shalat jumat
shalat jumat

Shalat: Identitas Muslim Tertinggi

Shalat berada di peringkat kedua setelah pengucapan dua kalimat syahadat dalam urutan rukun Islam. Itu artinya, setelah berkomitmen bahwa seseorang telah meyakini dengan kesaksian bahwa tuhan yang wajib disembah hanyalah Allah, dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan-Nya, maka hal pertama dan utama yang harus dipelajari dan diamalkan adalah shalat lima waktu.

Shalat menjadi barometer keberagamaan seseorang. Muslim yang baik adalah mereka yang menjaga shalat lima waktu dengan baik. Bahkan, muslim yang meninggalkan shalat karena mengingkari kewajiban shalat dihukumi kafir dan halal darahnya. (Zainudin  bin Abd al-Aziz al-Malibari, Fath al-Mu’in bi Syarh Qurrah al-‘Ain, hal. 3).

Dengan demikian, shalat menduduki posisi sentral dalam Islam. Posisi ini dapat dijabarkan dalam empat poin penting yang menunjukkan kedudukan shalat dalam Islam. Empat poin tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama, shalat merupakan tiang agama. Jika Islam diibaratkan sebuah bangunan rumah, maka shalat adalah tiang penyanggah yang akan mengokohkan sebuah rumah. Meskipun pondasi kuat dan kokoh, namun tanpa tiang sebuah rumah tidak akan pernah berdiri dan terwujud. Shalat menjadi tiang yang akan menjadikan rukun Islam yang lain berdiri tegak sebagai sebuah bangunan utuh dan sempurna. (Zainudin Abdur Rauf al-Munawi, Al-Taisir bi Syarh Jami’ al-Shaghir, Jilid II, hal. 211). Sebagaimana tercantum dalam sebuah hadis:

اَلصَّلاَةُ عِمَادُ الدِّيْنِ

Artinya: “Shalat itu adalah tiang agama”. (Faidul Qadir, No. 5185). 

Kedua, perintah kewajiban shalat disampaikan langsung melalui peristiwa yang sangat istimewa, yaitu mi’raj. Sesuai informasi yang disampaikan Nabi melalui riwayat Anas bin Malik:

فُرِضَتْ عَلىَ النَّبِيِّ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِهِ الصَّلاَةُ خَمْسِيْنَ، ثُمَّ نُقِصَتْ حَتىّ جُعِلَتْ خَمْسًا، ثُمَّ نُوْدِيَ : يَا مُحَمَّدُ ، إنَّهُ لاَ يُبَدَّلُ القَوْلُ لَدَيَّ، وَإِنَّ لَكَ بِهذِهِ اْلخَمْسُ خَمْسِيْنَ.

Artinya: “Telah diwajibkan shalat kepada Nabi Muhammad Saw pada malam isra’ sebanyak lima puluh kali, kemudian dikurangi hingga menjadi lima kali, kemudian Nabi dipanggil: Wahai Muhammad! Keputusan ini tidak dapat diganggu gugat, dan dengan shalat yang lima kali ini, engkau tetap mendapat pahala sebanyak lima puluh kali”. (Jami’ al-Ushul min Ahadis al-Rasul, No. 3237).

Hal ini menandakan keistimewaan ibadah shalat dari pada ibadah yang lain. Perintah shalat melalui proses yang panjang dalam peristiwa mi’raj beserta kejadian-kejadian yang melingkupinya. Tentu terdapat rahasia yang istimewa di balik “panggilan” Tuhan langsung kepada hamba-Nya, bernama Muhammad itu untuk menerima perintah shalat.

Ketiga, shalat menduduki posisi pertama yang akan diperhitungkan dan ditimbang (dihisab) kelak di akhirat. Jika shalat seorang hamba baik, maka baiklah semua amal perbuatannya, sebaliknya jika shalatnya rusak, maka rusaklah semua amalnya. Sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Thabrani:

أَوَّلُ مَا يُحَاسَبُ بِهِ اْلعَبْدُ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ الصَّلاَةُ، فَإِنْ صَلُحَتْ صَلُحَ لَهُ سَائِرُ عَمَلِهِ، وَإِنْ فَسَدَتْ فَسَدَ سَائِرُ عَمَلِهِ.

Artinya: “Pertama kali amal yang dihisab bagi seorang hamba adalah shalat, apabila shalatnya baik, maka akan baik seluruh amalnya, apabila shalatnya rusak, maka rusak pula seluruh amalnya”. (Mu’jam al-Awsath li al-Thabrani, No. 1929).

Oleh sebab itu, shalat menjadi barometer kebaikan amal seorang hamba selama di dunia. Ketika ia menjaga shalatnya dengan baik, melakukannya dengan penuh khidmat dan khusyuk, maka seluruh perilakunya di dunia menjadi baik. Perilaku yang baik adalah cerminan dan pancaran dari shalat yang baik. Sebagaimana firman Allah Swt:

إِنَّ الصَّلاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ.

Artinya: “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain).” (QS. Al-Ankabut [29]: 45).

Keempat, shalat merupakan garis demarkasi/pembeda antara orang muslim dan orang kafir. Para ulama’ sepakat bahwa orang yang meninggalkan shalat karena sengaja dan mengingkari terhadap kewajiban shalat dihukumi kafir. (Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh, Jilid I, hal. 577). Dengan demikian, shalat merupakan identitas seorang muslim. Secara lahiriyah, keislaman seseorang dilihat dari ibadah shalatnya. Terdapat beberapa hadis shahih yang menjelaskan tentang shalat sebagai pembeda antara muslim dan kafir, antara lain hadis berikut:

بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ  

Artinya: “(Batas pembeda) antara seorang muslim dan kesyirikan serta kekafiran ialah meninggalkan shalat”. (Shahih Muslim, No. 257).

Dengan demikian, meninggalkan shalat merupakan perbuatan yang paling dibenci oleh Allah setelah syirik dan kufur. Kedudukan shalat merupakan garis pembatas tegas yang membedakan orang muslim dan kafir, sehingga orang muslim yang meninggalkan shalat dengan sengaja tanpa uzur yang dibenarkan secara syar’i, identik denga orang kafir, bahkan tergolong orang kafir itu sendiri.

Empat hal inilah yang memposisikan shalat sebagai ibadah yang urgen dan inti dalam Islam, menjadikan penanda utama keberislaman seseorang. Dengan demikian, identitas yang paling tampak bahwa seseorang beragam Islam adalah dilihat dari ibadah shalat yang ia lakukan. Sejauh mana kualitas pelaksanaan shalat akan menjadi barometer kualitas keislaman seseorang secara dhahir. []

Wallahu a’lam Bisshawab!

Bagikan Artikel ini:

About Zainol Huda

Alumnus Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah Situbondo dan Dosen STAI Miftahul Ulum Tarate Sumenep.

Check Also

kaidah fikih

Kaidah Fikih: Serahkan kepada Ahlinya

Merupakan anugerah terindah Sang Pencipta ketika manusia yang ditugaskan menjadi khalifah di bumi memiliki beragam …

tergesa-tergesa

Kaidah Fikih: Beginilah Akibat Tergesa-gesa

Watak dasar manusia memang dirancang oleh Sang Pencipta sebagai makhluk yang suka tergesa-gesa, terburu-buru, dan …