Rashdul Kiblat atau Istiwa A’zam adalah peristiwa Matahari berada tepat di atas Makkah, Saudi Arabi. Saat itu, arah ke Matahari akan sama dengan arah kiblat. Maka untuk menentukan arah kiblat cukup melihat Matahari. Fenomena alam tahunan tersebut terjadi mulai hari ini Rabu (27/5-30/5) pada pukul 16.18 WIB.
Momen ini bisa dimanfaatkan oleh umat Islam untuk mengkalibrasi atau memverifikasi arah kiblat di masjid, mushalla maupun di rumah masing-masing supaya syarat rukun shalat terpenuhi secara sempurna.
Pertanyaannya, apakah ketika shalat badan harus persis menghadap kiblat ataukah cukup memperkirakan arah kiblat saja?.
Pertama harus dijelaskan terlebih dahulu apa yang dimaksud Masjidil Haram. Dalam al Qur’an maupun hadis terdapat beberapa istilah yang dipakai untuk penyebutan Masjidil Haram. Yakni Ka’bah, Masjidil Haram, Makkah dan tanah haram (Makkah dan sekitarnya).
Berdasar pada beberapa istilah yang diapakai oleh al Qur’an maupun hadis untuk penyebutan Masjidil Haram, ulama berbeda pendapat tentang apakah ketika shalat harus tepat menghadap Kiblat (Ka’bah) atau cukup memperkirakan arah kiblat saja.
Sebagaimana maklum bahwa menghadap kiblat merupakan fardhu shalat kecuali shalat khauf dan shalat sunnah di kendaraan. Seluruh ulama sepakat tentang hal ini. Perbedaan pendapat hanya terjadi pada soal apakah ketika menghadap kiblat harus tepat ke arah kiblat (‘ainul kiblat) atau cukup menghadap arah kiblat.
Menurut Syafi’iyah dan Hanabilah wajib menghadap persis ke arah Ka’bah (‘ainul kiblat). Sedangkan menurut Hanafiyah dan Malikiyah yang wajib hanya menghadap arah kiblat saja. Tidak harus persis menghadapkan badan lurus ke Ka’bah.
Menurut penulis dua pendapat di atas bisa dipakai sesuai situasi dan kondisi daerah tertentu. Pada daerah yang matahari terlihat Rashdul Kiblat lebih baik mengikuti pendapat Madhab Syafi’i dan Hanbali. Sedangkan daerah yang saat terjadinya Rashdul Kiblat Matahari tidak terlihat cukup berpedoman pada pendapat madhab Maliki dan madhab Hanafi.
Dengan demikian, dua pendapat di atas sama-sama kuat. Baik secara dalil maupun kandungan maslahatnya. Keduanya bisa dipilih salah satunya disesuaikan dengan situasi dan kondisi di suatu daerah.