tafsir akhir tahun
tafsir

Makna “Hari ini Aku Sempurnakan untukmu Agamamu”

Dalam ayat 3 surat al Maidah, Allah swt berfirman:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

Artinya: “Pada hari ini telah aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah aku cukupkan kepadamu nikmatku, dan telah aku ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (QS. Al Maidah: 3)

Ayat ini yang sering kali dijadikan dasar oleh orang-orang Wahhabi termasuk al Assim al Karim dalam mengharamkan tradisi keagamaan yang berkembang di Indonesia. Menurut al Assim al Karim (begitu juga Wahhabi lainnnya), ayat ini menjelaskan bahwa pada hari itu, agama Islam sudah menjadi agama yang sempurna, sehingga tidak perlu menambah-nambah amaliyah baru.

Perayaan Maulid Nabi Muhammad saw, tahlilan, peringatan hari besar Islam adalah bentuk amaliyah baru yang seharusnya tidak perlu dilakukan, menurutnya. Secara tidak langsung, orang-orang yang melakukan amaliyah tersebut telah mengingkari firman Allah swt di atas yang menjelaskan agama Islam sudah sempurna.

Mari kita lihat, bagaimana ulama’-ulama’ tafsir dari masa generasi Salaf hingga ulama’ tafsir generasi khalaf mengomentari ayat tersebut.

Imam As Suyuti meriwayatkan pernyataan Ibn Abbas ra bahwa yang dimaksud Allah swt menyempurnakan agamamu adalah menyempurnakan keimanan, sehingga tidak perlu ditambah dan dikurangi. Ibn Abbas ra berkata:

أَخْبَرَ اللهُ نَبِيَّهُ وَالْمُؤْمِنِيْنَ أَنَّهُ قَدْ أَكْمَلَ لَهُمْ اَلْاِيْمَانَ فَلَا تَحْتَاجُوْنَ إِلَى زِيَادَةٍ أَبَدًا َوَقَدْ أَتَمَّهُ فَلَا يَنْقُصُ أَبَدًا وَقَدْ رَضِيَهُ فَلَايَسْخَطُهُ

Artinya: ”Allah swt telah mengabarkan kepada Nabi_Nya dan orang-orang mu’min bahwa diri_Nya telah menyempurnakan tentang keimanan untuk mereka, dengan demikian maka mereka tidak perlu menambah-nambah keimanan lain selainnya. Dan Allah swt telah mencukupkan keimanan tersebut sehingga jangan sampai dikurangi, Allah juga telah meridhai Islam sebagai agama, maka janganlah takut”

Riwayat lain dari Qatadah ra, ayat ini menjelaskan bahwa Allah swt telah memurnikan haji untuk umat Islam. Di mana sebelumnya umat Islam ketika berhaji masih bercampur baur dengan orang-orang kafir. Penafsiran ini juga keterangan lain dari Ibn Abbas ra dari jalur Ibn Mundzir. Dalam salah satu riwayat disebutkan:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: كَانَ الْمُشْرِكُوْنَ وَالْمُسْلِمُوْنَ يَحُجُّوْنَ جَمِيْعًا فَلَمَّا نُزِلَتْ بَرَاءَةً فَنُفِيَ الْمُشْرِكُوْنَ عَنِ الْبَيْتِ الْحَرَامِ وَحَجَّ الْمُسْلِمُوْنَ لَايُشَارِكُهُمْ فِي الْبَيْتِ الْحَرَامِ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ فَكَانَ ذَلِكَ مِنْ تَمَامِ النِّعْمَةِ وَهُوَ قَوْلُهُ: اَلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ

Artinya: “Dari Ibn Abbas ra berkata: Orang-orang musyrik dan orang-orang Islam berhaji bersama-sama. Manakala ayat tersebut (surah al Maidah: 3) diturunkan sebagai pembebasan, maka orang-orang musyrik ditiadakan dari Baitil Haram. Sehingga orang-orang muslim tidak lagi bersama-sama dengan seorang pun dalam menunaikan ibadah haji di Baitil Haram. Sehingga itulah kesempurnaan nikmat bagi mereka (umat Islam). Ini yang dimaksud firman Allah swt : Alyawma akmaltu…”

Penafsiran lain dari As Suddi ra. bahwa ayat ini berkaitan dengan halal dan haram. Artinya tidak akan ada keterangan tentang halal dan haram setelah ayat ini. Sebab Nabi saw sudah wafat. Dalam riwayatnya imam At Thabari disebutkan:

عَنِ السُّدِّيِّ قَوْلُهُ: الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ هَذَا نَزَلَ يَوْمَ عَرَفَةَ فَلَمْ يَنْزِلِ بَعْدَهَا حَلاَلٌ وَلاَ حَرَامٌ وَرَجَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَاتَ

