karen amstrong
karen amstrong

Masa Depan Tuhan di Mata Karen Armstrong

Tuhan merupakan subjek sekaligus objek penuh misteri. Setiap kali berusaha membicarakan-Nya, baik lewat lisan maupun tulisan, Ia hadir dan tergambar dengan “pasti” sekaligus “tidak pasti”, Ia tampak “ada” sekaligus “tidak ada”. Bahasa manusia sesungguhnya sangatlah terbatas dan tidak mampu mengambarkan kesaan-Nya. Dan inilah salah satu Keagungan-Nya, yang tak pernah lekang oleh waktu.

Karen Armstrong, dalam buku The Case for God: What Religion Really Means (2009), kembali hadir mengguncang dunia dengan kehebatannya membincangkan diskursus tentang Tuhan. Armstrong tidak lagi melacak konsepsi manusia tentang Tuhan, sebagaimana ia pernah tunjukkan di karya sebelumnya, A History of God (1993), tapi ia mengkaji bagaimana Tuhan dipahami oleh umat manusia sepanjang masa. Armstrong membahas “prospek Tuhan”  atau “masa depan Tuhan”, dari awal mula kehidupan hingga era modern sekarang ini.

Pelacakan Armstrong tertuju pada konsepsi Tuhan yang dipahami manusia ke dalam dua fase kehidupan, yaitu apa yang ia sebut sebagai “Tuhan yang tidak diketahui”, dari 30.000 SM hingga 1500 SM; dan “Tuhan modern”, dari 1500 M hingga sekarang. Dan yang menarik, khusus di The Case for God: What Religion Really Means, Armstrong bertindak tidak hanya sebagai sejarawan, namun ia mengkolaborasi pengetahuan sejarah dengan metode penalaran ala filusuf dan teolog.

Armstrong menengahi dua pemahaman tentang Tuhan yang bertolakbelakang, antara fundamentalisme dan ateisme. Kelompok fundamentalisme memahami Tuhan sangat tekstual, seolah-olah Tuhan tampak oleh mata. Pemahaman ini menggiring penganutnya pada pola keberagamaan yang eksklusif, sehingga menimbulkan sikap ekstrim yang mengganggap dirinya sebagai kelompok tunggal pengusung kebenaran (truth claim).

Tidak heran, pada kelompok fundamentalisme, pembelaan terhadap ideologinya sangat kuat, bahkan tak jarang sering menghalalkan segala cara dengan melakukan tindakan-tindakan nekat dan anarkistis yang mengatasnamakan agama atau Tuhan. Fenomena ini semakin membenarkan ramalan futurolog, bahwa umat manusia di zaman modern menampilkan sikap paradoks, yaitu pembelaan yang berlebih-lebihan pada identitas primordial dan ideologi.

Sebaliknya, kaum ateisme (Barat) yang dikembangkan selama abad ke-19 dan awal abad ke-20 oleh tokoh-tokoh ternama seperti Feuerbach, Marx, Nietzsche, dan Freud, bersikap sinis terhadap agama. Ada pula ateisme yang lebih baru di era modern, seperti Richard Dawkins, Christopher Hitchens, dan Sam Harris. Bagi kelompok ateisme, baik klasik maupun modern, mengkritik keras penghambaan terhadap agama serta Tuhan yang dapat membuat orang tidak merdeka dan tidak membuat orang kreatif berpikir. Dengan beragama pula, menurut kelompok ini dapat menghambat kemajuan peradaban.

Pertanyaannya, bagaimana menyikapai sikap sinis dari kaum ateis di satu sisi, dan distorsi atau pembajakan atas nama Tuhan di sisi lain dari kaum fundamentalis? Armstrong justru meyakinkan pembaca, bahwa agama bukanlah sesuatu yang terutama menyangkut pikiran manusia, melainkan lebih pada perbuatan. “Kebenarannya diperoleh melalui amalan langsung. Tidak ada gunanya membayangkan bahwa Anda akan dapat menyetir mobil hanya dengan membaca manual atau mempelajari peraturan lalu lintas. Anda tidak dapat menari, melukis, atau memasak dengan menekuni teks atau resep”, tulis Armstrong.

Dengan pernyataan itu, Armstrong tidaklah anti-teori terhadap pengetahuan tentang Tuhan. Armstrong hanya mengingatkan, kalau diskursus soal pembuktian eksistensi Tuhan di zaman modern sekarang ini tidaklah relevan lagi dibicarakan. Yang perlu dilakukan sebenarnya selain menjernihkan pemahaman terhadap Tuhan, juga harus ada kesadaran terhadap pluralitas budaya, agama, dan termasuk pluralitas pemahaman itu sendiri, sehingga dengan demikian tercipta dialog, kerukunan dan perdamaian dunia.

Bagikan Artikel ini:

About Ali Usman

Pengurus Lakpesdam PWNU DIY

Check Also

kemerdekaan palestina

Gilad Atzmon dan Pandangannya tentang Kemerdekaan Palestina

Gilad mendukung penuh “hak pulang kampung” rakyat Palestina dan “solusi negara tunggal” bagi penyelesaian konflik yang sudah berlangsung lama itu.

asmaul husna

Kearifan Sufi dan Terapi Asmaul Husna

Menjadi seorang sufi, atau menjalankan ajaran tasawuf dalam kehidupan sehari-hari adalah sebuah tantangan. Dikatakan demikian, …