Naouelle Garnoussi
Naouelle Garnoussi

Muslimah Prancis Merasa Terasing Akibat Serangkaian Teror dan Islamofobia

Jakarta – Kasus penghinaan Islam yang memicu terjadinya serangan teror di Prancis membuat umat Muslim Prancis merasa terasing. Hal itu dialami Naouelle Garnoussi.

Garnousi adalah seorang muslimah taat yang dibesarkan di Prancis. Selama ini ia bisa melaksanakan salat lima waktu, menikmati pekerjaannya dan aktif di komunitasnya dan warga lokal dengan baik. Dibesarkan oleh kakek-neneknya – satu satunya muslim, anggota keluarga yang lainnya Katolik, perempuan berusia 36 tahun ini mengidentifikasi diri sebagai orang Prancis, dan membela nilai-nilai sekuler Prancis yang memisahkan agama dari negara di ruang publik.

Namun setelah rentetan serangan teror, ia mulai merasa semakin terasing di negaranya sendiri. Rekan senegaranya cenderung melihatnya sebagai sosok berbeda. Dan respon pemerintah terhadap kekerasan membuatnya bertanya-tanya: Apakah seorang muslim benar-benar setara di mata republik tersebut?

“Nenek saya orang Prancis. Nenek buyut saya orang Prancis, dia dipanggil dengan sebutan Antoinette. Anda tidak akan mendapatkan lebih banyak bahasa Prancis dari hal itu, tapi terkadang saya dibuat merasa bahwa saya bukan lagi orang Prancis, hanya seorang muslimah,” kata Garnoussi kepada Reuters di apartemennya di Argenteuil, kawasan kelas pekerja pinggiran kota Paris dikutip dari laman detikcom, Senin (7/11/2020).

“Kadang-kadang saya lupa mematikan notifikasi ponsel saat Adzan berkumandang. Suatu hari saya diludahi, jadi situasinya mulai menjadi sangat buruk.”

Beberapa tokoh Muslim terkemuka mengkhawatirkan masyarakat luas memandang mereka seperti kelompok militan. Minggu ini, pernyataan dari sekelompok pemimpin muslim di Prancis mendesak pemerintah untuk bertindak sehingga “mayoritas umat Islam yang sangat mengutuk serangan teroris baru-baru ini tidak disamakan dengan dengan pemicu kebencian. “

Garnoussi dibuat bingung oleh majalah satire, Charlie Hebdo. Keputusan Hebdo pada bulan September untuk menerbitkan ulang karikatur Nabi Muhammad membakar kemarahan di sejumlah negara muslim.

Majalah itu melakukannya untuk menandai persidangan tersangka kaki tangan teroris, yang melakukan serangan pembunuhan pada tahun 2015 di mana 12 orang, termasuk beberapa kartunis terkenalnya, terbunuh.

Beberapa minggu setelah publikasi ulang kartun tersebut, seorang pemuda berusia 18 tahun asal Chechnya memenggal seorang guru sekolah menengah yang telah menggunakan kartun itu di kelas ekspresi kebebasan. Minggu lalu seorang perempuan dipenggal dan dua orang lain tewas di Nice dalam serangan pembunuhan yang diduga dilakukan teroris Islamis.

Pemerintah Prancis membela publikasi karikatur itu dengan mengatakan, mengizinkan kebebasan berekspresi. Bagi Garnoussi, publikasi ulang karikatur itu merupakan tindakan provokatif yang berisiko membuat hidup lebih sulit bagi banyak orang di antara sekitar lima juta penduduk muslim Prancis yang, seperti dia, yang mengutuk kekerasan atas nama agama.

“Itu menyakiti kami dan membuat kami merasa negara tidak mencintai kami,” katanya.

Bagikan Artikel ini:

About redaksi

Check Also

sidang gugatan Pilpres di MK

Tanggapi Putusan MK, PBNU: Kedepankan Empat Nilai Dasar Ahlussunnah wal Jama’ah

Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan sengketa Pilpres pasangan nomor urut 01 Anies Baswedan-Cak …

Ketua FKPT Jabar Iip Hidajat

Kearifan Lokal Dorong Moderasi Beragama Dengan Kedepankan Toleransi

Jakarta – Meskipun lebaran Idulfitri telah usai, semangat persaudaraan dan kerukunan yang didapat setelah merayakannya …