wafatnya khalifah ustamn
pembunuh khalifah

Tragedi Politisasi Islam yang Menghantarkan Darah Khalifah

Jika ada pepatah mengatakan “tidak ada kawan dan lawan abadi dalam politik, yang ada hanya kepentingan abadi” itu memang benar adanya. Dalam dinamika politik yang dulu kawan yang saling berangkulan bisa menjadi saling menikam. Begitu pun yang dulu lawan yang saling menyerang pada akhirnya bisa saling bekerjasama. Itulah seninya arena politik yang bagi sebagian orang akan mengatakan begitulah kejamnya dunia politik.

Kekejaman dunia politik semakin menjadi-jadi ketika agama ditarik sebagai siasat dalam mempertahankan keabadian kepentingannya. Ketika agama ditarik dalam gelanggang politik, Saya bisa menambahkan dalam politik “tidak ada saudara seagama yang ada hanya saling mengkafirkan”. Ketika kepentingan kekuasaan sudah memuncak agama bukan menjadi pedoman dalam politik tetapi justru menjadi alat dalam kepentingan politik.

Masih ingatkah siasat licik pasukan Muawiyah yang mengangkat kitab suci di medan perang sebagai tanda ingin melakukan perdamaian. Siasat ini dilakukan ketika pasukan Muawiyah sudah mulai terdesak dengan pasukan Ali bin Abi Thalib. Bisa dibayangkan kitab suci dijadikan strategi untuk menipu lawannya.

Masih ingatkah bagaimana kelompok Khawarij yang pertama kali dalam sejarah mengutip ayat al-Quran “Barang siapa tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan oleh Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir” (Al-Maidah:44). Pertempuran politik dilegitimasi dengan ayat ini sehingga memuculkan fenomena pertama kali dalam sejarah Islam yang mengkafirkan sesama muslim.

Politisasi agama menjadikan musibah besar dalam sejarah Islam hingga munculnya proses pengkafiran karena perbedaan politik. Tentu saja bahayanya bukan sekedar kalimat mengkafirkan, tetapi konsekuensi hukum yang melekat dalam kalimat kafir itu adalah halal darahnya. Seorang yang berbeda pandangan politik yang ditafsirkan secara keagamaan memunculkan kekejaman penghalalan darah.

Siapa yang bisa menghukumi halal darah seorang pemimpin tangguh yang dalam sejarahnya adalah tercatat anak kecil pertama yang mengamini dakwah Rasul. Seorang ponakan Rasulullah langsung yang harus terhunus pedang oleh sesama muslim karena perbedaan politik dan anggapan kafir.

Pembunuh Ali bin Abi Thalib bukan seorang kafir yang membenci Islam. Dialah Abdurrahman bin Muljam seorang yang ahli ibadah, ahli sholat, shaum, dan penghafal Al-Qur’an serta mengajarkan Al-Qur’an kepada orang lain. Kholifah Umar bin Khathab pun pernah mengirimnya ke Mesir untuk mengajarkan Al-Qur’an di sana. Bahkan ia mendapat gelar Al-Muqri’ yang berarti ahli ibadah. 

Bayangkan kekejaman politisasi agama itu telah membutakan seorang yang alim dan penghafal al-Qur’an yang berani menusuk Sayyidina Ali, sang khalifah, keponakan rasulullah dan orang pertama kali dalam sejarah dari golongan anak-anak yang menyatakan masuk Islam.

Pengkafiran sesama muslim yang menyimpulkan halal darah yang berbeda pandangan karena ada intervensi pencampuran agama dalam nalar politik. Munculnya mengkafirkan sesama muslim adalah karena politisasi Islam. Islam diperalat untuk dijadikan alat untuk melawan yang berbeda pandangan.  

Sebelum munculnya Khawarij, perbedaan pemikiran bahkan konflik antar sesama umat Islam dalam memperebutkan kekhalifahan (politik) tidak pernah memunculkan tuduhan kafir. Lihatlah dalam puncak perang Siffin yang mempertemukan Ali bin Abi Tholib dan Muawiyah bin Abu Sufyan, Sayyidina Ali menegaskan peperangan itu sebagai persoalan politik semata (furu’), tidak ada kaitannya dengan akidah (ushul) yang menyebabkan seseorang jatuh dalam vonis kafir.

Sayyidina Ali berkata:

“Kita telah bertemu di medan perang, sedangkan Tuhan kita satu, Nabi kita Satu, dan seruan kita dalam Islam satu. Kita tidak menganggap mereka kurang beriman kepada Allah dan membenarkan Rasulnya dan mereka pun tidak menggap kita kurang. Semua perkara sama, kecuali apa yang kita perselisihkan tentang darah utsman…Sungguh demi Allah kita tidak memerangi penduduk Syam karena kekafiran dan perselisihan dalam agama…Sungguh mereka adalah saudara-saura kita dalam Agama”.

Jika yang ada saat ini seperti Sayyidina Ali yang memandang perbedaan politik tidak mengurangi kadar keimanan lawannya atau menganggap mereka tidak kafir tentu umat Islam akan lebih dewasa. Namun, jika yang ada saat ini seperti Abdurrahman bin Muljam yang alim dan fasih al-Qur’an, tetapi berani mengkafirkan dan membunuh sesama sejarah akan berbeda.

Lalu, anda akan memilih menyikapi perbedaan seperti Sayyidina Ali bin Abi Thalib atau seperti Abdurrahman bin Muljam?

Bagikan Artikel ini:

About Islam Kaffah

Check Also

duduk di kuburan

Saat Ziarah, Bolehkah Duduk di Kuburan?

Meskipun arus puritanisasi  mengklaim ziarah kubur adalah ritual bid’ah, tapi tidak banyak muslim nusantara yang …

shalat ghaib korban bencana

Shalat Ghaib untuk Korban Bencana

Pada tanggal 4 Desember 2021 telah terjadi peningkatan aktifitas vulkanik di gunung semeru. Hal itu …