bukan kompromi
bukan kompromi

Toleransi Bukan Kompromi

Islam sangat mengedepankan praktek toleransi. Namun, pentingnya toleransi harus juga mematuhi norma. Toleransi bukan berarti melakukan kompromi apalagi konversi. Islam memberikan Batasan secara tegas dengan apa yang disebut toleransi.

Salah satu dasar Qur’an dalam yang menjelaskan posisi Islam dalam bertoleransi tergambar secara utuh dalam Surah Al-Kafirun ayat 1-6. Ayat ini diturunkan sebagai jawaban Nabi yang diturunkan Allah melalui firmannya dalam menghadapi tawaran kompromi masyarakat kafir Quraisy.

Ketika tokoh Quraisy al Wahid bin Mughirah, Ash bin Wail, Aswad bin Abdul Muthalib dan Umayyah bin Khalaf datang kepada Rasulullah untuk melakukan penawaran dan kompromi karena melihat ajaran Islam tidak bisa dibendung dengan siksaan, tetapi justru semakin menuai simpati masyarakat Makkah. Mereka putus asa dan menawarkan kepada Nabi.

Mereka datang ke hadapan Rasulullah dan mengusulkan untuk melakukan kompromi dengan tawaran, “Hai Muhammad, bagaimana kalau beberapa waktu (selama setahun) engkau mengikuti agama kami. Sembahlah berhala dan tuhan-tuhan kami. Dan sebaliknya selama beberapa lama (setahun) kami akan mengikuti agamamu dan menyembah Tuhanmu. Kita menyembah tuhan-tuhan dengan bergantian. Kalau ajaranmu benar, maka kami bisa selamat. Begitu juga sebaliknya. Kalau ajaranmu yang benar, kami bisa selamat.”

Mendengar tawaran Rasulullah menolak tegas tawaran ini sebagaimana tertera dalam Surah Al-Kafirun ayat 1-6 sebagai prinsip penolakan dan toleransi beragama. “Katakanlah, “orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kalian sembah. Dan kalian bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kalian sembah, dan kalian tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untuk kalianlah agama kalian, dan untukkulah agamaku.”

Seringkali ketika memaknai ayat di atas orang mau bertoleransi dengan hanya memotong Untuk kalianlah agama kalian, dan untukkulah agamaku.” Sejatinya apabila dibaca secara utuh ada prinsip bertoleransi yang tegas diajarkan dalam Islam.

Di dalam surah tersebut ada dua penolakan yang tidak bisa dicampuradukkan dalam bertoleransi. Pertama, penolakan terhadap obyek yang disembah (aku tidak akan menyembah apa yang kalian sembah). Kedua, penolakan terhadap cara menyembah (aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kalian sembah).

Muhammad Abduh menafsirkan surah di atas bahwa ayat 2 dan 3 menjelaskan perbedaan yang disembah dan ayat 4 dan 5 menjelaskan cara beribadat. Dalam dua penolakan tersebut, sesungguhnya toleransi dibatasi pada persoalan teologi (akidah) dan peribadatan (syari’ah). Atas nama toleransi tidak boleh umat beragama memaksakan diri untuk mencampuradukkan teologi dan Syariah agama. Karena perbedaan aspek teologis dan peribadatan tersebut, agama tidak bisa dikompromikan atas nama toleransi.

Akhlak mulia Nabi tidak dibatasi dengan perbedaan agama karena Nabi ingin menebar rahmat kepada semesta alam. Dalam persoalan ketuhanan dan peribatdan Nabi sangat tegas, namun, dalam interaksi sosial Nabi sangat menghargai dan menghormati. Interaksi Nabi tidak dibatasi oleh perbedaan agama, suku dan etnis. Inilah contoh yang diberikan oleh sang teladan kepada umatnya.

Bagikan Artikel ini:

About redaksi

Check Also

Deklarasi Formula Santri

Formula Santri, Ruang Silaturahmi Ulama dan Santri untuk Mencerahkan Bangsa

Jakarta — Dalam semangat memperingati Hari Santri Nasional 2025, Wakil Presiden Republik Indonesia ke-13, Prof. …

Dr Trubus Rahardiansyah

Perkuat Edukasi, Transparansi, dan Kualitas Gizi di Garis Depan dalam Pelaksanaan Program MBG

Jakarta — Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas Presiden Prabowo Subianto merupakan langkah strategis …