goethe dan al-quran-created by AI

Nuzulul Quran, Islamofobia dan von Goethe; Non Muslim yang Terpikat Al-Quran

“Bahkan jika kita menolak doktrinnya, kita tidak bisa tidak mengakui keagungan bahasanya.” Begitulah salah satu kutipan von Goethe yang terpikat al-Quran.

Nuzulul Quran sebuah tradisi baru dalam memperingati turunnya al-Quran. Peringatan ini menjadi momentum merefleksikan wahyu paling agung dalam sejarah manusia. Wahyu yang merubah sejarah peradaban dan firman tertulis yang tak lekang oleh waktu.

Nuzul Quran memang patut diselenggarakan sebagai bentuk refleksi, kajian dan diskusi tentang al-Quran. Setidaknya, melalui Nuzulul Quran ini, umat Islam harus bangga memiliki kitab suci yang merupakan kata-kata ilahi yang tercetak di dunia ini. Umat Islam berbangga karena bisa menikmati keindahan, kedalaman, dan kemukjizatan al-Quran sebagai firman Tuhan yang menyertai perjalanan manusia di muka bumi.

Salah satu tokoh sastra paling berpengaruh di Eropa, sastrawan berkebangsaan jerman Johann Wolfgang von Goethe (1749–1832), begitu mengangumi al-Quran. Dengan jiwa sastranya, ia memiliki minat dan penghargaan terhadap Al-Qur’an dan Nabi Muhammad, terutama dalam karyanya “West-östlicher Divan” (West-Eastern Divan), yang terbit pada 1819.

Buku ini merupakan kumpulan puisi dan esai ini terinspirasi oleh sastra Persia dan dunia Islam. Meskipun mengangumi al-Quran, Goethe tetap memeluk Kristen. “Bahkan jika kita menolak doktrinnya, kita tidak bisa tidak mengakui keagungan bahasanya”, begitulah pengakuan obyektif Goethe.

Pengakuan Goethe sebagai komentar obyektif dari outsider dalam melihat al-Quran semestinya menjadi pelajaran penting bagi masyarakat dunia saat ini yang terjerumus dalam islamofobia yang akut. Sekretaris Jenderal (Sekjen) Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), Antonio Guterres, dalam pidato Hari Internasional Memerangi Islamofobia, menegaskan kekhawatiran yang sangat mendalam terhadap meningkatnya sentiman anti-islam (15/3/2025).

Masyarakat dunia perlu sikap yang tidak hanya ilmiah, tetapi jujur dan bijak dalam menyikapi perbedaan dan melihat yang berbeda dengan keyakinannya. Goethe membuktikan integritas intelektualnya dengan cukup baik. Obyektif, simpatik dan pencari kebenaran dan kebijaksaaan yang sejati.

Tidak heran jika Goethe begitu mengagumi al-Quran dan Nabi Muhammad.  Walaupun dengan keimanan Kristen, Goethe tidak ragu-ragu dan malu-malu menyebut Al-Qur’an sebagai “kitab yang tak lekang oleh waktu”. Ia terpukau dengan gaya bahasanya yang puitis.

Goethe terkesan dengan ritme, kiasan, dan struktur retoris Al-Quran, terutama dalam ayat-ayat yang menggunakan perumpamaan alam seperti Surah Al-Baqarah: 26 tentang nyamuk dan laba-laba. Itulah contoh keindahan retorika yang sesungguhnya. Goethe menulis: “Al-Qur’an adalah kitab yang, meski awalnya asing bagi kita, terus menarik dan membuat kita kagum.”

Tentu bukan saja karena kekuatan bahasanya yang puitis, Goethe memandang Al-Qur’an sebagai mahakarya sastra yang memadukan kekuatan bahasa, metafora, dan pesan moral. Baginya, Al-Quran merupakan sumber kebenaran universal yang tidak hanya terbatas untuk umat Islam. Ada pesan keadilan, kesabaran dan ketuhanan yang menjadi nilai-nilai universal bagi semua umat. Goethe kemudian mengutip Surah Al-Ikhlas (112) yang menggambarkan keesaan Tuhan sebagai “deklarasi monoteisme paling murni”.

Dalam karyanya, Goethe memasukkan kutipan langsung dari Al-Qur’an dalam puisinya. Misalnya, dalam puisi “Selige Sehnsucht”, ia merujuk pada Surah An-Nur:35 tentang “Cahaya di atas cahaya” (“Nūr ʿalā Nūr”) sebagai simbol pencarian spiritual.

Von Goethe adalah cerminan intelektual simpatik yang dapat menjembatani Islam dan Barat yang selalu dirundung dalam kecurigaan dan kebencian. Maraknya Islamofobia sejatinya karena didasari sikap antipati dan tidak mau belajar satu dan lainnya.

Goethe bukan hanya mau belajar, tetapi juga mengagumi. Sekalipun keimanan Kristennya tidak goyah sebab kekagumannya. Goethe dianggap sebagai pelopor dialog Timur-Barat dalam sastra Eropa. Karyanya mempengaruhi tokoh seperti Friedrich Nietzsche dan Hermann Hesse.

Dalam konteks modern, sarjana dan intelektual seperti Goethe telah membangun hubungan mendalam antara Islam dan Barat yang selalu dirundung cerita penuh duka.

Dalam salah satu puisinya, Der Deutsche dankt, Goethe menyatakan: “Jika Islam berarti berserah diri kepada Tuhan, Maka semua orang hidup dan mati dalam Islam.” Bagi Goethe, “Islam” (dalam arti harfiah: penyerahan diri) adalah prinsip spiritual yang melampaui agama formal. Goethe tidak memeluk Islam, tetapi ia melihat nilai Islam sejalan dengan humanism universal.

Dalam rangka memperingati Nuzulul Quran dan memperingati perlawanan terhadap Islamofobia, inilah ketipan Goethe yang sangat indah : Bacalah Al-Qur’an dengan hati terbuka, dan ia akan memikatmu.”
(Surat kepada Carl Friedrich Zelter, 1819).

 

Bagikan Artikel ini:

About A. Malik

Check Also

asia spring

Gelombang “Asia Spring”: Belajar Mengelola Gerakan Gen Z untuk Perubahan (2)

Dari dua kejadian gejolak anak muda atau yang populer disebut Gen Z di wilayah Arab …

asia spring

Gelombang “Asia Spring”: Belajar Mengelola Gerakan Gen Z untuk Perubahan (1)

Konsep “Spring”  menjadi metafora untuk kebangkitan politik dan sosial, simbolisasi harapan baru setelah “musim dingin” …