4 Tingkatan Puasa Syekh Abdul Qadir Al Jailani Bagi Generasi Milenial

Bulan Ramadhan merupakan bulan yang penuh keberkahan, ramhat dan ampunan. Kehadirannya sangat dinantikan oleh jutaan umat muslim di belahan dunia. Allah membuka pintu ampunan bagi siapa saja yang memohon ampunan kepada-Nya, karena Allah membuka pintu surga dan menutup pintu nereka. Selain itu, pada bulan Ramadhan Allah senantiasa mengabulkan permintaan setiap hamba-Nya, maka berdoa lah dengan penuh keyakinan.

Puasa Ramadhan adalah salah satu puasa yang hukumnya wajib dilaksanakan. Puasa Ramadan adalah salah satu pilar Islam. Dasar kewajibannya adalah firman Allah dalam Q.S Al Baqarah ayat 183 “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”

Menjaga nafsu dan syahwat memang sudah cukup bagi ulama fikih untuk memenuhi syarat sah puasa. Namun ulama ahli hikmah memaknai sahnya puasa lebih dari itu. Puasa yang sah adalah puasa yang diterima. Puasa yang diterima adalah puasa yang maksudnya tercapai. Lalu apa maksud dari berpuasa? Adalah berakhlak dengan akhlak terbaik, akhlak malaikat, akhlak para nabi, terutama Nabi Muhammad SAW.

Sejalan dengan makna ini ada sebuah hadits dimana Rasulullah SAW bersabda “Lima hal ini bisa membuat puasa seseorang tidak sah: berbohong, menggunjing, mengadu domba, sumpah palsu, dan melihat dengan syahwat”. Sepintas kita bisa melihat bahwa dari kelimanya tidak ada satu pun yang menunjukkan perilaku membatalkan dalam pandangan fikih. Namun mengapa kelimanya bisa membuat puasa seseorang tidak sah?

Ini tentu berkaitan dengan makna sah itu sendiri; terwujudnya maksud puasa, untuk berakhlak mulia, dalam diri sang sha’im (orang yang berpuasa). Karena itulah puasa memiliki tingkatan sebagaimana yang diajarkan oleh Syekh Abdul Qadir Al Jailani :

1. Puasa lahir, adalah menahan rasa lapar dan haus dari fajar sampai terbenamnya matahari. Tingkatan puasa seperti ini tentu saja bisa dilakukan oleh siapapun. Namun sangat disayangkan jika saat berpuasa hanya sebatas menahan lapar dan haus saja, tetapi tidak memaknai nilai puasa itu sendiri. Seperti halnya seseorang yang berpuasa namun masih tetap membicarakan keburukan orang lain, masih menyebar fitnah dan kebohongan. Lalu untuk apa seseorang itu berpuasa?

2. Puasa batin, adalah menjaga semua indera dan pikiran dari segala perbuatan yang diharamkan. Sedikit saja niat buruk hingga di hatimu, puasamu rusak. Tingkatan puasa seperti ini hanya bisa dilakukan bagi mereka yang selain berpuasa fisik yaitu menahan haus dan lapar, namun mereka bisa memposisikan antara puasa fisik maupun puasa batin secara seimbang, dalam artian bisa mengontrol dengan baik kualitas jasad dan ruhani nya.

3. Puasa hakikat, yaitu mencegah hati dari menyembah selain Allah. Caranya adalah dengan membutakan mata hati dari segala yang ada, sehingga yang tersisa hanyalah cinta kepada Allah. Tingkatan puasa seperti ini tentunya lebih memiliki makna yang tinggi, karena melalui amalan puasanya mereka dapat sepenuhnya mencintai Sang Penciptanya tanpa menduakan dengan sesuatu apapun.

4. Puasa ruhani, yaitu batal jika cinta kepada selain Allah, meski sebesar atom memasuki hatinya. Jika itu terjadi, harus dimulai lagi dari awal. Tingkatan puasa seperti ini sangat memiliki makna yang tinggi, karena mereka sangat menjaga kualitas cinta pada Rabbnya, ia pun sangat berhati-hati agar cintanya sedikit pun tidak terpengaruh oleh apapun.

Keempat tingkatan puasa tersebut tentunya bisa diaplikasikan dalam pengamalan ibadah puasa saat Bulan Ramadhan, dengan tahapan-tahapan di dalamnya. Maka dengan penuh keyakinan bahwa Allah akan selalu memudahkan setiap hamba-Nya agar dapat meraih tingkatan puasa yang terbaik sehingga amalan puasa nya memiliki makna tersendiri.

Di Era Milenial ini tentunya banyak sekali tantangan dalam melaksanakan puasa Ramadhan, terutama bagi generasi muda. Melihat begitu pesatnya perkembangan teknologi sehingga dapat melalaikan mereka dalam memahami makna puasa. Sebagai generasi muda cerdas seharusnya bisa memanfaatkan teknologi sebaik mungkin, terutama saat bulan Ramadhan.

Bermain di media sosial harus disertai dengan niat memberikan kemanfaatan kepada yang lain, seperti memposting kata-kata mutiara, berdakwah, atau saling berkomentar yang positif dengan teman di dunia maya. Dengan begitu kualitas amalan puasa di bulan Ramadhan tersebut akan memiliki nilai yang lebih maksimal, pun berharap puasa di tahun ini dapat lebih baik dibandingkan puasa tahun-tahun sebelumnya.

Sementara nilai dari puasa itu sendiri ialah agar kita dapat membersihkan diri dari perkara yang buruk dan mengantarkan menuju pribadi yang lebih baik lagi. Melalui momentum puasa, generasi milenial harus mampu membersihkan ego, pikiran negatif, dan keinginan buruk di media sosial. Sehingga pada akhirnya, kesucian Ramadan mampu membersihkan media sosial dari konten negatif yang dapat merendahkan diri dan merendahkan orang lain.

Semoga bermanfaat, Allahu ‘alam Bishowab.

Bagikan Artikel ini:

About Islam Kaffah

Check Also

duduk di kuburan

Saat Ziarah, Bolehkah Duduk di Kuburan?

Meskipun arus puritanisasi  mengklaim ziarah kubur adalah ritual bid’ah, tapi tidak banyak muslim nusantara yang …

shalat ghaib korban bencana

Shalat Ghaib untuk Korban Bencana

Pada tanggal 4 Desember 2021 telah terjadi peningkatan aktifitas vulkanik di gunung semeru. Hal itu …