Banjir yang melanda berbagai wilayah—mulai dari Sumatera, Jawa, hingga Kalimantan—sering menghadirkan pertanyaan besar bagi umat Islam: bagaimana menjalankan shalat ketika rumah tergenang, pakaian basah, dan tidak tersedia ruang suci untuk bersujud?
Pertanyaan ini wajar, sebab shalat adalah ibadah yang tidak gugur oleh kondisi apa pun. Namun sering kali umat dibebani rasa cemas karena takut ibadahnya tidak sah di tengah keadaan darurat.
Peristiwa banjir selalu membuka kenyataan kasar: manusia bisa terjebak berdiri dalam air yang merendam lantai rumah, tak memiliki pakaian kering, bahkan tidak menemukan sedikit pun sudut rumah yang layak dijadikan tempat sujud.
Dalam kondisi demikian, syariat tidak hadir sebagai beban tambahan, melainkan sebagai jalan keluar. Ibadah justru diberi kemudahan besar, sebagaimana firman Allah yang menjadi dasar utama seluruh rukhsah (keringanan): “Bertakwalah kalian kepada Allah sesuai kemampuan kalian.” (QS. At-Taghābun: 16)
Ayat ini diperkuat oleh sabda Nabi: “Jika aku perintahkan sesuatu, maka lakukanlah sesuai kemampuan kalian.” (HR. Bukhari-Muslim)
Dua teks utama inilah yang menjadi fondasi ulama dalam menetapkan hukum-hukum shalat di tengah situasi ekstrem, termasuk saat banjir.
Shalat Tetap Wajib, Tapi Tata Caranya Menyesuaikan
Mayoritas ulama empat mazhab sepakat bahwa shalat dalam kondisi banjir tetap harus dikerjakan meski tidak ideal. Kalau seseorang terjebak dalam air setinggi betis atau pinggang sehingga tidak bisa sujud ke tanah, ia cukup sujud dengan isyarat, yakni menundukkan kepala lebih rendah daripada ruku’.
Ini sesuai kaidah bahwa ibadah dilakukan sebatas kemampuan, bukan dengan standar normal yang mustahil dilakukan saat bencana.
Air banjir yang bercampur najis membuat wudhu tidak bisa dilakukan. Pada keadaan seperti ini, syariat memerintahkan tayamum dengan apa saja yang mengandung debu, bahkan debu tembok atau lantai yang masih kering. Tetapi jika semua sudah basah, para ulama besar seperti Imam Nawawi, Ibn Qudamah, dan Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa seseorang tetap shalat tanpa wudhu dan tanpa tayamum karena ia tidak memiliki media bersuci sama sekali. Kewajiban shalat tidak hilang, dan shalatnya sah sesuai kondisi.
Jika Pakaian Najis dan Tidak Ada Pengganti
Inilah kondisi paling sering dialami korban banjir. Banyak orang khawatir shalatnya tidak sah karena pakaian terkena air got atau kotoran. Para ulama memberi jawaban tegas:
Imam Nawawi dalam Al-Majmu‘ menyatakan bahwa jika seseorang tidak bisa mensucikan pakaian dan tidak memiliki pakaian pengganti, ia tetap shalat dengan pakaian yang ada dan tidak perlu mengulang setelah kondisi normal. Ibn Qudamah dalam Al Mughnī menyampaikan pandangan serupa.
Ini menunjukkan betapa syariat tidak menutup pintu ibadah hanya karena kondisi darurat yang tidak dapat dihindari.
Ketika Tidak Ada Tempat Layak
Setiap bencana membuat ruang menjadi sempit. Rumah tergenang, lantai penuh lumpur, mushola terendam, dan tempat sujud hilang sama sekali. Dalam kondisi demikian, shalat cukup dilakukan dalam keadaan berdiri di air, atau duduk jika tidak mampu berdiri. Kiblat diikuti sejauh yang mungkin.
Para fuqaha mengambil analogi dari tawanan perang yang shalat tanpa gerak sempurna, bahkan tanpa pakaian. Artinya, kesucian tempat dan kesempurnaan posisi fisik tidak menjadi alasan gugurnya shala
Fikih Darurat: Ketika Ibadah Memeluk Realitas
Seluruh keringanan ini lahir dari kaidah besar syariat: “Kesulitan mendatangkan kemudahan.”
Syariat Islam tidak meminta manusia membuat aturan yang mustahil dijalankan ketika hidup sedang ditimpa bencana. Sebaliknya, syariat memeluk keadaan umat, bukan memukul mereka dengan hukum-hukum yang kaku. Inilah bukti bahwa Islam adalah agama yang sangat realistis dan manusiawi.
Ketika banjir merendam rumah dan menyisakan kepanikan, umat tidak perlu ragu apakah shalatnya sah atau tidak. Selama dilakukan sesuai kemampuan dan sesuai kondisi, shalat tersebut diterima Allah, karena Allah sendiri yang meminta hamba-Nya bertakwa sebatas kemampuan.
Di tengah bencana, shalat bukan sekadar ritual. Ia menjadi penguat jiwa, pegangan batin, dan bukti bahwa manusia tetap memohon pertolongan di saat paling sulit. Melaksanakan shalat dalam kondisi banjir—entah dengan pakaian basah, berdiri di air, atau dengan isyarat—adalah bentuk keteguhan hati seorang hamba yang menolak tunduk kepada keadaan.
Syariat Islam tidak mempersulit, justru memudahkan. Yang penting adalah menjaga kewajiban semampu yang ada. Selebihnya, Allah Maha Memahami kondisi hamba-hamba-Nya.
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah