Tahlilan adalah tradisi keagamaan melalui serangkaian pembacaan surah Yasin, dan serangkaian doa dan puji-pujian kepada Allah disaat seseorang meninggal dan pahalanya dihadiahkan bagi orang yang meninggal tersebut. Lazimnya, tradisi tahlilan diselenggarakan pada hari ke satu sampai hari ketuju, hari ke empat puluh hari, hari ke seratus dan hari ke seribu (haul).
Istilah tahlilan diambil dari kata “tahlil” yang berarti membaca kalimat tauhid, “laa Ilaaha Ilallah Muhammadur rasulullah”. Dalam tradisi tahlilan yang dibaca bukan hanya kalimat tauhid tersebut, namun disertai dengan serangkaian bacaan lainnya dengan susunan yang telah ditentukan.
Sedangkan pemilihan hari-hari yang telah disebutkan bukan tanpa dasar, melainkan merujuk kepada pendapat para ulama. Diantaranya adalah pendapat Imam Ahmad dalam kitab az Zuhdi, Abu Nua’im dalam kitab al Hilyah yang direkam oleh Imam Suyuthi dalam kitab Hasyiyah Suyuthi wa as Sanadi ‘ala Sunan an Nasa’i (3/296).
Namun, belakang ada sekelompok kecil umat Islam yang mengkritik tradisi tahlilan sebagai amaliah bid’ah, padahal kalau dikaji secara syamil dan mendalam tradisi ini sama sekali tidak bertentangan dengan prinsip ajaran Islam.
Selain itu, menurut mereka pahala serangkaian bacaan tersebut tidak sampai dan tidak bermanfaat bagi orang yang telah meninggal. Seandainya mereka mau belajar sebentar saja, tentu tidak akan mengungkapkan statemen demikian. Paling tidak membaca satu kitab yang ditulis oleh Abul Hasan al Hakkari “hadiyatul Ahya’ ila al amwat wa ma yashilu ilaihim”. Disini ditegaskan, pahala serangkaian bacaan seperti dalam tradisi tahlilan sampai dan memberi manfaat terhadap orang yang mati, termasuk sedekah atas nama orang yang meninggal sampai serta bermanfaat pula sebagai tambahan amal kebaikan.
Lebih dari itu, ada satu hal lagi yang tidak banyak diketahui oleh umat Islam yakni rahasia terbesar dari serangkaian bacaan dalam tradisi tahlilan. Maka, sejatinya kita semua menelaah tradisi tahlilan secara mendalam, baik dari dalil atau argumen keagamaan dan dari aspek sosial kemasyarakatan.
Rahasia Terbesar Tradisi Tahlilan
Semua manusia dipastikan pernah melakukan dosa ketika hidup di dunia, baik dosa kecil maupun besar, banyak maupun sedikit. Hanya Rasulullah yang tak pernah melakukan dosa karena beliau ma’shum atau dijaga oleh Allah.
Dosa-dosa yang pernah diperbuat di dunia ada konsekuensinya setelah meninggal. Di akhirat setiap dosa akan dibalas siksa, bahkan siksa tersebut dimulai sejak di alam kubur. Hal ini pasti berlaku karena pintu taubat ditutup sesaat sebelum kematian menjemput. Tidak ada lagi kesempatan untuk bertaubat.
Namun demikian, masih terbuka jalan pengampunan bagi mereka yang telah meninggal atas semua dosa-dosa yang dilakukan di dunia. Disinilah rahasia terbesar tradisi tahlilan.
Rasulullah bersabda: “Umatku adalah umat yang terhormat (istimewa), mereka diampuni dosanya, tatkala masuk kubur dengan membawa dosa-dosa sementara setelah keluar dari kubur semua dosanya diampuni. Segala dosanya diampuni sebab bacaan istighfar kaum mukminin yang dihadiahkan kepadanya”. (Al Baihaqi, al Mu’jam al Ausath: 1879). Redaksi serupa diriwayatkan oleh Imam Thabrani dalam kitab yang sama dari Anas bin Malik.
Sungguh, rahasia istighfar dari orang yang masih hidup mampu menghapus dosa orang yang telah meninggal. Apalagi kalau yang memohonkan ampun jumlahnya banyak, ratusan atau bahkan ribuan.
Disini kepiawaian para ulama Nusantara dalam membingkai ajaran Islam. Mereka menterjemahkan ajaran Islam berupa amaliah khas Nusantara, seperti tradisi tahlilan. Hal ini tidak lain karena kealiman mereka sehingga tidak kaku dalam berdakwah.
Karenanya, jangan terburu-buru melakukan tuduhan terhadap tradisi tahlilan sebagai amaliah bid’ah serta pahala yang dihadiahkan kepada orang yang meninggal dunia tidak sampai, dan sebagainya. Asumsi-asumsi tersebut sebabnya tidak lain karena minimnya membaca dan memahami ajaran Islam. Istilah sekarang “ngopinya kurang jauh”.