banjir
banjir

Fikih Banjir : Berwudhu’ dengan Air Banjir

Banjir dan longsor menjadi pembuka bencana di negeri ini di tahun 2021. Banjir terjadi di berbagai daerah dengan kondisi wilayah yang rentan. Air hujan yang menjadi anugerah berubah menjadi musibah karena tata kelola lingkungan yang tidak baik disertai kesadaran masyarakat yang masih lemah dalam menjaga lingkungan.

Tentu ketika bencana melanda banyak sekali kerugian yang dialami, tidak hanya materiil, tetapi juga nyawa. Evakuasi terus dilakukan. Namun, masalah tidak berhenti hanya disitu, beragam persoalan naik ke permukaan. Soal air, contohnya. Minimnya air yang layak bersesuci menuntut untuk segera diselesaikan.

Banyak masyarakat kebingungan mendapatkan air suci mensucikan. Wudhu’ seringkali terabaikan menjadi syarat sah shalat. Bahkan, shalat sendiripun terlupakan, gara gara tidak ada air untuk berwudhu’. Lalu bagaimana pandangan fikih Islam tentang berwudhu’ dengan air banjir? Mengingat air banjir sudah bercampur dengan benda apa saja; benda suci bahkan benda najis.

Pertama tama, yang perlu digaris bawahi, bahwa hukum itu disyari’atkan untuk kemaslahatan (kepentingan) manusia, artinya hukum akan sedia tunduk dan berubah warna menyesuaikan dengan tuntutan kondisi manusia. Sebagai barometer agama, hukum tentu harus selaras dengan spirit agama itu sendiri. Agama Islam itu lentur penuh toleransi. Sesuai firman Allah

يُرِيدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

Artinya : “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”.QS: al-Baqarah:185

Ayat ini sebagai ending dari perubahan jadwal puasa Ramadhan, bila memang ada alasan untuk menunda jadwalnya seperti menderita sakit saat jadwal yang semestinya atau sedang menempuh perjalanan jauh. Menurut Ibnu ‘Ajibah, ini sekaligus sebagai dalih, bahwa hukum itu bukan harga mati yang tidak bisa ditawar tawar lagi. Hukum itu elastis, lentur mengikuti keinginan kondisi yang mengitari manusia. Al-bahr al-Madid Fi tafsir al-Qur’an al-Majid, 5/101

Ayat ini sejalan dengan ruh risalah Nabi Muhammad saw. Beliau bersabda

بعثت بالحنيفية السمحة

Saya diutus dengan membawa ajaran agama yang lurus namun lentur”. HR. Ahmad, 21729

Berdasar atas ayat al-Qur’an dan Hadits nabi ini, Imam Syarwani mengatakan bahwa benda najis, sekalipun itu kotorang anjing yang terbawa dan bercampur dengan air banjir, selama tidak menjadi nyata dan tidak jelas benda najisnya, maka air banjir itu tetap dihukumi air suci dan menurut Imam al-Qalyubi, selama air yang bercampur dengan benda najis itu lebih dari dua qullah (176,245 liter) bisa dipakai untuk wudhu’. Hasyiyah al-Syarwani, 2/141. Hasyiyah qalyubi, 1/87.

Musibah banjir yang terus melanda, bukanlah menjadi alasan untuk melalaikan ibadah wajib. banjir boleh saja kian merendam, tapi ibadah tidak boleh terpendam. Karena sesungguhnya banjir yang datang itu, adalah bentuk nyata dari ujian yang harus dihadapi dengan penuh ketulusan iman dan kesabaran hati. Buktikan bahwa kita adalah mu’min sejati yang ibadahnya takkan terpengaruh oleh kondisi apapun, banjir, apalagi. Semoga semuanya baik baik saja.

Bagikan Artikel ini:

About Abdul Walid

Alumni Ma’had Aly Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo Situbondo

Check Also

hewan yang haram

Fikih Hewan (1): Ciri Hewan yang Haram Dimakan

Soal halal-haram begitu sentral dan krusial dalam pandangan kaum muslimin. Halal-haram merupakan batas antara yang …

tradisi manaqib

Tradisi Membaca Manaqib, Adakah Anjurannya ?

Salah satu amaliyah Nahdhiyyah yang gencar dibid’ahkan, bahkan disyirikkan adalah manaqiban. Tak sekedar memiliki aspek …