islamil tidak disembelih
Belajar dari Kisah Ibrahim dan Ismail

Belajar dari Kisah Ibrahim dan Ismail

Jumhur ulama sepakat bahwa hukum berkurban adalah sunah muakadah (sangat dianjurkan). Ibadah yang merupakan bentuk tapak tilas terhadap kisah Nabi Ibrahim ini menjadi salah satu syiar Islam yang agung. Kurban disyariatkan sebagai bentuk syukur seorang hamba atas nikmat harta dan kehidupan. Harapannya, dapat meneladani kesabaran Ibrahim dan Ismail dalam melaksanakan perintah Allah. Bahwa penghambaan tidak boleh tercampuri sedikitpun dengan sesuatu selain Dia. Kecintaan terhadap sesuatu apapun tidak boleh melampaui kecintaan hamba kepada Sang Khaliknya.

Hikmah terdalam dari peristiwa bersejarah penyembelihan Ayah terhadap sang buah hati tercintanya adalah keegoan diri yang harus dihempaskan jauh-jauh di singgasana kerajaan-Nya. Allah yang Maha Esa, tak ada sekutu bagi-Nya. Betapa rindu akan kehadiran seorang putra penyejuk jiwa di tengah-tengah keluarga mereka.

Munajat cinta Ibrahim kepada Sang Khalik tak henti-hentinya agar karunia itu segera menjelma di usia mereka yang sudah mulai senja. Dengan keistikamahan munajat yang dipanjatkan Khalilullah Ibrahim, akhirnya Tuhan mengabulkan apa yang menjadi impiannya dan menganugerahkan Ibrahim seorang putra. Betapa bahagia tak terkira setelah sekian lama dinanti-nanti kehadiran sang buah hati.

Kehadiran Ismail mampu mengobati kerinduan yang mendalam akan kehadiran sosok generasi masa depan yang menjadi tumpuan harapannya. Cinta Ibrahim tercuri oleh kehadiran Ismail. Luapan kebahagiaan ini menjadikan Ibrahim tidak lagi fokus, hingga membuat Tuhan ‘cemburu’. Cinta Ibrahim tak lagi terpusat kepada-Nya.

Allah membikin skenario untuk menguji kesetiaan Ibrahim kepada Sang Sutradara Kehidupan ini. Buah hati yang telah mencuri perhatiannya dan menjadi tumpuan harapan masa depannya diperintahkan untuk disembelih. Kehadiran Ismail yang mampu menyihir realasi batin Ibrahim dengan Tuhannya harus ‘disingkirkan’. Di sinilah ujian terberat Ibrahim dan kemesraannya dengan Sang Khalik akan teruji. Perintah melalui mimpi itu akhirnya diutarakan kepada sang buah hati tercinta. Al-Qur’an merekam adegan dialog ini seperti berikut:

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَىٰ فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَىٰ قَالَ يٰاَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِيْ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰبِرِيْنَ.

Artinya: Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.” (QS. As-Shaffat [37]: 102).

Kekasih Allah itu harus merelakan dan mengorbankan segalanya, meskipun harus bertaruh nyawa sang buah hati. Ini bentuk pengorbanan yang sangat luar biasa dari manusia yang begitu luar biasa untuk Dzat Yang Mahaluar biasa (meminjam bahasa Gus Mus). Atas kebijaksanaan Allah Ismail pun digantikan dengan seekor domba dari surga. Karena tujuan utama bukanlah hilangnya nyawa sang buah hati, tetapi komitmen Ibrahim atas perintah yang sangat-sangat mendera hati dan perasaannya.

Bisa dibayangkan bagaimana pedihnya mengorbankan anak sendiri dengan cara menyembelihnya setelah sekian lama dinanti kehadirannya. Tujuan itu sudah tercapai, ujian itu sudah dilalui dengan sangat gemilang, maka tak perlu lagi menghilangkan sosok Ismail dari kehidupan Ibrahim. 

Ibrahim sebagai khalilullah harus terbebas dari belenggu kepemilikan atas apapun, termasuk Ismail. Perhatian, cinta, kasih sayang tak boleh melenakan dan memalingkan dari fokus utama Sang Pemilik Kehidupan. Tuhan pun memerintahkan Ibrahim untuk membunuh rasa kepemilikan itu, membunuh rasa membutuhkan segala sesuatu dengan media menyembelih Ismail. Menyembelih semua yang tercuri oleh kehadirn Ismail, sehingga semuanya terpusat kembali kepada Yang Satu.

Sejatinya berkurban adalah menyembelih semua rasa yang dapat menghambat hubungan cinta hamba dengan Kekasihnya, menyembelih ego, menyembelih kesombongan, menyembelih kerakusan, dan menyembelih segala penyakit hati, sehingga menjadi qalbun salim yang siap menghadap Tuhannya kelak pada hari ketika harta dan anak-anak tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih (QS. As-Syu’ara’ [26]: 88-89). [] Wallahu a’lam Bisshawab!

Bagikan Artikel ini:

About Zainol Huda

Alumnus Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah Situbondo dan Dosen STAI Miftahul Ulum Tarate Sumenep.

Check Also

kaidah fikih

Kaidah Fikih: Serahkan kepada Ahlinya

Merupakan anugerah terindah Sang Pencipta ketika manusia yang ditugaskan menjadi khalifah di bumi memiliki beragam …

tergesa-tergesa

Kaidah Fikih: Beginilah Akibat Tergesa-gesa

Watak dasar manusia memang dirancang oleh Sang Pencipta sebagai makhluk yang suka tergesa-gesa, terburu-buru, dan …