tahun baru
tahun baru

Peringatan Tahun Baru dan Narasi Menyerupai Orang Kafir

Menjelang pergantian tahun narasi yang sering muncul adalah tasyabbuh bil kuffar, atau menyerupai kaum kafir. Mencuatnya narasi ini sekaligus tuduhan terhadap kelompok muslim yang ikut merayakan tahun baru Masehi. Ada sebagian umat Islam yang “menyangka”, merayakan tahun baru Masehi merupakan aktifitas menyerupai kaum kafir.

Mungkin, karena umat Islam memiliki kalender sendiri yang dikenal dengan kalender Hijriyah. Sedangkan pada umumnya, di luar umat Islam menggunakan kalender Masehi sebagai penanggalan resmi. Sehingga muncul asumsi merayakan tahun baru Masehi adalah aktifitas yang menyalahi aturan dalam Islam.

Ada hadits Nabi: “Man Tasyabbaha bi qaumin fahuwa minhum”. Artinya, Seseorang yang melakukan aktifitas menyerupai suatu kaum, ia bagian dari kaum tersebut. (HR. Abu Daud, Ahmad dan Tirmidzi).

Sekilas, bila dipahami mentah-mentah, hadits di atas melarang umat Islam melakukan apa pun, baik sistem atau nilai yang berasal dari kelompok di luar Islam. Setiap apa saja yang bersumber dari non muslim selalu di asumsikan negatif, jelek dan pelakunya berdosa.

Asumsi itu, diantaranya, berlaku untuk muslim yang ikut merayakan tahun baru Masehi. Hal itu dianggap bentuk “penyerahan” diri dan pengakuan terhadap akidah non muslim. Lebih dari itu, penyerupaan itu dianggap sebagai bentuk ketundukkan, pengakuan dan pembenaran terhadap akidah mereka.

Apakah benar demikian? Harus lebih dulu mengetahui konteks hadits di atas.

Pada masa Nabi, identitas keislaman menjadi sesuatu yang sangat penting. Pada saat itu muslim dan non muslim memiliki bahasa, tradisi dan pakaian yang sama, sebab kelompok muslim dan non muslim sama-sama bangsa Arab. Untuk menjaga loyalitas, Nabi kemudian menginginkan supaya ada identitas pembeda antara muslim dan non muslim.

Yang terjadi waktu itu, ada banyak kasus di pagi hari seseorang menyatakan pengikut Nabi, tapi sore hari murtad kembali. Untuk membedakan identitas dan menjaga loyalitas umat Islam, Nabi melarang umat Islam menyerupai kaum Yahudi, Nasrani, Musyrik dan Majusi. Dalam konteks inilah hadits di atas disabdakan oleh Nabi.

Pesan yang hendak disampaikan oleh Nabi sederhana, umat Islam harus berbeda dengan mereka. Jangan menyerupai mereka, siapa yang menyerupai mereka, maka sama dengan mereka.

Pada saat itu, identitas pembeda sangat urgen supaya keimanan umat Islam tidak mudah tergerus dan untuk mengokohkan posisi umat Islam. Menghitung kekuatan, menjaga rahasia, dan lain-lain sangat penting mengingat kelompok di luar Islam melakukan intimidasi dan upaya menghancurkan umat Islam berjalan secar massif.

Namun hari ini, kondisinya tidak sama dengan kondisi waktu itu. Identitas tidak mempengaruhi tergerusnya keimanan seseorang. Muslim yang memakai pakaian yang sama dengan non muslim tidak mempengaruhi kualitas keberagamaannya. Sehingga, memberlakukan hadits tasyabbuh dalam segala aspek kehidupan justru menggerus universalitas ajaran Islam sendiri. Oleh karena itu, aktifitas umat Islam yang menyerupai aktifitas non muslim tidak serta merta melanggar hadits di atas.

Apakah hadits di atas tidak berlaku saat ini karena konteksnya berbeda. Dalam hal-hal tertentu masih berlaku, terutama yang sifatnya khusus seperti bentuk khas rumah ibadah, pakaian untuk ibadah dan lain-lain. Tetapi, yang sifatnya mentradisi dan umum dilakukan bersama-sama, menurut saya tidak masuk dalam konteks hadits tersebut.

Bagaimana status hadits di atas?

Hadits tasyabbuh tidak diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, sehingga para ulama berbeda pendapat mengenai derajat hadits tersebut. Sebagian ada yang menilai shahih, ada pula yang menilai Hasan, dan sebagian mengatakan hadits dhaif.

Para ulama yang menilai hadits tersebut tidak shahih karena ada persoalan dengan salah seorang perawi bernama Abdurrahman bin Tsabit bin Tsauban. Ahmad bin Hambal mengatakan, hadits yang diriwayatkan oleh perawi tersebut munkar, Imam Nasa’i mengatakan dhaif dan menurut Ibnu Hajar ia jujur, tapi sering keliru.

Dengan demikian, mengatakan segala aktifitas yang memiliki kesamaan dengan aktifitas non muslim sebagai tasyabbuh merupakan pemahaman yang keliru. Maka, ikut merayakan tahun baru Masehi tidak masalah selama dalam perayaan tersebut tidak ada unsur-unsur yang dilarang oleh agama Islam. Seperti perjudian, minum-minuman keras, dan aktifitas maksiat yang lain.

Andaipun hadits di atas shahih, konteksnya harus dipertimbangkan. Sebab tidak boleh memaksakan hadits dalam konteks yang berbeda dengan setting sejarah hadits tersebut.

Seperti hadits Nabi: “Berbedalah kalian dengan Yahudi, karena mereka shalat tidak pakai sandal dan sepatu”. (HR Abu Daud).

Masjid pada masa itu berlantai tanah, tidak seperti saat ini. Pada saat itu umat Islam shalat menggunakan sandal atau sepatu. Namun, dalam konteks sekarang shalat memakai sandal atau sepatu justru dilarang karena kondisi masjid zaman Nabi berbeda dengan masjid zaman sekarang yang memakai lantai bersih dan suci. Maka, apa yang dianjurkan pada masa Nabi, bisa menjadi larangan untuk saat ini karena konteksnya berbeda. Sama halnya dengan hadits tasyabbuh, tidak bisa diberlakukan dalam konteks yang berbeda.

Bagikan Artikel ini:

About Faizatul Ummah

Alumni Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo dan Bendahara Umum divisi Politik, Hukum dan Advokasi di PC Fatayat NU KKR

Check Also

Toa masjid

Toa dan Sejarah Tadarus Al Qur’an di Bulan Ramadan

Ramadan kali ini pun tak luput dari perdebatan soal pengeras suara (TOA). Polemik bermula dari …

manfaat tidur

Hati-hati, Ternyata Ada Tidur yang Membatalkan Puasa

Pemahaman tekstual terhadap dalil agama bisa berakibat fatal. Pemaknaan apa adanya tersebut berkontribusi memberikan informasi …