tahun baru islam
tahun baru islam

Menjawab Tuduhan Bid’ah Pada Acara Dzikir Dan Doa Menyambut Tahun Baru Hijriyah

Pergantian tahun baru Islam merupakan momentum bersejarah yang hanya terjadi sekali saja dalam setahun, dan karenanya, sebagian kalangan tidak ingin melewatkan waktu yang bersejarah ini tanpa diisi dengan amal kebaikan. Di antara sekian amalan dalam rangka mengisi momen pergantian tahun ini, yang lazim dipraktikkan oleh sebagian kalangan umat Islam di dunia, adalah melakukan zikir bersama dan pembacaan do`a.

Hanya saja, di tengah hiruk pikuk semangatnya umat Islam dalam menyambut tahun baru hijriyah ini, masih ada sebagian kalangan yang menganggap amalan zikir dan do`a akhir tahun ini sebagai bagian dari bentuk ibadah yang tak memiliki dasar dan landasan normatif dalam Islam. Dan bahkan mereka menganggap sebagai perilaku bid`ah dalam agama yang harus dijauhi.

Syekh Sa`ad al-Khatslān, ketua Majlis Idārah al-Jam`iyyah al-Fiqhiyyah di Saudi, menyatakan:

ليس لذلك أصل في الإسلام، ويعد من البدع الإضافية فلا يجوز تخصيص أي عبادة من العبادات بوقت معين إلا بدليل شرعي، بالتالي تخصيص مثل هذه العبادات في نهاية العام الهجري لا أصل له

Ibadah semacam itu tidak memiliki dasar dalam ajaran Islam, dan termasuk dalam perbuatan bid`ah. Tidak boleh mengkhususkan ibadah tertentu dalam waktu tertentu kecuali dengan adanya dalil syar`i. Oleh karenanya, mengkhususkan ibadah semacam ini menjelang akhir tahun Hijriyah (adalah ibadah) yang tidak memiliki dasar.

Pendapat serupa juga disampaikan oleh Syekh al-`Utsaimin dan Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, yang pernah menjabat Mufti Kerajaan Arab Saudi. Hisam bin Abdullah pernah mengulas kebid`ahan zikir dan do`a di akhir tahun dengan berpedoman pada salah satu kaedah :

إن كل عمل يتقرب به المسلم إلى ربه ويرجو منه أجراً وثواباً لم يفعله النبي  ولا أصحابه مع إمكانهم فعله وعدم وجود مانع من ذلك فهو من جملة المحدثات والبدع

“Setiap amalan orang Islam yang maksudkan untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya serta mengharapkan pahala, sementara amalan tersebut belum pernah dicontohkan oleh nabi dan para sahabat, padahal beliau (nabi dan sahabat) dapat saja melakukannya tanpa adanya halangan tertentu, maka amalan itu termasuk hal baru dan bagian dari bid`ah”.

Jika direduksi,  persoalan tuduhan ke-bid`ah-an ritual zikir dan do`a akhir tahun di atas, dapat dikerucutkan menjadi dua problem utama, yaitu mengkhususkan ibadah dalam waktu tertentu serta amalan yang tidak pernah dilakukan oleh nabi dan para sahabat. Agar pembahasan ini lebih sistematis, saya akan menguraikan dua tuduhan tadi, secara berurutan.

Mengkhususkan Suatu Ibadah pada Waktu Tertentu

Pertanyaan yang paling mendasar dalam hal ini adalah betulkah mengkhususkan waktu-waktu tertentu untuk beribadah tidak diperkenankan dalam Islam ? untuk menjawab hal ini, sekaligus membantah klaim bid`ah atas ritual dzikir dan do`a pada peringatan tahun baru hijriyah, berkut akan saya paparkan beberapa dalil yang dapat membantahnya.

