Akun Sosial media @dw_indonesia milik Deutsche Welle (Gelombang Jerman) yang berada di Indonesia membuat reportase tentang hijab buat anak-anak yang membuka kontroversi. Tak ayal akun ini pun mendapatkan kritikan dari nitizen. Salah satunya dari Fadli Zon yang mengatakan reportase ini bagian dari Islamofobia.
Ada apa sebenarnya? DW Indonesia memposting video yang mengulas peran orang tua perempuan yang mengajari anak perempuannya menggunakan jilbab. Tidak hanya sebagai kewajiban jilbab dimaknai sebagai identitas seorang muslimah. Akun DW Indonesia mempertanyakan apakah pemakaian jilbab tersebut atas pilihan anak itu sendiri? Apakah anak-anak itu mempunyai pilihannya sendiri atas apa yang ia kenakan?
Dari reportase yang katanya seimbang ini DW menghadirkan beberapa pakar terutama aspek psikologis. Wal-hasil pemakaian jilbab untuk anak akan memberikan pandangan ekslusif anak apalagi tanpa ada pilihan ketika melihat yang lain berbeda. Itulah setidaknya kesimpulan reportase yang ingin dihadirkan.
Apa yang membuat publik kaget bahwa seolah memakainkan jilbab atau hijab untuk anak adalah secara psikologis cukup bermasalah. Apakah dengan mendandani anak yang biasanya dilakukan oleh orang tua perempuan dengan dandanan lucu bahkan sangat meriah itu juga atas pilihan anak sendiri atau justru memang pilihan orang tua?
Sebenarnya bukan karena jilbabnya yang harus dipersoalkan tetapi bagaimana cara dan pendekatannya. Jilbab bagi umat Islam terutama orang tua perempuan adalah bagian dari membiasakan anak untuk menjalani kewajiban menutup aurat kelak ketika dewasa. Itu bukan hanya persoalan identitas dan fashion tetapi ajaran.
Tentu pendekatan psikologis tidak hanya diarahkan pada dampak memakaikan jilbab buat anak yang menyebabkan cenderung ekslusif. Cara pandang ini jelas sangat berbahaya dan akan menimbulkan gejolak. Dalam Islam, mengenakan jilbab mengenakan jilbab ketika anak sudah menginjak baligh.
Namun, untuk mendidik anak tentu perlu pendekatan yang bertahap. Jangan memaksakan secara langsung akan timbul pemaksaan dan sikap berontak. Juga jangan terlalu dini mengenalkan jilbab sehingga anak kurang merasa nyaman. Ini menjadi poin penting bukan dengan mengatakan jilbab itu akan mempengaruhi pola pikir yang ekslusif.
Pertanyaannya apakah mengajarkan anak dan membiasakan anak untuk ibadah shalat juga akan menimbulkan tindakan yang ekslusif? Cara mendidik anak menutup aurat sama dengan cara mendidik kewajiban lain. Dalam shalat pun Rasulullah mengajarkan bagaimana mendidik anak dari sejak umur tujuh tahun. Jika sudah melampuai umur baligh maka orang tua bisa memukul dalam arti pukulan yang mendidik.
Karena itulah, mengenalkan jilbab dalam Islam dimulai secara bertahap. Tidak perlu memaksakan anak kecil sejak dini berjilbab tetapi juga tida dilarang untuk membiasakan diri. Membiasakan berjilbab adalah hal utama agar anak menjadi tidak kaget dengan ketika waktu wajib menutup aurat sudah saatnya.
Bagaimana pun tentu saja reportase DW Indonesia harus ditanggapi secara ilmiah. Dengan menghadirkan pendekatan psikologis tentu ini bisa juga menjadi masukan agar bagaimana membiasakan anak dengan jilbab dengan bertahap atau dengan mengenali kenyamanan anak. Namun, niat membiasakan jilbab tetap menjadi poin utama sebagaimana membiasakan ibadah dan ajaran yang lain sejak dini terhadap anak.
Tidak perlu menghuhat dan mencaci maki atas reportase ini. Mari kita biasakan utuk berdiskusi dan berdebat secara ilmiah. Toh apa yang dihadirkan DW Indonesia katanya “ilmiah”, jadi penting untuk menanggapinya secara bijak.
Dalam konteks inilah, mestinya DW juga menghadirkan pakar agama dan ulama untuk meninjau pandangan bagaimana mendidik anak dalam membiasakan ajaran Islam. Tentu sudah ada pedomannya dalam Islam agar reportase ini lebih berimbang. Apalagi yang ditinjau adalah persoalan keagamaan dan tidak berimbang jika hanya dalam aspek lain, walaupun psikologis sekalipun.
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah