isra miraj
isra miraj

Menghayati Isra Mi’raj Sang Nabi, Pesan Keheningan kepada Bumi

Pada tanggal 27 Rajab, yang bertepatan dengan 22 Maret 2020, umat Islam memperingati sejarah perjalanan spiritual isra mi’raj. Lalu, apa makna dan pesan yang bisa diambil dari perjalanan sakral ini?


Usia Nabi Muhammad sekitar 40 tahun kala itu, ketika mendapatkan wahyu pertama dari Sang Jibril, usai bertapa sekian lama di Gua Hira. Sejak itu ia mendapat mandat dari Allah untuk membumikan pesan-pesan ilahiah kepada masyarakat yang kala itu dipenuhi sengkarut ketimpangan dan huru-hara kebencian antar kabilah.

Nabi dibebani amanat agung dari Allah untuk melakukan revolusi manusia secara besar-besaran di tanah Arab yang gersang dan panas, yang dihidupi oleh peradaban Jahiliyyah yang belum mengenal makna kemanusiaan yang sejati. Napas kehidupan sosial kala itu masih digegapi fanatisme antar suku, sehingga perang dan seteru kerap membara di mana-mana. Tubuh-tubuh manusia tak lebih berharga dari kebangaan egosentris semata.

Ketika Nabi pertama kali membumikan ayat-ayat Allah dalam kondisi masyarakat yang setimpang itu, penolakan menghantam demikian keras. Berbagai intimidasi dan ancaman tak henti-henti menyerang sang Nabi dan sahabat serta pengikutnya yang masih sangat sedikit kala itu.

Penyerangan, penolakan dan intimidasi tersebut tentu dapat dipahami sebagai sebuah respon dari sistem sosial yang tidak humanis yang kadung mengakar terlampau kuat dalam masyarakat Arab kala itu.

Nadirsyah Hosen dalam artikelnya mengungkapkan:

Seruan Islam akan keadilan sosial, perhatian pada nasib anak yatim, fakir miskin dan pembebasan budak serta ajaran Islam akan persamaan derajat manusia, menimbulkan penolakan keras penduduk Mekkah pada Muhammad. Bagi mereka, agama ini tidak hanya “merusak” ideologi dan teologi mereka, tetapi juga “merombak” kehidupan sosial mereka.[1]

Berbagai penolakan yang diterimanya pada titik tertentu membuat Nabi dilanda kesedihan, apalagi ketika di masa-masa perjuangannya itu juga mesti diliputi dengan kepergian orang-orang terkasihnya, istri yang telah menemaninya, Khadijah, juga sang paman yang merawatnya, Abu Thalib, meninggal dunia.

Pesan Isra Mi’raj

Setelah sepuluh tahun berjuang menyampaikan pesan-pesan Islam tentang kemanusiaan dan keadilan, dihantami berbagai cobaan dan ujian yang tidak hanya menyerangnya secara fisik, namun juga menghujam batinnya yang paling tulus, Allah pun mengajak sang Nabi untuk berkunjung ke langit dan istirahat barang sekejap saja dari deru peluh pengorbanannya menegakkan pesan-pesan Tuhan.

27 rajab kala itu ketika Nabi dihadiahi oleh Allah sebuah perjalanan spiritual yang ajaib, dengan mengendarai buraq yang melesat lebih cepat dari cahaya, Nabi diajak mengunjungi masjid al Aqsa di Palestina yang merupakan the holy land of three religions, tanah suci bagi tiga agama: Yahudi, Kristen dan Islam.

Pengalaman transendetal ini sesungguhnya hendak menyampaikan pesan penting kepada umat tentang persaudaraan di atas perbedaan agama. Bahwa bumi ini tak hanya dihuni oleh muslim semata, ada kebaikan-kebaikan yang mesti terus ditebarkan oleh seorang muslim tanpa memandang latar belakang agama sesama manusia.

