dakwahrasul
dakwahrasul

Rasulullah Memang Tegas, Tapi Tidak Gampang Marah Apalagi Berkata Kasar

Ketika umat Islam ingin mengenalkan keindahan sikap islami di tengah perdamaian muncul sebuah narasi jangan tutupi dan jujurlah terhadap sejarah Islam. Rasulullah bukan hanya lembut, santun dan ramah, tetapi Rasulullah juga tegas dalam membela Islam. Namun, seolah keinginan jujur terhadap sejarah ini sedang mencari pembenaran sikap kasar dan mudah marah dalam mengekspresikan Islam.

Perlu dicatat, tegas bukan berarti kasar. Tegas juga bukan berarti sangar. Apalagi tegas berarti mudah marah dan berkata kotor. Bukan seperti itu ketegasan Nabi. Jika sikap mengumbar aramah di tengah mimbar dan berkata kotor dipadankan dengan ketegasan Rasulullah, itu namanya salah alamat. Bahkan itu termasuk menyandarkan hal yang batil kepada ketegasan Rasulullah yang haq.

Persoalannya sekarang ada seolah narasi membenarkan kata-kata kasar dalam berdakwah dengan ketegasan Rasulullah. Seolah marah-marah di depan mimbar itu sepadan atau sudah bagian teladan dari Rasulullah ketika bersikap tegas. Ini tidak masuk akal, kecuali bagi akal yang bersumbu pendek.

Memang Rasulullah tidak pernah marah? Rasulullah itu manusia biasa yang dijaga dengan Kekuatan Luar Biasa. Rasulullah juga bisa marah, tetapi akhlakul karimahnya tidak hilang karena amarah. Rasulullah tidak pernah marah karena dirinya dihina bahkan dilukai. Tetapi Rasulullah akan marah ketika perintah Tuhan dan larangannya diabaikan.

Namun, kemarahan Rasulullah sekali lagi bukan dengan kata kasar, apalagi mengumpat. Rasulullah sangat hati-hati dengan amarah. Karena itulah Rasulullah berkali-kali mewasiatkan pelajaran penting :

“لَا تَغْضَبْ، فَرَدَّدَ مِرَارًا، قَالَ: لَا تَغْضَبْ”

Artinya: Dari Abu Hurairah, Seseorah bertanya pada Rasulullah SAW, “Ya Rasulullah berilah saya nasihat,” Nabi kemudian berkata. “Jangan marah,” Dia mengulang pertanyaannya yang selalu dijawab dengan, “Jangan marah.” (HR Bukhari).

Amarah itu sangat berbahaya. Begitupun sikap marah memberikan mudharat baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Orang yang tidak bisa mengontrol amarah akan tidak bisa mengontrol lisan. Dan orang yang tidak bisa mengontrol lisan tidak bisa mengontrol tindakannya. Atau bisa saja ia bisa mengontrol tindakannya, tetapi tidak bisa mengontrol orang lain karena pengaruh lisannya.

Karena itulah, Rasulullah memuji seseorang yang bisa mengontrol amarah sebagai orang kuat. Dalam riwayat Abu Hurairah misalnya, Nabi mengatakan, “Orang yang kuat tidaklah yang kuat dalam bergulat, namun mereka yang bisa mengendalikan dirinya ketika marah.” (HR. Muslim).

Nabi memang pernah marah, tetapi sekali lagi amarah Nabi tidak menghilangkan akhlakul karimahnya. Nabi marah bukan karena hal sepele apalagi tentang hinaan terhadap pribadinya. Nabi marah besar ketika berhubungan dengan kepentingan agama.

Kemarahan Nabi itu bukan hanya manusiawi, tetapi juga bentuk tanda sunnah bahwa ada sesuatu yang yang perlu diperhatikan tentang hal yang sangat dilarang dan dibenci dalam Islam. Umat Islam membaca amarah Nabi dalam satu persoalan ditangkap sebagai pesan hukum. Karena itulah, marahnya Nabi itu menjadi dalil hukum, bukan marah sembarangan.

Namun, dalam hal tertentu, Nabi sangat menekan amarahnya. Ketika Nabi tidak bisa menahan amarahnya akan kelihatan wajah anggun Rasulullah berubah merah. Di situlah sebenarnya puncak Nabi menahan amarah terhadap persoalan umatnya yang melanggar batas-batas agama.

Nabi selalu menyalurkan marahnya tidak dengan kata-kata kasar yang menimbulkan pesan negatif. Karena jelas, kata kasar bertentangan dengan pesan Allah SWT yang halus dan tegas demi kebaikan manusia. Hasilnya, marah Nabi Muhammad SAW memberi hasil produktif untuk perbaikan di lingkungannya. Bukan marah yang bisa menyulut amarah para sahabatnya.

Tegasnya Nabi berbeda dengan marahnya Nabi. Begitu pula, marahnya Nabi juga berbeda dengan marahnya kita sebagai umat Islam yang masih belum bisa mengontrol amarah. Sehingga terkadang marah mendorong lisan yang kasar dan kotor. Dan lisan kotor dan kasar akan menimbulkan perilaku yang kasar.

Nabi memang tegas. Itu fakta dan sejarah yang tidak bisa ditutupi. Tegasnya Nabi juga tidak bisa menutupi sikap lemah, lembut, santun dan ramahnya. Begitu pula tegasnya Nabi bukan berarti pembenaran bagi kita untuk selalu menebar amarah dan kata-kata kasar dengan alasan meniru Nabi yang tegas.

Bagikan Artikel ini:

About Islam Kaffah

Check Also

duduk di kuburan

Saat Ziarah, Bolehkah Duduk di Kuburan?

Meskipun arus puritanisasi  mengklaim ziarah kubur adalah ritual bid’ah, tapi tidak banyak muslim nusantara yang …

shalat ghaib korban bencana

Shalat Ghaib untuk Korban Bencana

Pada tanggal 4 Desember 2021 telah terjadi peningkatan aktifitas vulkanik di gunung semeru. Hal itu …