Artinya: “Dari As Suddi: Tentang firman Allah: Alyawma akmaltu…, ayat ini turun di hari Arafah. Dan setelah ayat ini tidak ada ayat lagi yang turun tentang penjelasan halal dan haram. Dan Nabi saw pulang (dari Haji Wada’) kemudian wafat”

Sementara menurut Ibn Muqatil dalam tafsirnya mengatakan bahwa yang dimaksud dengan menyempurnakan agama adalah menyangkut seluruh syariat Islam, mulai dari keimanan kepada Allah swt dan Nabi_Nya juga tentang halal dan haram. Artinya tidak akan ada keterangan lagi yang menyangkut halal haram setelah turunnya ayat ini.

Itulah penafsiran-penafsiran yang banyak berkembang dari ulama’-ulama’ ahli tafsir.

Jika melihat dari beberapa tafsir-tafsir di atas, dapat diketahui makna ayat 33 surat al Maidah tersebut secara global mengarah kepada dua hal; Tentang aqidah atau keimanan dan tentang furu’iyah (halal dan haram). Seandainya pun ada penafsiran lain dari ahli tafsir, maka tidak lepas dari dua hal di atas.

Menurut imam At Thabari dalam kitab Jami’ul Bayan menjelaskan penafsiran yang paling mendekati kepada kebenaran adalah penafsiran yang menyangkut tentang pemurnian ummat Islam dari bercampur baur dengan orang-orang musyrik, sebagaimana di sampaikan oleh Ibn Abbas ra, al Qatadah dan sahabat-sahabat Nabi saw lainnya. Penafsiran ini berarti bukan berkaitan dengan furuiyah yang mempersoalkan halal haram, melainkan tentang masalah keimanan, sehingga umat Islam dijauhkan dari amaliyah orang-orang musyrik.

Sementara terkait dengan furuiyah, apakah sudah disempurnakan atau tidak, ulama’ masih berselisih pendapat. Ibn Jarir at Thabari berkata:

فَأَمَّا الْفَرَائِضُ وَالأَحْكَامُ فَإِنَّهُ قَدِ اخْتُلِفَ فِيهَا هَلْ كَانَتْ أُكْمِلَتْ ذَلِكَ الْيَوْمَ أَمْ لاَ ؟

Artinya: “Adapun tentang Faroid dan hukum-hukum, maka sungguh masih diperselisihkan, apakah juga sudah disempurnakan hari ini atau tidak”

Sekalipun demikian, tidak ada seorang ulama’ tafsir pun dari generasi salaf hingga khalaf yang menyatakan bahwa maksud ayat tersebut adalah penyempurnaan agama dalam setiap satuan-satuan perbuatan, sebagaimana dipahami orang-orang Wahhabi seperti al Assim al Karim. Sehingga berani-beraninya mengharamkan membaca al Fatihah di awal pengajian, merayakan maulid Nabi saw dan amaliyah thayyibah lainnya karena pada saat agama Islam disempurnakan amaliyah ini semunya tidak ada. Model tafsir yang demikian tentu sangat konyol sekali.

Jika kita buka sejarah peradaban Islam, banyak sekali amaliyah-amaliyah thayyibah yang berkembang di masa setelah wafatnya Nabi saw. seperti pembukuan al Qur’an pada masa khalifah Abu Bakar ra, adzan Jum’at dilakukan dua kali di masa khalifah Utsman bin Affan ra, dan bertabarruknya para sahabat Nabi saw menggunakan baju peninggalannya. Semua itu adalah satuan-satuan amaliyah yang tidak ada pada saat Islam disempurnakan, namun dikerjakan oleh orang-orang Shalih tersebut. Apakah al Assim al Karim berani mengatakan para sahabat Nabi saw itu tidak meyakini kebenaran al Qur’an ?

Wallahu a’lam

Bagikan Artikel ini:

About M. Jamil Chansas

Dosen Qawaidul Fiqh di Ma'had Aly Nurul Qarnain Jember dan Aggota Aswaja Center Jember

Check Also

membaca al-quran

Membaca Al Qur’an di Kuburan Menurut Ibn Qayyim Al Jauziyah

Di antara tradisi Ahlussunnah wal Jama’ah yaitu melakukan ziarah kubur. Bahkan menurut Ibn Hazm sebagaimana …

shalat jamaah perempuan

Posisi Yang Utama Bagi Perempuan Saat Menjadi Imam Shalat

Beberapa hari belakangan ini sempat viral di media sosial tentang video yang menampilkan seorang perempuan …