metode tafsir2
metode tafsir2

Tafsir Surat Al-Baqarah 261: Kebaikan Progresif

Salah satu bentuk cara seorang muslim menghormati al-Qur’an adalah sikap senantiasa membaca dan mengamalkannya. Proses mengamalkan isi kandungan al-Qur’an sejatinya tidak semudah membaca terjemahan ayat, melainkan melibatkan proses pembacaan kitab-kitab tafsir, memahami pandangan para ulama serta bimbingan guru.

Pembahasan kali ini mengenai salah satu ayat populer terkait keutamaan berinfak di jalan Allah, yakni QS. Al-Baqarah ayat 261. Tidak sedikit para ustadz penceramah mengutip ayat ini agar memotivasi masyarakat dalam memberikan sebagian hartanya kepada yang membutuhkan. Quraish Shihab dan Buya Hamka masing-masing dalam kitab tafsirnya menawarkan penafsiran yang menarik terhadap ayat ini. Berikut QS. Al-Baqarah ayat 261.

مَّثَلُ الَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنبُلَةٍ مِّائَةُ حَبَّةٍ ۗ وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَن يَشَاءُ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ [٢:٢٦١]

Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.

Dalam tafsir al-Mishbah, M. Quraish Shihab menjelaskan ayat ini turun menyangkut kedermawanan Utsman Ibn Affan yang datang membawa harta untuk membiayai peperangan Tabuk. Selanjutnya, masih dalam tafsir yang sama, terdapat pesan menarik di dalam penafsirannya, “Manusia tidak dapat memenuhi semua kebutuhannya, ia harus membantu, saling lengkap-melengkapi, dan kerena itu pula mereka harus beragam dan berbeda-beda agar mereka saling membutuhkan.”

Sementara penafsiran Hamka dalam kitab tafsir Al-Azhar tak kalah progresif, seseorang yang hendak berinfak, tidak terbatas pada harta dalam arti material, Hamka menjelaskan terkait ayat ini, “Kadang-kadang (harta disalurkan kepada) fakir miskin mesti dibantu, dia mengendaki pengurbanan hartabenda. Kadang dakwah Islam hendak disampaikan kepada orang yang masih jahil. Kadang-kadang pendidikan agama pada anak-anak mesti disempurnakan. Kadang-kadang mesjid baru mesti didirikan. Atau rumah yatim-piatu, rumah sakit dan lain-lain, dan seribu macam lagi yang lain.” Lebih jauh lagi, masih dalam penafsiran Hamka, dimisalkan seorang hartawan yang mendirikan Sekolah Dasar dalam sebuah desa sehingga anak-anak desa tak perlu bersekolah jauh.

Berdasarkan penafsiran-penafsiran di atas, baik Quraish Shihab dan Hamka sejatinya tidak lepas dari konteks historis di mana mufasir hidup. Bukan tidak mungkin kebaikan-kebaikan progresif berkembang menjadi bentuk lain seiring dengan berkembangnya waktu dan kondisi.

Penafsiran-penafsiran terhadap ayat ini mesti dijadikan sebagai “kebaikan progresif”, dalam arti membuat suatu refleksi terhadap diri mengenai apa yang dibutuhkan pada konteks ini, sehingga menjadi kemashalahatan bersama. Bentuknya tidak lagi cukup dengan berinfak di masjid, mendirikan masjid atau sekolah, namun dengan memperbesar skala kemashalahatan agar ayat-ayat Allah terealisasi menjadi rahmat lil ‘alamin. Wallahu a’lam.

Bagikan Artikel ini:

About Aldiantara Kata