Abu Abdurrahman Hatim 0
Abu Abdurrahman Hatim 0

Tokoh Sufi yang “Tuli”

Abu Abdurrahman Hatim bin Unwan lahir di Balkh. Beliau adalah murid dari Syaqiq al-Balkhi yang wafat di Baghdad, Irak, tahun 852 M atau 237 H. Hatim bin Unwan dikenal sebagai sufi masyhur dengan akhlak yang mulia. Julukan Al-Asham yang berarti “si tuli” adalah salah satu contoh kemuliaannya.

Berawal dari keinginan untuk menjaga perasaan seorang perempuan yang menjadi tamunya, Hatim rela untuk berpura pura tuli selama 15 tahun lamanya, sampai perempuan yang menjadi tamunya tersebut meninggal dunia. Inilah Hatim ulama yang sangat menjaga martabat dan menghormati perempuan.

Suatu ketika datanglah seorang wanita mendatangi kediaman Syekh Hatim bin Ulwan dengan tujuan berkonsultasi atas masalah yang telah menimpanya. Diawali dengan pembukaan pembicaraan dan masuk kedalam inti masalah, wanita tersebut merasakan mulas di perutnya.

Wanita itupun meneruskan permasalahannya dengan sedikit gelisah. Karena kehilangan konsentrasi, maka ia mengakhiri ceritanya dengan sebuah pertanyaan. Tetapi tanpa di sengaja, suara kentut terdengar persis di ujung kalimat pertanyaan. Wajahnya merah karena malu. Ia kehilangan muka. Semua sikapnya menjadi salah. Wanita tersebut merasa telah menghina ulama besar yang dihormati penduduk seisi Khurasan.

Mendengar bunyi buang angin itu Hatim tidak beraksi apa-apa. Ulama ini mengerti benar perasaan yang dihadapi oleh perempuan yang ada di depannya. Beliau tetap bersikap dengan wajar. Raut mukanya tampak tak berubah sedikitpun.

Wanita tersebut memberanikan diri melanjutkan  pertanyaannya dengan perasaan malu, “Sebetulnya saya ingin bertanya sesuatu”. Kemudian Hatim menjawab sesuai sabda Rasulullah, “Bisa diulang lebih keras,’ kata Hatim bin Ulwan,” (Lihat Syekh M Nawawi Banten, Syarah Qami‘ut Thughyan, [Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah: tanpa catatan tahun], halaman 22).

Kalimat permintaan dari Syekh Hatim bin Ulwan itu melegakan pikiran wanita tersebut. Mengetahui tuan rumah kurang pendengaran, betapa puas hatinya. Kepercayaan dirinya datang kembali. Ia yakin Syekh Hatim bin Ulwan juga tidak mendengar kentutnya. Ia kemudian mengulangi lagi pertanyaannya tadi.

Berawal dari wanita tersebut Hatim rela menjadi orang yang pura-pura tuli demi menjaga perasaan wanita tersebut. Inilah kisah yang mendasarinya berjuluk “Al-Asham” atau si tuli. Gelar dinisbatkan kepada Hatim selama 15 tahun demi melindungi martabat perempuan hingga meninggal dunia. Selama itu hatim berpura-pura tuli.

Sebenarnya akhlak yang ringan tersebut adalah teladan bagi kaum muslimin saat ini. Betapa tidak, bukan sekedar persoalan remeh seperti kentut, tetapi aib saudaranya seolah jadi umbaran yang mudah viral. Sesama saudara saling menyebarkan keburukan.

Menjadi muslim sejatinya sejati adalah menjaga lisan dan tangan agar saudaranya selamat. Umat ini memang harus tuli agar tidak menjadi pendengar keburukan saudaranya. Umat ini harus belajar menjadi bisu pilihan agar kita tidak selalu mengumbar keburukan da naib saudara kita. Mari jaga saudara kita.

Bagikan Artikel ini:

About redaksi

Check Also

Lebaran Topat perkuat silaturahmi dan jaga tradisi leluhur

Lebaran Topat di Mataram Pupuk Silatarahmi Antaragama dan Jaga Tradisi Leluhur

Mataram – Seperti di daerah-daerah lain saat Hari Raya Idul Fitri, di Kota Mataram, Nusa …

KH Yusnar Yusuf Rangkuti PhD

Tak Bertentangan dengan Syariat Islam, Budaya dan Kearifan Lokal Saat Idulfitri Perlu Terus Dilakukan

Jakarta – Perayaan Idulfitri di Indonesia biasanya diramaikan dengan berbagai budaya dan kearifan lokal, sesuai …