Menafsirkan “Masehi” adalah solusi arif, dari pada berantipati terhadapnya. Langkah ini, merupakan upaya untuk menarik benang merah, korelasi yang tepat untuk mengadopsi nilai nilai keislaman dalam kehidupan sehari-hari. Karena kalender Masehilah yang ternyata mendominasi sebagai alarm waktu untuk beraktifitas, ketimbang kalender Hijriyah.
Kata “Masehi” diambil dari nama Nabi Isa al-Masih. Al-Masih oleh al-Qur’an disandangkan sebagai gelar prestisius Nabi Isa. Firman dalam al-Qur’an
إِذْ قَالَتِ الْمَلَائِكَةُ يَا مَرْيَمُ إِنَّ اللَّهَ يُبَشِّرُكِ بِكَلِمَةٍ مِنْهُ اسْمُهُ الْمَسِيحُ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ وَجِيهًا فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَمِنَ الْمُقَرَّبِينَ
(Ingatlah), ketika Malaikat berkata: “Hai Maryam, seungguhnya Allah menggembirakan kamu (dengan kelahiran seorang putera yang diciptakan) dengan kalimat (yang datang) daripada-Nya, namanya Al Masih Isa putera Maryam, seorang terkemuka di dunia dan di akhirat dan termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah). QS: Ali Imran:45
Ayat ini menjelaskan secara tekstual bahwa, Pertama, menurut Ibnu Mundzir al-Nisaburi, Isa al-Masih itu searti dengan kalimat Allah (Firman Allah). Dinyatakan sebagai kalimat Allah, maka berarti ia setara dengan al-Qur’an. Tafsir Ibnu Mundzir.
Kedua, Isa al-Masih disebut sebagai wajih. Menurut Ibnu Mundzir, wajih adalah seorang yang dianugerahi kemuliaan, panutan refresentatif Para Penguasa. Tafsir Ibnu Mundzir 1/200-201. Ketiga, Isa al-Masih dikategorikan sebagai orang yang dekat dengan Allah.
Ibnu ‘Arabi mengatakan, bahwa Nabi Isa digelari al-masih dikarenakan ia adalah masih al-Huda, seseorang yang memberikan ajaran petunjuk sebagai doktrin dengan sentuhan dakwah yang lembut hingga ia dinobatkan sebagai al-Shalih al-Salim, panutan bagi orang orang yang berjalan di atas landasan kebenaran. Ahkam al-Qur’an, 3/10
Berbeda dengan Ibnu Mundzir, menurutnya, digelari al masih, karena Nabi Isa adalah orang yang membawa dan melakukan, serta berdakwah demi kebenaran. Tafsir Ibnu Mnndzir 1/200
Tafsir yang dikemukakan oleh Ibnu abdis Salam lebih berdimensi spiritual, beliau mengatakan, disebut al-masih karena ia rela berkorban demi kesucian umatnya, ia sanggup menjadi tumbal penghapusan dosa umatnya. Tafsir Ibni Abdis Salam, 1/268.
Memaknai Tahun Baru
Dari uraian diatas, setidaknya ada tiga hal yang perlu digarisbawahi dan menjadi important point (poin penting) dalam menyikapi pergantian tahun baru masehi. Pertama adalah kalimat Allah (firman Allah). Merayarakan tahun baru masehi berarti pula berkomitmen untuk selalu bersedia untuk dibimbing dan dipandu oleh firman Allah.
Bagi umat Islam, merayakan tahun baru, komitmennya adalah dengan membaca dan mengamalkan religious message (pesan keagamaan) yang terkandung dalam al-Qur’an, karena ia adalah firman suci agama Islam. Karena al-Qur’an adalah petunjuk bagi ia yang tersesat, dan penyembuh bagi ia yang terdera penyakit dhahir dan bathin, serta peringatan bagi ia yang lalai.
Allah berfirman dalam surah Yunus ayat 57
ياأَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ
“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman“.QS:Yunus:57
Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin al-Suyuthi menafsirkan bahwa yang dimaksud ‘pelajaran’, penyembuh, petunjuk dan rahmat’ itu adalah al-Qur’an. Tafsir al-Jalalain, 3/420.
