makna azab
makna azab

Menafsir Ulang Makna Azab untuk Keberlangsungan Alam dan Kehidupan

Memahami ulang makna azab atas peristiwa tragis dalam kehidupan. Apakah peristiwa itu dianggap azab atau ujian? Sejauhmana takarannya?


Wabah Corona yang menjangkiti dunia akhir-akhir ini telah menggelisahkan begitu banyak manusia, pejabat dan pemimpin negara, juga tokoh-tokoh dan pemimpin agama. Berbagai kebijakan yang dulu tidak mungkin kini justru diberlakukan dengan begitu yakin.

Pemerintah Arab Saudi memberlakukan larangan umrah sejak akhir Februari. Ikatan Ulama Besar Al-Azhar[1] hingga Majelas Ulama Indonesia memfatwakan kebolehan untuk tidak melakukan shalat Jama’ah dan shalat Jum’at untuk mencegah penularan wabah, ibadah Pekan Suci dan Paskah di Vatikan pun digelar tanpa jamaah.

Konsekuensinya, ka’bah menjadi lengang. Paus Fansiskus menyampaikan khotbah dengan kursi-kursi jamaat yang kosong. Azan di beberapa tempat di Timur Tengah dikumandangkan sembari melafal:

صَلُّوا فِى رِحَالِكُمْ (sholluu fi rihaalikum) atau صَلُّوا فِى بُيُوتِكُمْ (sholluu fi buyuutikum), Lakukanlah shalat di rumahmu sendiri.

Seorang syekh yang memimpin shalat di ka’bah menyenandungkan ayat dengan suara yang terpotong-potong dan nada yang terisak-isak. Mungkin ia tak menyangka ka’bah yang suci bisa lengang dari para penyembah Allah. Mungkin juga dibalut rasa duka, kita tak tahu pasti apa yang sungguh bergelayut dalam dadanya.

Tetapi satu hal yang pasti, bumi sedang mengambil jedanya sementara. Seperti dilansir The New York Times[2], rekaman satelit menampilkan perubahan drastis pada level polusi di Italia dan Cina. Polusi yang berasal dari emisi knalpot berbagai kendaraan, bahan bakar fosil dalam pembangkit listrik, juga dari berbagai aktivitas industri, merosot tajam sejak Februari hingga Maret ketika dua negara itu berpuasa dari berkegiatan di luar rumah.

 Di masa-masa outbreak ini pula, para pemuka agama telah mengambil peran yang sangat aktif dan gesit untuk mencegah wabah ini merebak lebih luas, menjaga agar wabah tak menghantam lebih banyak tubuh manusia. Sehingga kaidah lâ dhororo walâ dhirôro (jangan membahayakan diri dan orang lain) menjadi sebuah kaidah yang secara realitas niscaya.

Meletakkan Makna Azab

Meski begitu, tak jarang masih kita dengar bahwa wabah ini diturunkan lantaran azab Tuhan kepada manusia, sembari menuding-tuding pihak-pihak tertentu yang dibencinya.

Gelora merasa paling suci masih acap tertangkap dalam narasi-narasi reaktif berbalut agama. Tiap kali terjadi suatu bencana, hal serupa memang terus terjadi. Lalu, apa sebenarnya makna azab di sini?

Perebutan makna antara ujian dan azab masih kerap diproduksi dalam konteks yang sempit, bahwa jika sesuatu yang buruk menimpa kita atau saudara sesama fikrah, kita anggap itu sebagai ujian naik tingkat dan derajat.

Sedangkan jika bencana terjadi pada orang lain yang bersebarangan pendapat (juga kadang-kadang pendapatan) dari kita, maka terburu-buru sekali kita melabelinya sebagai azab yang turun kepada para pembangkang.

Konstelasi makna azab hanya diletakkan pada konteks perbedaan identitas aku dan the others, yang liyan. Bukan dalam perkara yang lebih besar, lebih serius dan nyata. Misalnya, dalam konteks perusakan terhadap bumi.