Usai dari al Aqsa, Sang Nabi melesat ke angkasa, di langit ketujuh, di bawah pohon Bidara yang disebut-sebut sebagai sidratul muntaha. Sidrah bermakna pohon bidara, atau widara, atau Indian Jujube,  tanaman yang sesungguhnya tumbuh di tanah kering, sementara muntaha artinya akhir.

Di sebuah lapis langit itu, Sang Nabi bertatap langsung dengan Allah. Seolah di bawah rerimbun pohon Bidara itu, Allah hendak mengingatkan Sang Nabi bahwa di tanah kering sekalipun, akan tumbuh pepohonan, bahwa di dalam kesedihan dan kepedihan, selalu tumbuh harapan-harapan.

Perjalanan spiritual yang disebut sebagai isra’ mi’raj itulah, Allah menghibur hati sang Nabi yang dirundung lara.

Dalam konteks ekologi, pemaknaan teologis terhadap kisah isra’ mi’raj mesti dilihat sebagai pesan Illahi tentang pentingnya menjaga bumi dan lingkungan. Munculnya pohon bidara di Sidratul Muntaha adalah pesan gamblang bahwa di langit yang kerap kita andai-andaikan sebagai surga, sesungguhnya bukanlah sesuatu yang muluk-muluk serupa cahaya, tetapi imaji surga yang sejati justru terwujudkan dalam bentuk alam yang kita lindungi secara sungguh-sungguh.

Sementara dalam pemaknaan Isra’ Mi’raj untuk zaman yang penuh dengan distraksi saat ini, kita perlu memberi jeda pada bumi dan semesta dari segala bentuk kebisingan, polusi kendaraan dan deru mesin yang terus menerkami nafas dan bumi kita, itulah salah satu bentuk penghayatan sunyi yang mesti kita lakukan atas perjalanan Isra’ Mi’raj sang Nabi.

Ketika Sang Nabi menembus langit untuk menempuh kesunyian dan pertapaan hening, maka umat Islam saat ini juga dituntut untuk kembali merenung dan menyelamkan diri dalam katarsis-katarsis ego dan diri.

Terlebih di tengah situasi genting saat ini di mana dunia sedang dihantui oleh wabah Corona, kita diminta untuk menahan diri di rumah saja. Bagi saya, inilah momentum isra’ mi’raj yang bisa kita hayati, sebab kita diajak untuk turut menekan level polusi, kita diajak untuk bertapa dan menahan diri tidak hanya secara fisik, tetapi syukur-syukur kita mampu menahan diri dari menebar kebencian dan caci maki yang kerap kita lontarkan kepada sesama.

Seperti Sang Nabi yang suci itu, kesucian kita saat ini justru terletak pada menepi dan merenung dalam sepi dan sunyi, mencipta keheningan pada bumi agar ia juga bisa sejenak bernapas dari beban-beban yang ditanggungnya atas ulah kita yang kerap merusaknya.

Dengan demikan, memperingati isra’ mi’raj yang tahun ini jatuh pada 22 Maret, kaum muslimin dituntut untuk lebih mawas diri dalam bertindak dan berlaku sehari-hari, baik kepada sesama manusia maupun kepada alam dan lingkungan, sehingga pesan ilahi tentang rahmatan lil ‘alamin juga bisa kita wujudkan dalam sebentuk penghayatan cinta kepada bumi yang kita tempati. Seperti Sang Nabi yang juga bertapa dari keriuhan, kita juga mesti bertapa dari segala ketamakan.


[1] https://nadirhosen.net/artikel-isnet/islam-periode-mekkah-dan-madinah

Bagikan Artikel ini:

About Amar Alfikar

Santri abadi, Pengaji kebudayaan dan Pegiat kemanusiaan

Check Also

makna azab

Menafsir Ulang Makna Azab untuk Keberlangsungan Alam dan Kehidupan

Memahami ulang makna azab atas peristiwa tragis dalam kehidupan. Apakah peristiwa itu dianggap azab atau …