Jakarta – Pro dan kontra terkait disahkannya Undang-Undang (UU) Cipta Kerja atau Omnibus Law terus berbuntut panjang. Salah satunya terjait klaster Jaminan Produk Halal (JPH).
Wakil Ketua Dewan Halal Nasional Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nadra Hosen menilai UU Omnibus Law klaster Jaminan Prodak Halal membuat bingung umat dengan adanya ketentuan Badan Penyelenggara Jaminan Prodak Halal (BPJPH) dapat menerbitkan fatwa halal, apabila MUI lambat mengeluarkan fatwa halal. Ketentuan itu diatur dalam Pasal 35A ayat 2 UU Omnibus Law klaster Jaminan Prodak Halal.
“Ini menimbulkan ketidakpastian. Nanti orang jadi ragu ini diputuskan oleh ulama (MUI) atau BPJPH,” kata Nadra Hosen dikutip dari laman Republika.co.id, Minggu (11/10/2020).
Ia menjelaskan bahwaMUI tidak bertanggung jawab ketika ada masalah mengenai hasil halal dan haram yang dibuat BPJPH. Karena itu, penentuan halal haram pada sebuah prodak lebih aman dilakukan oleh ulama melalui LPPOM MUI.
“Bagaimana jika terjadi kalau yang dibuat BPJPH itu dinyatakan halal ternyata haram. Siapa yang mau tanggung jawab dituntut oleh umat,” ujarnya.
Menurut dia, proses penentuan halal haram tidak boleh asal-asalan. Perlu ada pihak-pihak yang memiliki kompentensi khusus untuk menentukan suatu prodak yang dikonsumi masyarakat terutama umat Islam jelas statusnya.
“Ini masalah hukum agama jangan dipermainkan. Kalau BPJPH sanggup merasa ulama ya silakan,” katanya.
Nadra menjelaskan, halal atau haram itu hukum. Hanya ulama yang memiliki otiritas mengeluarkan fatwa halal
“Pada dasarnya hukum itu hak Allah, tapi karena ini masalah-masalah yang baru tidak disebut jelas maka ulama penerus dari para nabi yang bisa memberikan fatwa kehalalan,” katanya.