suami istri (QS. al Nisa’ [4]: 35). Allah jadikan keputusan manusia sebagai hukum-Nya.

Untuk jawaban nomor dua, apakah kalau kalian diposisi Ali, akan menawan Siti Aisyah dan menghalalkan apa yang ada padanya seperti dihalalkan kepada yang lain?. Kalau kalian melakukan hal itu, kalian telah kafir karena Aisyah itu ibu kalian. Jika kalian tidak menerima Aisyah sebagai ibu, kalian kafir karena Allah berfirman: “Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin dari pada mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka”. (QS. al Ahzab [33]: 6). Kalian pasti tahu dua kesesatan ini. Maka, kalau kalian condong pada salah satunya, kalian sesat.

Jawaban untuk yang nomor tiga. Kalian pasti mengetahui, pada saat penyusunan perjanjian antara Nabi dan orang-orang musyrik yang diwakili oleh Suhail bin Amr dan Abu Sufyan bin Harb di Hudaibiyah, Nabi memerintahkan kepada Ali untuk menulis, “Ini adalah perjanjian yang dibuat oleh Muhammad bin Abdullah” mengganti kalimat “Ini adalah perjanjian yang dibuat Muhammad Rasulullah”. Hal itu dilakukan karena ada protes dari orang-orang musyrik. Apa yang dilakukan oleh Ali tidak lain meniru Nabi sebagai panutan umat Islam.

Mendengar penjelasan Ibnu Abbas, mereka kemudian saling pandang satu sama lain, mengerti dan paham bahwa telah melakukan kesalahan fatal. Namun sayang, hanya 2000 orang yang insyaf dan kembali ke barisan Ali, sisanya terbunuh dalam kesesatan.

Begitulah kisah Abdullah ibnu Abbas menyadarkan orang-orang yang terpapar paham radikal. Fenomena seperti itu banyak terjadi dan dijumpai saat ini. Narasi negara tahgut, takfiri, tuduhan sesat terhadap umat Islam yang lain adalah fenomena yang sama dengan apa yang terjadi pada kelompok Khawarij pada masa Ali. Bedanya, mungkin, pada masa itu ada yang sadar setelah berpikir menggunakan akal sehat menerima kebenaran yang disampaikan oleh Ibnu Abbas, sementara saat ini mereka sulit disadarkan karena sikap eksklusif terhadap penjelasan yang sebenarnya.

 

Bagikan Artikel ini:

About Nurfati Maulida

Check Also

darah haid

Darah Haid Tuntas Tapi Belum Mandi Besar, Bolehkah Berpuasa?

Perempuan haid dilarang berpuasa. Tapi, larangan ini tidak bermakna diskriminasi Islam terhadap perempuan. Puasa ramadhan …

buah takwa

Bentuk Bahagia Menyambut Ramadan

Dalam kitab Durrotun Nashihin, ada yang yang berbunyi: “Siapa yang bergembira dengan masuknya bulan Ramadan, …