Quran
Quran

Kisah Mereka yang Tersesat karena al-Qur’an

Penafsiran terhadap Qur’an tanpa kapasitas dan sanad ilmu akan menjatuhkan dalam kesesatan.


Qur’an adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad sebagai petunjuk bagi manusia. Fungsi Qur’an adalah sebegai petunjuk (al-huda) kebenaran dan pemisah (al-furqan) kebenaran dan kebatilan. Lalu, mungkinkah orang justru tersesat karena al-Qur’an?

Diceritakan suatu ketika Rasulullah memegang jenggot Umar bin Khattab dan berkata: “Wahai Umar, Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un” ‘Umar pun jadi penasaran dan bertanya : “ Demi bapak dan ibuku, wahai Rasulullah, apa arti ucapanmu dengan kalimat itu?

Rasulullah menjawab : “Baru saja Jibril mendatangiku dan berkata ‘Wahai Muhammad, Inna lillahi wa inna ilaihu raji’un, sesungguhnya umatmu sepeninggalmu akan difitnah dengan hal yang sedikit bukan dengan hal yang banyak. ‘Aku tanyakan : “Wahai Jibril fitnah kesesatan atau fitnah kekafiran? Ia menjawab : “Dua-duanya akan terjadi.’

Aku (Muhammad) bertanya: Bagaimana mereka tersesat dan bagaimana bisa menjadi kafir, sedangkan aku telah meninggalkan bagi mereka kitab Allah. Jibril menyambung : ‘Dengan kitab Allah mereka tersesat, karena masing-masing golongan akan menakwilkannya sesuai dengan keinginan mereka, sebab itulah mereka menjadi sesat.”

Sampai di sini kita menjadi penasaran mana mungkin karena Qur’an umat menjadi tersesat? Kita simak kisah Dzul Khuwaishirah dari Bani Tamim Al Najdi. Kisah ini cukup menjadi pelajaran berarti bagi umat Islam, yakni orang-orang yang beribadah tetapi tidak bertambah dekat kepada Allah melainkan bertambah jauh. Dia adalah menghafal Qur’an dan fasih membaca Qur’an.

Namun, Rasulullah bersabda: Dari kelompok orang ini (orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah dari Bani Tamim Al Najdi), akan muncul nanti orang-orang yang pandai membaca Al Qur`an tetapi tidak sampai melewati kerongkongan mereka, bahkan mereka membunuh orang-orang Islam, dan membiarkan para penyembah berhala; mereka keluar dari Islam seperti panah yang meluncur dari busurnya. Seandainya aku masih mendapati mereka, akan aku musnahkan mereka seperti musnahnya kaum ‘Ad. (HR Muslim)

Dari hadist ini Nabi seakan murka dengan kehadiran golongan yang seperti Dzul Khuwaishirah. Ancaman akan memusnahkan, tentu sebuah kalimat yang mencerminkan suatu kondisi lebih dari sekedar marah dan tidak suka. Artinya, mereka menjadi Qur’an bukan sebagai petunjuk tetapi pemuas kepentingannya.

Kemudian ada lagi mereka yang bukan menjadikan Qur’an sebagai pemisah kebenaran dan kebatilan, tetapi menjadi kalimat kebenaran Qur’an untuk kebatilan. Kisah ini terjadi saat perang saudara sesama muslim dalam memperebutkan kekuasaan.

Ketika perang dahsyat antara Ali dan Muawiyah dalam pertempuran saudara dalam perang siffin yang terjadi pada 37 H, ada kelompok sempalan yang kemudian membelot keluar dari ketaatan. Mereka tidak sepakat dengan perjanjian damai yang dibuat oleh pihak Khalifah Ali dan Muawiyah.

Muncullah slogan pertama yang sering digunakan pula dalam kepentingan politik.  “Barang siapa tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan oleh Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir” (Al-Maidah:44). Ayat yang berbicara persoalan otoritas (hakimiyah) ini telah menjadi landasan penting bagi lahirnya tradisi takfiri baik yang digunakan oleh Khawarij masa lalu ataupun kelompok khawarij masa kini (neo-khawarij).

Lalu, apa yang respon Sayyidina Ali terhadap gerakan dan ayat itu. Inilah titik menariknya yang perlu dibahas. Sayyidina Ali menyangkal pemikiran para pembangkang perjanjian dengan ungkapan yang sangat lugas: “itu adalah kalimat kebenaran yang dimaksudkan untuk kebatilan. Benar tiada kekuasaan (otoritas) kecuali milik Allah, tetapi mereka (khawarij) memaksudkan tiada kepemimpinan kecuali milik Allah. Padahal kaum muslimin harus memiliki pemimpin, baik maupun jahat”.

Di sinilah pentingnya pemahaman terhadap al-Qur’an yang benar sesuai dengan petunjuk Rasulullah, sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in dan para ulama setelahnya. Bukan Qur’an yang menyesatkan tetapi penakwilan mereka yang membawa dalam perpecahan dan kesesatan. Membuang jauh nafsu angkara dan tidak memperuncing masalah yang bisa menyebabkan permusuhan karena berbeda penafsiran al-Qur’an sesuai dengan kepentingannya.

Perbedaan itu pasti. Maka jangan tenggelam dalam pusarannya apalagi menggunakan ayat al-Qur’an untuk menghukumi dan mengkafirkan saudara sesama muslim karena perbedaan furu’iyah. Biarlah samudera perbedaan itu tetap luas dan dalam sebagaimana aslinya. Kalau kita terlalu mempersoalkannya khawatir tenggelam dalam kedalaman itu.

Ali bin Abi Thalib berkata : Hindarilah berbantah-bantahan dalam masalah agama, karena pekerjaan itu hanya akan menyibukan hati serta akan menyemaikan bibit-bibit kemunafikan.

Bagikan Artikel ini:

About redaksi

Check Also

ketum pemuda muhammadiyah dzul fikar ahmad tawalla 169

Usai Putusan MK, Pemuda Muhammadiyah Serukan Persatuan Dan Hidup Rukun-Damai

Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan sengketa Perselisihan Hasil Pemilu (PHPU) 2024 pada Senin, …

Alissa Wahid ok

Semangat Emansipasi Kartini Bisa Pengaruhi Penafsiran Agama Modern Terhadap Posisi Perempuan

Jakarta – Kesetaraan gender dan penolakan terhadap diskriminasi perempuan merupakan nilai-nilai yang terus diperjuangkan dalam …