Menurut Dr. Abdul Wahab Khalaf Salah satu kemukjizatan al-Qur’an ialah karena ia mampu menceritakan kisah-kisah purba yang tidak hanya berumur ratusan tahun, tetapi ribuan tahun. Secara logis, cerita yang telah terkubur hingga ribuan tahun, sangatlah sulit untuk mendapatkan data autentik untuk dikisahkan kembali. Namun tidak bagi al-Qur’an. Al-Qur’an mampu menyuguhkan data-data empiris kisah masa lalu. Salah satunya adalah cerita israiliyat.
Israiliyat (Arab) secara arti harfiah diambil dari kata dari Isra’il, sebuah bangsa anak keturunan Nabi Ya’kub alaihis salam. Israiliyat adalah cerita-cerita yang kerap kali dibawa oleh orang-orang Yahudi (anak keturunan Yahuda; putra Ya’kub) yang masuk Islam. Ini berbeda dari hadits yang dipercaya sebagai ucapan, tindakan, atau iqrar (diamnya) Nabi Muhammad.
Cerita israiliyat umumnya berupa berbagai cerita dan tradisi non-Alkitab Yahudi (bahasa Ibrani: midrashim) serta Kristiani yang memberikan informasi atau interpretasi tambahan mengenai kejadian atau tokoh yang disebutkan di dalam kitab-kitab suci Yahudi. Kisah-kisah israiliyat adalah istilah yang sering dinilai sebagai dongeng belaka, hikayat, bahkan cerita fiksi. Alasannya, karena tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Kisah kisah nyentrik, aneh dan berada di luar nalar dan pengetahuan masyarakat awam.
Cerita israiliyat berawal dari keingintahuan bangsa Arab untuk menggali informasi terutama tentang kisah-kisah dalam Al Quran yang tidak diceritakan secara rinci kejadiannya. Mereka menggali informasi kepada ahlul kitab, orang orang Yahudi dan Nasrani yang kebetulan hidup berdampingan dengan orang orang arab.
Hampir di semua kitab Tafsir, memuat cerita israiliyat. Mufassirnya merasa perlu sebagai pelengkap tafsir yang mereka sampaikan. Hanya saja, para ulama tidak sekata dalam menyikapi cerita israiliyat. Ada ulama yang banyak membawakan cerita israiliyat, dengan sanadnya; semacam Ibnu Jarir At Thabari, Al-Baghawi dan lain lain.
Tentang al-Baghawi Ibnu Timiyyah berkata “Tafsir ini merupakan ulasan ringkas atau mini book dari Tafsir At Tsa’labi, namun buku ini tidak mencantumkan hadis-hadis palsu dan pemikiran-pemikiran yang menyimpang. ”Ada juga ulama yang banyak membawakan berita ini, namun umumnya tidak menyebutkan sanadnya.
Lalu bagaimana hukumnya menceritakan kembali atau membaca kembali cerita israiliyat?
Syaikh Ahmad Ibn Asymuni al-Jaruni berkata: ada tiga macam cerita israiliyat. Pertama, cerita israiliyat yang sesuai dengan syari’at Islam (al-Qur’an dan al-Hadits) seperti cerita dramatis penobatan Thalut sebagai raja Bani Israil (QS. Al Baqarah: 246–247).
Menurutnya cerita israiiliyat yang tidak tidak bertentangan denga syari’at Islam boleh diceritakan kembali dan boleh dibaca kembali. Nabi bersabda:
بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً وَحَدِّثُوا عَنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَلَا حَرَجَ وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
“Sampaikan (informasi) dariku sekalipun itu hanya satu ayat, dan ceritakanlah (apa yang kalian dengar) dari Bani Israil dan itu tidak apa-apa. Dan siapa yang berdusta atasku dengan sengaja maka bersiap-siaplah menempati tempat duduknya di neraka.”(HR. Bukhari:3292. HR. Ibnu Hibban: 6347)
secara tekstual (ibarat al-Nash) hadits ini memperbolehkan bercerita cerita israiliyat senyampang tidak menentang nilai nilai agama seperti berdusta dan semacamnya.
Kedua, cerita israiliyat yang bertentangan dengan syari’at (al-Qur’an dan al-Hadits) menurutnya, cerita ini tidak boleh diceritakan dan dibaca kembali. Contohnya seperti kisah tentang Nabi Nuh yang minum anggur lalu mabuk dan telanjang pasca peristiwa banjir besar (Kitab Kejadian 9: 20–27).
Ketiga, cerita israiliyat yang tidak bertentangan dan juga sekaligus tidak sesuai dengan syari’at (al-Qur’an dan al-Hadits). Menurutnya, cerita israiliyat seperti ini boleh diceritakan dan dibaca. Asalkan mampu membangkitkan gairah keilmuan dan keimanan. Contohnya seperti Kenapa Harus Ada Isra’ Mi’raj ? Ini Kisah Asal-Muasalnya. https://islamkaffah.id/kenapa-harus-ada-isra-miraj-ini-kisah-asal-muasalnya. al-Syayathin wa al- Anbiya’, Ahmad Ibn Asymuni al-Jaruni. Hal. 2).
Sifat iri yang digambarkan langit kepada bumi jelas jelas adalah sifat yang dilarang oleh Syari’at. Tetapi iri dalam hal untuk mendapat kebaikan adalah tindakan yang baik.
Dalam hidup ini dan dalam al-Qur’an ada hal yang logis dan yang tidak logis. Untuk hal yang logis cukuplah akal budi untuk membawanya ke labin keimanan. Tetapi untuk yang tidak logis, akal budi tak cukup sebagai medianya, karena membunuhkan hati yang suci untuk mengimaninya.
Cerita israiliyat adalah cerita nyentrik dan aneh. Dan tentu diluar akal budi manusia untuk mencernanya. Namun bagi insan dengan hati sucinya. Tidak akan pernah mengusik kebenarannya. Karena yang menilainya adalah keimanannya. Jadilah pembaca cerita israiliyyah yang bijaksana yang hanya mampu menilai negative cerita tersebut tanpa data pembenar yang inspiratif.
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah