Jimly Asshiddiqie
Jimly Asshiddiqie

Demo Berjilid-jilid Lebih Banyak Mudarat, Apalagi Dilakukan Atas Nama Kebencian

Jakarta – Demo berjilid-jilid lebih banyak membawa mudarat apalagi dilakukan atas nama kebencian. Sindiran itu diungkapkan Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Jimly Asshiddiqie kepada kelompok yang selalu berorientasi terhadap jumlah massa.  Karena itu Jimly mengajak semua pihak untuk menghormati sistem konsitusi yang ada di tengah alam demokrasi di Indonesia.

“Jangan lagi orientasi banyak-banyakan jumlah, misalnya ngumpulin jemaah satu juta, itu bagus, penting, tapi mudaratnya banyak, demo apalagi kalau berjilid-jilid. Iya itu mudaratnya banyak maka kita harus melembagakan dakwah secara resmi. Jangan lagi pakai berjilid-jilid, apalagi misalnya reuni ini, reuni ini, itu kan memelihara kebencian dan permusuhan. Jadi saran saya kepada organisasi-organisasi Islam kalau bisa diubahlah itu reuni yang orientasinya jumlah,” kata Jimly Asshiddiqie saat menjadi narasumber forum silaturahmi kebangsaan di Grand Hotel Sahid Jaya, Sabtu (5/12/2020)

Ia berharap, segera perbedaan yang terjadi umat sekarang ini bisa didamaikan lewat kepemimpinan MUI yang baru di bawah Ketua Umum KH Miftachul Akhyar. Setelah itu, barulah Jimly menyinggung soal kelompok yang mengedepankan soal jumlah massa.

“Ya mudah-mudahan di kepemimpinan Pak Kiai di MUI membangun suasana yang lebih menenangkan, sekaligus kita juga mendorong umat supaya jangan lagi lah atau mulailah berpikir, jumlah jemaahmu penting sekali, tapi itu bukan segala-galanya,” ungkap Jimly.

Jimly kemudian mengingatkan mengenai sistem pemerintahan presidensil yang dianut oleh Indonesia. Beda dengan sistem pemerintahan parlementer, sistem pemerintah presidensil tidak bisa diganti di tengah jalan.

“Begini saudara, ini kan kita sudah sepakat membuat sistem pemerintahan presiden, presiden kita itu dipilih langsung oleh rakyat 5 tahunan. Beda dengan sistem parlementer, kalau sistem parlementer itu bisa di tengah jalan diganti, dibubarkan pemerintahannya atau parlemennya lalu ke pemilu lagi. Tapi kalau dalam sistem presiden itu fix term setiap presiden itu diberi kesempatan 5 tahun. Suka tidak suka, kecewa tidak kecewa, ya kita tunggu 5 tahun ke depan 3,5 tahun lagi, dekat nggak lama,” papar Jimly.

Untuk itu ia mengajak seluruh pihak untuk kembali memperkuat empat pilar kebangsaan yaitu NKRI, Pancasila, UUD 45, dan Bhinneka Tunggal Ika.

“Jadi sudahlah kita harus membantu supaya cinta negara, cinta Tanah Air semangat kebangsaan empat pilar itu NKRI, pluralisme, Bhinneka Tunggal Ika berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 ini sudah kita putuskan di Pasal 37. Coba dicatat pasal 37 itu ketentuan mengenai tata cara mengubah UUD, jadi UUD boleh diubah tapi ayat 5 dari pasal 37 menegaskan khusus mengenai NKRI tidak dapat diadakan perubahan. Makanya NKRI dikatakan harga mati itu begitu. Tidak boleh diubah lagi,” tegas Jimly.

Ia lantas bicara mengenai perbedaan-perbedaan di tengah masyarakat. Menurut dia, setiap orang yang berbeda pendapat bisa jadi karena sumber informasi yang berbeda. Menurutnya ada tiga sebaga orang berbeda pendapat.

“Satu, orang berbeda pendapat karena datanya beda karena informasinya berbeda, coba ketemu samakan informasi. Kalau sumber informasinya datang sama, Insya Allah perbedaan selesai. Itu satu yang kedua orang berbeda pendapat karena kepentingan, kepentingan itu ada aja bisa kepentingan ekonomi kepentingan jabatan, iblis ini banyak sekali di mana-mana menggoda kita,” terang mantan Ketua MK ini.

“Iblis kekuasaan, iblis kekayaan, itu kan, biasa itu. Dan wajar semua manusia itu punya kepentingan. Tapi kalau ketemu mari kita bicara kepentingan besar kepentingan yang lebih luas insya Allah kalau bisa mencari titik temu,” imbuhnya.

Jimly menambahkan, orang bisa berbeda pendapat karena perspektif atau sudut pandang yang berbeda. Dia mencontohkan seorang pejabat dengan rakyat.

“Kalau sudut pandang orang dari atas dan orang dari bawah nggak akan ketemu pak. Jadi pejabat dari atas melihat ke bawah rakyat ke bawah melihat ke atas tidak mungkin bisa ketemu. Karena masing-masing persepsi kebenaran adalah persepsi diri sendiri,” tutur Jimly.

Menurutnya, ketiga perbedaan itu bisa diselesaikan lewat musyawarah. Asalkan, proses rekonsiliasi itu tidak diwarnai rasa permusuhan dan kebencian.

“Kalau di dalam batin sudah ada kebencian permusuhan dah susah ketemunya, coba saya ketemu pura-pura saja,” tutur dia.

Bagikan Artikel ini:

About redaksi

Check Also

060567700 1740995185 830 556

Santri Dari Mutholaah Kitab Kuning Ke Digital

JAKARTA — Santri bukan sekedar pembelajar di pondok pesantren namun lebih jauh santri menjadi penjaga …

082479700 1601026076 830 556

Kiprah Pendiri Pesantren Lirboyo di Medan Perang Kemerdekaan

Jakarta – KH. Abdul Karim atau yang biasa disapa Mbah Manab muassis Pondok Pesantren Lirboyo …