Imam Baidhawi dikutip oleh Ibnu ‘Ajibah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan penyembuh itu adalah hikmah nadhariyyah (ketepatan dan kebenaran teoritis al-Qur’an) hingga yang mampu memberikan dosis obat bagi kesembuhan bathin yang dilanda keraguan atas kebenaran ilahi dan kebimbangan akidah. Tafsir Ibnu Ajibah, 2/499
Kedua, rekonstruksi atau redesign dakwah. Merayakan tahun baru masehi berarti pula membuat draf dakwah yang lebih santun. Kenapa? Karena tak sedikit dari para pendakwah menjadi oknum tercemarnya dunia dakwah islam. Yang mestinya dakwah itu merangkul malah memukul. Yang mestinya dakwah itu mengajak malah menginjak. Yang mestinya dakwah itu menginspirasi malah mengintimidasi.
Allah berfirman al-Qur’an surat al-Nahl ayat 125
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
“Serulah/berdakwahlah kepada manusia untuk berjalan dijalan Tuhanmu
dengan cara yang hikmah, bijaksana (santun) dan (dengan memberikan) peringatan yang baik,
dan bantahlah mereka dengan bantahan yang baik”.
Dan ternyata menurut pengakuan Nabi sendiri, bahwa metode dakwah Rasul adalah berisi hikmah (kesantunan) dan mau’idhah al-Hasanah. Nabi bersabda:
عن أبي ليلى الأشعري صاحب رسول الله صلى الله عليه و سلم عن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال تمسكوا بطاعة أئمتكم ولا تخالفوهم فإن طاعتهم طاعة الله وإن معصيتهم معصية الله وإن الله إنما بعثني أدعو إلى سبيله بالحكمة والموعظة الحسنة
Dari Abu Laili al-Asy’ari, Salah seorang Shahabat Rasul, dari Rasulullah saw. Beliau bersabda: “berpegangteguhlah kalian dengan kepatuhan kepada Pemimpin kalian, janganlah kalian membantah, membangkang mereka, karena kepatuhan kalian kepada mereka adalah kepatuhan kepada Allah, dan pembangkangan kalian adalah pembangkangan kepada Allah. Sesungguhnya Allah mengutusku untuk mengajak kalian kepada jalan Allah dengan cara hikmah (bijaksana) dan cara mau’idhah al-Hasanah (peringatan yang baik). al-Mu’jam al-Kabir, Al-Thabrani, 22/373 No. 935
Secara dhahir Hadits ini menegaskan tentang metode dakwah Rasul yang begitu berkarakter yaitu metode dakwah dengan hikmah (santun) dan metode dakwah mau’idhah al-hasanah (mengajak bukan menginjak).
Jalaluddin al-Mahalli dan jalaluddin al-Suyuthi berkata dalam tafsir al-Jalalain: bahwa yang dimaksud dengan cara hikmah itu adalah dengan cara-cara bijak al-Qur’an. Sementara mau’idh al-Hasanah (ekstrinsik yang baik) adalah dengan cara penuh kelembutan, kesantunan, santun bahasanya, santun prilakunya, santun hatinya. Tafsir al-Jalalain, Jalaluddin al-Mahalli dan jalaluddin al-Suyuthi,
Adakah para pendakwah di Indonesia yang melakukan dakwahnya dengan cara Rasulullah?! Berdakwah dengan hikmah dan mau’idhah al-hasanah! Momentum Tahun baru masehi ini yuk kita rekontruksi dan redesign cara berdakwah yang tidak senada dengan kesantunan dan kelembutan al-Qur’an dan Rasulullah. Bukankah dakwah Nabi Isa al-Masih juga santun dan lembut. “Selamat Tahun Baru Dan Menjadi Pribadi Yang Baru yang lebih dekat lagi dengan syari’at Allah” Wallahu yahdi ila shirath al-Mustaqim.