Slogan “di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung” bukanlah petuah tak bermakna. Ungkapan untuk cinta kepada tanah kelahiran yang sering diucapkan para tetua kita ini memiliki arti sangat mendalam. Bahwa cinta tumpah darah, tanah air, tempat lahir, dan istilah lain yang dipakai untuk tanah kelahiran sejatinya bersumber dari kitab suci agama Islam.
Penegasan ini menjadi penting diurai agar tidak ada salah paham apalagi paham yang salah tentang nasionalisme atau cinta tanah air. Kesalahpahaman yang berangkat dari asumsi bahwa nasionalisme haram dan dilarang Islam itu perlu diluruskan.
Allah berfirman, “Dan sesungguhnya kalau kami perintahkan kepada mereka (orang-orang munafik), “Bunuhlah diri kamu atau keluarlah kamu dari kampung halaman kamu!” niscaya mereka tidak akan melakukannya, kecuali sebagian kecil dari mereka”. (QS. al Nisa: 66).
Imam Fakhruddin al Razi, ketika menafsiri ayat ini mengatakan, cinta tanah air merupakan dorongan fitrah yang sangat kuat dalam jiwa manusia. Secara manusiawi siapapun akan lebih mencintai tanah kelahirannya dari pada tempat lain.
Pada ayat di atas, ada dua kesulitan besar yang seandainya salah satunya diperintahkan oleh Allah kepada manusia niscaya mereka akan sulit untuk melaksanakannya. Yaitu, bunuh diri dan meninggalkan tanah air. Dua hal ini, merupakan masalah besar yang tegak sejajar atau sama persis tingkat kesulitannya bagi manusia. Bunuh diri sama sakitnya dengan meninggalkan tanah air.
Imam Mulla Ali al Qari dalam Mirqat al Mafatih menulis fitnah besar dan terberat bagi manusia adalah meninggalkan tanah airnya. Ungkapan ini ditulis beliau ketika menafsiri firman Allah, “Fitnah lebih kejam dari pada pembunuhan”. (QS. al Baqarah: 191). Beliau menafsiri ayat ini dengan mengeluarkan seseorang dari tanah airnya. Sebab pada ayat sebelumnya Allah berfirman, “Dan usirlah mereka dari tempat mereka karena telah mengusir kamu”. (QS. al Baqarah: 191).
Kecintaan terhadap tanah air ini juga tertanam dalam pribadi baginda Nabi. Dari Anas, bahwa ketika Nabi kembali usai bepergian begitu melihat dinding-dinding kota Madinah beliau mempercepat laju untanya, dan jika menunggangi unta beliau menggerakkannya (mempercepat) karena kecintaannya pada Madinah.(HR. Bukhari, Ibnu Hibban dan Turmudzi).
Naluri alamiah Nabi sebegitu kuat dan mendalam dalam mencintai tanah airnya. Ini sekaligus menjadi teladan bagi manusia bahwa mencintai tanah air sejatinya menjadi kewajibannya sebagai khalifah di bumi yang memiliki tanggung jawab untuk memakmurkannya. Oleh sebab itu, layak kita renungkan perkataan Ibrahim bin Adham dalam kitab Hilyatu al Aulia, “Saya tidak pernah merasakan penderitaan yang lebih berat dari pada meninggalkan tanah air”.
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah