muslim ideal
muslim ideal

Silaturahmi Membangun Masa Depan Dunia dan Akhirat

Silaturahmi memiliki arti menyambung hubungan “rahim” atau tali persaudaraan kandung. Persaudaraan kandung bisa dekat bisa pula jauh. Bisa jadi orang yang merasa bukan saudara si Fulan, setelah beberapa waktu baru diketahui memiliki hubungan saudara atau nasab di generasi sebelumnya. Namun demikian, silaturahmi dalam pemahaman Ulama Nusantara juga bisa diartikan sebagai hubungan persaudaraan seiman misalnya sesama muslim, sebangsa seperti sesama diaspora Indonesia di luar negeri atau sesama manusia karena memang sama-sama anak cucu Adam dan terikat hubungan kemanusiaan. Rasulullah saw mengingatkan keharusan memenuhi hak silaturahmi tiga golongan; saudara (kandung), tetangga dan orang yang seagama.

Jika direnungkan, silaturahmi di era milenial sekarang tidak jauh berbeda dengan konsep membangun dan menjaga hubungan baik dengan sesama yang dikenal “human relation”. Faktanya, tidak ada orang sukses atau orang beruntung kecuali dia suka menjalin hubungan baik dengan sesama. Dalam al-Qur’an, silaturahmi dilakukan untuk tujuan “menyelamatkan diri dan keluarga dari api neraka” (قُوْا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا) dan “saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran” (وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصّبْرِ). Artinya, selain tujuan selamat dunia akhirat, juga tujuan memperbaiki kualitas diri di masa depan. Tujuan kedua ini sering diabaikan, sehingga silaturahmi dilakukan hanya sekedar bertemu, bernostalgia kemudian berlalu tanpa ada pelajaran, informasi atau program yang pantas dikerjakan.

Siapapun yang ingin hidup selamat, beruntung dan bisa membangun masa depannya di dunia dan akhirat, maka hendaknya menjadi hamba Allah yang ahli silaturahmi. Tidak cukup bertauhid dan beribadah, tetapi bermuamalah secara syari’at harus dipenuhi. Nabi Muhammad Saw menegaskan bahwa agama adalah mu’amalah atau bagaimana seseorang memperlakukan orang lain. Sebagai seorang saudara muda, nampak indah ketika mendahului datang kepada yang lebih tua saat silaturahmi. Murid mendatangi gurunya, pendatang baru mendatangi tokoh masyarakat setempatnya dan seterusnya. Sehingga tidak ada kata “lancang” atau “dilancangi” dalam kehidupan masyarakat modern. Terlebih sebagai seorang hamba, secara otomatis juga khalifah atau “wakil” Allah di bumi yang dalam menjalankan tugas merawat bumi dan jagad milik Allah membutuhkan ketenangan beribadah, akses berkarir dan berprestasi serta sarana membangun masa depan dunia dan rumah akhirat kelak. Semua capaian ini tidak lepas dari do’a dan dukungan saudara atau teman yang mungkin mereka berikan di balik tirai sehingga menjaga prasangka baik kepada mereka juga diperlukan. Mereka pada dasarnya investasi masa depan dan jangan sampai dikecewakan apalagi didzalimi.

Bagaimana mungkin seseorang akan membangun masa depan dunia dan akhirat jika tidak  memiliki hubungan baik dengan sesama?. Silaturahmi adalah solusi terbaik bagi kesuksesan dunia-akhirat asalkan tujuannya untuk mencari ridla Allah dengan saling mendoakan, mengingatkan, menasehati dan menebar manfaat kepada orang lain. Tidak sedikit orang bodoh menjadi orang alim karena berkah silaturahmi. Tidak sedikit ditemukan orang miskin menjadi kaya karena wasilah silaturahmi, orang jatuh dan putus asa bisa bangkit kembali, orang tertimpa bala’ atau musibah diangkat musibahnya atau orang malas menjadi semangat lantaran faedah silaturahmi.

Silaturrahmi bisa diniatkan dengan sebanyak-banyak niat yang baik dan pahala juga tergantung niatnya, tapi tidak bisa ditinggalkan adalah niat mendapatkan ridla Allah. Sebab silaturrahmi itu berat yang terkadang bukan karena mahalnya biaya transportasi atau “oleh-oleh” jika dianggap tradisi, tetapi karena menyambung hubungan kepada orang yang memutus silaturahmi  membutuhkan kelapangan hati. Saling membalas kunjungan dan semacamnya dalam hubungan antar negara sering disebut dengan asas resiprokal, tidak jauh berbeda dengan hubungan sesama manusia. Bagaimana jika kunjungan atau kebaikan-kebaikan yang diberikan tidak dibalas?, justru ini adalah keutamaan yang paling utama sebagaimana diajarkan langsung oleh baginda Nabi Muhammad Saw yang bersilaturahmi dengan orang yang memutus silaturahmi; memberi orang yang tidak pernah memberi (bakhil/kikir); dan memaafkan orang yang berlaku aniaya. Penyambung hubungan kerabat seperti ini kelak diakhirat diringankan hisab amalnya dan diberi hadiah syurga.