Dalil pertama:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْتِي مَسْجِدَ قُبَاءٍ كُلَّ سَبْتٍ مَاشِيًا وَرَاكِبًا وَكَانَ عَبْدُ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يَفْعَلُهُ. (رواه البخاري)

Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selalu mendatangi Masjid Quba’ setap hari sabtu, dengan berjalan kaki dan berkendaraan.” Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu juga selalu melakukannya. (HR. al-Bukhari( 

Dalam mengomentari hadis ini, Ibnu Hajar al-Asqalāni dalam kitab Fath al-Bāriy memberikan penjelasan:

وَفِي هَذَا اَلْحَدِيثِ عَلَى اِخْتِلَاف طُرُقِهِ دَلَالَة عَلَى جَوَاز تَخْصِيص بَعْضِ اَلْأَيَّامِ بِبَعْضِ اَلْأَعْمَالِ اَلصَّالِحَةِ وَالْمُدَاوَمَةِ عَلَى ذَلِكَ  (فتح الباري لابن حجر – ج 4 / ص 197)

Hadis ini, dengan jalur-jalurnya yang berbeda, menjadi dalil atas diperbolehkannya mengkhususkan hari-hari tertentu dengan amalan khusus dan melakukannya secara rutin.

Dalil Kedua:

وَعَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ نَبِيَّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِبِلاَلٍ عِنْدَ صَلاَةِ الْفَجْرِ: «يَا بِلاَلُ حَدِّثْنِيْ بِأَرْجَى عَمَلٍ عَمِلْتَهُ فِي اْلإِسْلاَمِ فَإِنِّيْ سَمِعْتُ دُفَّ نَعْلَيْكَ فِي الْجَنَّةِ» قَالَ: مَا عَمِلْتُ عَمَلاً أَرْجَى عِنْدِيْ مِنْ أَنِّيْ لَمْ أَتَطَهَّرْ طَهُوْرًا فِيْ سَاعَةٍ مِنْ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ إِلاَّ صَلَّيْتُ بِذَلِكَ الطَّهُوْرِ مَا كُتِبَ لِيْ (رواه البخاري ومسلم وغيره)

“Dari Abu Hurairah ra. beliau meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada Bilal ketika shalat fajar: “Hai Bilal, kebaikan apa yang paling engkau harapkan pahalanya dalam Islam, karena aku telah mendengar suara kedua sandalmu di surga?”. Ia menjawab: “Kebaikan yang paling aku harapkan pahalanya adalah aku belum pernah berwudhu’, baik siang maupun malam, kecuali aku melanjutkannya dengan shalat sunat dua rakaat yang aku tentukan waktunya”.

Al-Hafidz Ibnu Hajar memberikan ulasan atas hadis di atas dengan menyatakan:

وَيُسْتَفَاد مِنْهُ جَوَاز الِاجْتِهَاد فِي تَوْقِيت الْعِبَادَة ، لِأَنَّ بِلَالًا تَوَصَّلَ إِلَى مَا ذَكَرْنَا بِالِاسْتِنْبَاطِ فَصَوَّبَهُ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (فتح الباري لابن حجر – ج 4 / ص 139)

“Dari hadis di atas dapat diampil kesimpulan akan bolehnya melakukan ijtihad dalam menentukan waktu beribadah, sebab sahabat Bilal sampai pada derajat yang disebutkan tadi, berkat istinbath, dan hal itu dibenarkan oleh nabi”.

Berdasarkan dua dalil di atas, dapat disimpulkan bahwa mengkhususkan waktu tertentu untuk melakukan ritual ibadah kepada Allah swt. tidak dilarang dalam ajaran Islam. Dalil-dalil yang membolehkan melakukan penentuan waktu dalam beribadah, juga banyak diperkuat oleh fatwa-fatwa para ulama lainnya, seperti fatwa syekh Nawawi al-Bantenni yang terdapat dalam kitab Nihayatus Zainز

Ibadah yang Tidak Pernah dilakukan oleh Nabi dan Para Sahabat

Argumen yang kedua ini kerap dijadikan dalil oleh sebagian kalangan untuk mebid`ahkan amaliyah umat Islam, khususnya di Indonesia. Tidak hanya pada ritual ibadah dzkiri dan do`a menjelang pergantian tahun, namun amalan lainnya, seperti upacara peringatan kehamilan, tahlilan, burdah, dan barzanji, tak luput dari klaim bid`ah dikarnakan anggapan bahwa amaliyah-amaliyah tersebut tidak pernah dicontohkan oleh nabi dan para sahabat.

