pemilu 2024

Menakar Jangkar Berlabuh Islamisme dalam Kontestasi Politik 2024

Indonesia akan menghadapi Pemilu pada 14 Februari 2024. Hiruk pikuk perhelatan politik lima tahunan ini sudah mulai terasa. Eskalasi politik mulai meningkat dengan peta faksi dan koalisi yang mulai terbentuk nyata. Gambaran pertandingan kawan dan lawan sudah mulai dapat dicerna publik.

Di antara suguhan kontestasi pemilu, Pemilihan Presiden (Pilpres) tentu menjadi magnet utama tanpa mengabaikan kontestasi di level legislatif dan pemilihan kepala daerah. Siapa pucuk pimpinan bangsa ini lima tahun mendatang nampaknya lebih banyak menyedot perhatian khalayak, termasuk kelompok Islamisme.

Memang sedikit membingungkan untuk memakai istilah islamisme. Namun, kategori ini lebih memadai dari pada menggunakan istilah yang peyoratif seperti fundamentalisme, konservatisme, atau bahkan ekstremisme dan radikalisme. Islamisme merujuk pada definisi dan konsepsi dari beberapa tokoh seperti Tibi, Rickleff dan Oliver Roy mempunyai benang merah pengertian sebagai suatu kelompok yang menjadikan Islam sebagai ideologi politik. Islam bukan sekedar agama, tetapi mencakup pandangan seluruh kehidupan. Cita-cita kaffah dari Islam ini akan berjalan dengan terlibat dalam aksi politik dengan berfokus pada kekuasaan negara.

Istilah islamisme di atas cukup menaungi beberapa gerakan kelompok-kelompok Islam di Indonesia yang tidak hanya berorientasi pada pembangunan jamaah kultural, tetapi juga mengais harapan kekuatan struktural di level negara. Isu-isu kelompok ini lebih mencerminkan partai politik dari pada ormas keagamaan, karena nyata memiliki agenda islamisasi politik dan negara. Tentu Islamisme, sebagaimana Tibi mengatakan, bukan Islam itu sendiri. Ia hanya tafsir dari individu yang membawa Islam ke ranah politik.

Pertanyaannya, kemana jangkar Islamisme akan diturunkan dan berlabuh dalam kontestasi politik nanti?

Pasca Jokowi adalah Momentum

Kelompok Islamisme yang memang secara nyata memiliki watak politik ini tidak akan diam atau menghindari kontestasi politik. Ia akan bergerilya melakukan manuver untuk ikut mengambil bagian keuntungan dari proses politik yang ada. Peta dan gambaran politik sudah mulai nampak, tinggal kemana mereka berijtihad politik untuk melabuhkan pilihan.

Perubahan pemandu kepemimpinan nasional akan terjadi. Ini tentu menjadi kesempatan dan peluang emas bagi mereka untuk membuka lembaran baru terhadap kekuasaan yang bisa akomodatif terhadap eksistensi mereka. Kenapa itu penting dilakukan?

Selama Pemerintahan Joko Widodo, kelompok Islamisme telah menghadapi tekanan yang cukup kuat. Mereka yang mulanya muncul di ruang publik secara berani di awal reformasi mendadak meredup di era Jokowi. Bahkan karpet merah pernah mereka rasakan dengan menggunakan fasilitas negara dalam menunjukkan eksistensi ideologi dan organisasi. Beberapa kader pun sudah “lumayan” banyak masuk ke lembaga-lembaga negara sebelumnya akhirnya banyak tercium dan terciduk.

Intinya, bagi gerakan Islamisme, pemerintahan Jokowi adalah masa kelam dalam sejarah gerakan mereka di Indonesia. Keberadaannya dicurigai, dibubarkan dan diamputasi gerakannya di berbagai sektor kehidupan masyarakat, terutama di lembaga negara. Mereka pada akhirnya lebih banyak memainkan strategi hibernasi, merunduk, berkamuflase dengan berganti organisasi, atau memobilisasi massa menyuarakan ide-ide politik tertentu tanpa embel-embel nama organisasi.

Perubahan sebentar lagi. Mereka tidak mau masuk ke dalam jurang untuk kesekian kalinya. Ada peluang besar pada Pemilu 2024 untuk merubah nasib mereka di tangan rezim yang lebih akomodatif dan permisif.