Jika silaturahmi bisa memperbanyak rezeki maka silaturahmi harus dilakukan dengan niat ikhlas. Silaturahmi harus didasari dengan niat menjalankan perintah Allah dan melihat cerminan diri sendiri. Kaidahnya, orang mukmin adalah cermin bagi mukmin yang lain. Artinya orang yang bersilaturrahmi berpeluang besar melihat kekurangan kualitas dirinya sehingga dia termotivasi untuk berbenah atau meningkatkan kualitas yang dimiliki. Sebagaimana kaidah ekonomi   menyebutkan, barang siapa menghendaki rezekinya banyak maka hendaknya meningkatkan kualitas. Senyatanya, tidak sama kualitas tukang batu dengan kualitas insinyur pembangunan.  Jadi, alangkah naifnya jika bersilaturahmi hanya untuk melihat atau mencari kekurangan orang lain tetapi melupakan kekurangan diri sendiri.

Walhasil, segala bentuk pertemuan silaturahmi hendaknya dipandang sebagai “sekolah mahal” untuk membangun masa depan, bukan sekedar menjalankan perintah agama tanpa dipahami maksud dan hikmahnya. Namun setidaknya, silaturrahmi dilakukan untuk menjaga keseimbangan antara jasmani dan ruhani, keseimbangan antara dunia dan akhirat. Dalam konteks kebangsaan, salah satu pahlawan nasional; KH. Wahab Hasbullah pernah menamakan acara silaturahmi yang diselenggarakan untuk merekatkan hubungan antar tokohs nasional yang sedang memanas dengan nama “halal bi halal”. Ini agar terasa ringan, santai, adem dan jauh dari nuansa permusuhan. Demikian halnya acara silaturahmi yang diganti nama dengan reuni, temu kangen, kumpulan angkatan, pekan olahraga, diskusi ilmiah dan sebagainya tanpa menghilangkan maksud utama menyambung dan memperkuat hubungan ruhani, hati, pikiran atau bahkan misi dan program bersama yang telah lumpuh dan tercerai berai. Jika umat Islam atau sesama anak bangsa saling menguatkan satu sama lain, maka tidak diragukan masa depan bangsa tersebut akan cerah, begitupun sebaliknya. Seandainya pun harus saling bersaing, maka persaingan kualitas adalah perintah agama dan bukan alasan untuk saling menjatuhkan atau memutus silaturahmi.

Namun ada beberapa hal yang perlu dihindari dalam silaturahmi, yaitu al-baghyu (permusuhan), ghibah (gosip) atau namimah (adu domba). Hal ini dengan cepat merusak fadhilah dan pahala silaturahmi, bahkan jika tidak disesali (di-istighfar-i) maka yang akan diterima adalah “perhitungan” Allah karena itu tergolong maksiat lisan. Silaturahmi harus menciptakan perdamaian bukan permusuhan. Jangan sampai moment pertemuan silaturrahmi menjadi moment pertemuan provokator, karena jelas menjadi provokator dilarang dalam Islam, kecuali harus dilakukan demi keselamatan Islam. Kebiasaan jadi provokator akan membuat hati kotor sehingga tidak terasa memiliki kebiasaan mencari-kecari keburukan atau aib orang lain. Ini bisa merusak hubungan harmonis komunitas apapun atau masyarakat dalam arti luas. Lebih merugikan lagi, provokasi bisa merusak masa depan diri sendiri disamping masa depan orang lain yang dikorbankan. Jadi, silaturahmi harus dimanfaatkan sebagai “sekolah mahal” untuk memperbaiki nilai masa depan, bukan merusaknya.

 

Bagikan Artikel ini:

About Ribut Nurhuda

Penasehat PCI NU Sudan

Check Also

Imam Syafii

Maksud Imam Syafi’i Sebagai “Penolong Hadist”

Imam Syafi’i merupakan ulama yang tidak asing di telinga masyarakat muslim Indonesia. Selain  pendiri salah …

spanyol dan afrika

Perkembangan Madzhab Maliki di Spanyol dan Afrika Utara

Masyarakat Afrika Utara secara umum mengikuti madzhab Maliki. Di Sudan, madzhab ini tersebar dengan pesat …