Dalam syari`at Islam, persoalan amalan yang belum pernah dilakukan oleh nabi dan para sahabat lazim disebut dengan at-tark. Para ulama, baik salaf maupun khalaf, telah sepakat bahwa at-tark tidak dapat dijadikan hujjah menetapkan status hukum dalam syari`at Islam. Sayyid Abdullah bin Shodiq al-Ghumari mengulas secara panjang lebar persoalan ini dalam bukunya “Husnu at-Tafahhumi wa ad-Darki li Mas`alati at-Tarki” dan memulai pembahasannya dengan bait-bait sya`ir:

التَّرْكُ لَيْسَ بِحُجّة في شرعنا     لا يقتضي منعا ولا إيجابا

At-Tark (peninggalan nabi atas sebuah persoalan) tidak termasuk hujjah dalam syari`at kita (Islam),  ia tidak dapat berimplikasi larangan ataupun kewajiban”

Dalam sebuah hadis diikisahkan bahwa suatu ketika, saat para sahabat melakukan shalat jamaah bersama nabi, saat nabi i`tidal  dan membaca “sami’allahu liman hamidah, tiba-tiba seseorang di belakang beliau mengucapkan: hamdan katsīran thoyyiban mubārokan fīh. Kemudian setelah selesai sholat Rasulullah bertanya: siapa yang bicara tadi? Makmum tadi menjawab: saya. Rasulullah pun berkata: Aku melihat sekitar tiga puluh malaikat saling berebut, siapakah diantara mereka yang mencatatnya duluan. Al-Hafidz Ibnu Hajar selanjutnya memberikan keterangan hadis ini:

وَاسْتُدَلَّ بِهِ عَلَى جَوَاز إِحْدَاث ذِكْر فِي الصَّلَاة غَيْر مَأْثُور إِذَا كَانَ غَيْرَ مُخَالِف لِلْمَأْثُورِ (فتح الباري لابن حجر – ج 3 / ص 188)

Hadis ini dapat dijadikan dalil akan kebolehan memperbarui (membaca) dzikir  yang belum ma`tsur (dicontohkan nabi) dalam shalat, selama tidak menyalahi dzikir yang sudah ma`tsur.

Dalam kaedah Fiqhiyyah yang ke dua belas juga dijelaskan :

العبرة بالمقاصد والمسميات، لا بالظواهر والتسميات

“Tolok ukur dalam sebuah perkara adalah tujuan (maqashid) dan subtansinya, bukan fenomena luar dan penamaannya”

Dalam konteks ritual dzikir dan do`a menyambut tahun baru hijriyah, kendatipun belum pernah dilakukan oleh nabi dan para sahabat, namun melihat aspek maqashid dan subtansi yang terdapat di dalamnya, maka kegiatan ini dapat dikatakan sebagai ritual yang tidak menyalahi syari`at Islam. Oleh karnanya, tidak ada larangan yang bersifat syar`i atas keberadaan kegiatan ini.

Bagikan Artikel ini:

About Buhori, M.Pd

Dosen IAIN Pontianak dan Wakil Ketua PW.GP ANSOR Kalba

Check Also

firaun vs musa

Benarkah Fir`aun Panik Dengan Rencana Kepulangan Musa?

Beberapa hari ini saya menemukan tulisan dengan tajuk “Provokasi dan Kepanikan Fir`aun”, yang banyak tersebar …

demo anarkis

Demonstrasi Anarkis, Bagaimana Hukum Islam Memandangnya ?

Dalam sistem demokrasi, sebagai sistem pemerintahan yang didasarkan pada kedaulatan rakyat, warga negara atau rakyat …