Menakar Pilihan dan Tawar Menawar

Peta politik setidaknya sudah mereka miliki. Track record dan latar belakang para kontestan sudah mereka genggam untuk dipelajar.  Pertanyaannya, kemana arah tujuan politik dari kelompok islamisme?

Kelompok Islamisme mungkin akan melihat peluang dalam perubahan kepemimpinan nasional. Mereka akan membaca, mengevaluasi calon presiden dan partai yang memiliki kedekatan dengan pandangan mereka.

Kondisi politik dan kebijakan negara masa kini yang kelam bagi nasib mereka akan dipotret oleh kelompok Islamisme dalam dua dimensi. Tentu saja pertama sosok Jokowi dan kedua pengusungnya alias partai politik dalam hal ini PDI-P. Keduanya berperan penting menjebloskan mereka dalam jurang kelam.

Pilihan politik yang rasional bagi islamisme adalah antitesa Jokowi dan PDI-P. Artinya, mereka cenderung akan mendukung calon yang mereka anggap lebih mendukung aspirasi Islamisme, termasuk mereka yang mendorong politisasi agama dalam kebijakan. Mereka akan memilih calon dengan track record yang akomodatif dan permisif terhadap gerakan Islamisme.

Jika pun kriteria itu tidak ditemukan seratus persen dalam diri kontestan tertentu, kelompok Islamisme tidak akan Golput. Mereka secara sadar adalah gerakan politik dengan ideologisasi agama yang mempunyai nafsu kekuasaan. Karena itulah, tawar menawar politik akan dilakukan.

Dalam hal ini, kemungkinan besar mereka akan mengejar hubungan yang tidak terlalu ketat secara ideologis, tetapi bisa berkomitmen untuk memberikan ruang ekspresi kebebasan organisasi dan ideologi mereka di ruang publik. Dalam konteks ini, pendekatan pragmatis akan mendominasi strategi kelompok Islamisme. Mereka akan lebih memilih calon yang memiliki peluang tidak memusuhi gerakan mereka.

Sebagai bagian dari strategi tawar-menawar politik, kelompok Islamisme mungkin akan menawarkan dukungan mereka kepada calon tertentu dengan harapan bahwa calon tersebut akan mengakomodasi atau memberikan kontribusi pada isu-isu yang mereka anggap penting di masa mendatang.

Bagaimanapun Pemilu 2024 bagi kelompok Islamisme adalah kesempatan dan peluang untuk mengais nasib baik setelah dua periode tidak bisa hidup tenang. Mereka cenderung mencari kesempatan untuk mendukung calon yang dapat mengakomodasi pandangan mereka, bahkan jika itu berarti tawar-menawar politik.

Suara kelompok Islamisme ini masih cukup menggiurkan. Walaupun minoritas, tetapi massa mereka di perkotaan plus dengan isu ideologisasi agama akan mampu menjangkau emosi umat Islam. Ciri khas politisasi agama dari kelompok ini akan masih ditemukan nantinya di ruang-ruang kontestasi politik.

Namun, tentu ujian kedewasaan para tokoh bangsa akan dipertaruhkan. Apakah mereka tetap berkomitmen dalam kerangka wawasan kebangsaan untuk menolak ideologi dan kendaraannya yang bertentangan dengan falsafah negara atau mereka akan membeli suara kelompok islamisme demi meraih kekuasaan?

Bagikan Artikel ini:

About redaksi

Check Also

gus yahya sungkem ke sinta wahid usai gus dur jadi pahlawan nasional 1762748876545 169

Dianugerahi Pahlawan Nasional, Gus Dur dan Warisan Toleransi untuk Bangsa

Jakarta — Menjelang peringatan Hari Pahlawan, Presiden Prabowo Subianto menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada sepuluh …

Masjid SMAN 72 Jakarta copy

Ditemukan 7 Peledak di SMAN 72, Seruan Damai Bergema: Kekerasan Bukan Jalan Kebenaran

Jakarta — Di tengah kepanikan pascaledakan di SMAN 72 Jakarta, ada pesan yang mulai menggema …