Padahal, kalau saja kita mau merenung lebih dalam tentang kondisi ibu bumi kita saat ini, maka sudah semestinya makna azab diletakkan dalam pertempuran melawan kerusakan alam dan lingkungan. Sebab bumi kita telah menanggung begitu banyak beban yang diperparah oleh tangan manusia sendiri, baik tangan-tangan yang kecil maupun tangan-tangan yang besar.

Tangan-tangan kecil adalah tangan kita yang masih senang membuang sampah sembarangan, membiarkan sungai tersumbat oleh timbunan sampah yang kita buang tanpa rasa bersalah. Plastik-plastik yang kita buang ke laut dan membuat begitu banyak makhluk Allah yang lain mati karenanya.

Sementara tangan-tangan besar adalah perusahaan-perusahaan besar yang membuang limbah ke hulu-hulu suci yang lantas terkotori. Asap-asap cerobong yang membikin sesak dada masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Juga yang telah mengorbankan ribuah hektar hutan demi sepetak kekuasaan.

Bencana wabah Corona yang datang kepada kita bisa jadi adalah betul azab dalam wajah yang lain: yakni peringatan agar bumi lebih seksama kita jaga bersama-sama. Agar tangan-tangan kita mampu berbenah dari berburu ketamakan, tangan yang telah lama membiarkan kerusakan pada alam.

Kerusakan terhadap bumi dan alam sudah barang tentu menelan korban, Alquran sudah mengingatkan kita tentangnya.

ظَهَرَ ٱلْفَسَادُ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِى ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ ٱلَّذِى عَمِلُوا۟ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar.” -Surah Ar-Rum Ayat 41-

Di dalam Tafsir Jalalayn disebutkan bahwa kerusakan yang nampak dalam ayat ini maksudnya adalah kerusakan dalam bentuk menipisnya tumbuh-tumbuhan dan keringnya sungai-sungai dan lautan.

Membaca ayat ini, lantas merenungi apa yang tengah terjadi pada kehidupan kita akhir-akhir ini dengan merebaknya wabah corona, saya membayangkan betapa dahsyatnya jika level ketakutan terhadap kerusakan lingkungan dan alam yang sudah sekian lama terjadi itu sama dengan ketakutan kita terhadap wabah corona.

Saya membayangkan jika khotbah-khotbah keagamaan kita dipenuhi dengan ancaman bencana dan musibah yang ditujukan kepada tangan-tangan yang merusak bumi dan alam. Fatwa-fatwa penuh ketegasan dikeluarkan kepada tangan-tangan yang sekian lama menggunduli hutan. Berbagai kebijakan pemerintah diberlakukan demi dan untuk keberlangsungan bumi yang lebih sehat dan meneduhkan.

Kalau-kalau itu benar terjadi, betapa agama telah difungsikan sebagaimana mestinya, yakni sebagai pembawa pesan-pesan Allah kepada manusia agar setia menjaga alam dan semesta, agar setia merawat bumi dengan sebaik-baiknya. Sehingga bumi dan manusia bisa bernapas dengan semestinya, tanpa tersengal-sengal, tanpa ketamakan yang demikian bebal.


[1] https://islami.co/ulama-besar-al-azhar-fatwakan-untuk-hentikan-sementara-shalat-jumat-dan-shalat-jamaah/

[2] https://www.nytimes.com/interactive/2020/climate/coronavirus-pollution.html

Bagikan Artikel ini:

About Amar Alfikar

Santri abadi, Pengaji kebudayaan dan Pegiat kemanusiaan

Check Also

isra miraj

Menghayati Isra Mi’raj Sang Nabi, Pesan Keheningan kepada Bumi

Pada tanggal 27 Rajab, yang bertepatan dengan 22 Maret 2020, umat Islam memperingati sejarah perjalanan …