makna allahu akbar
allahu akbar

Bukti Ulama Salaf Menggunakan Tafwid bil Makna

Ahlussunnah wal Jama’ah dengan Salafi Wahabi sepakat bahwa ulama’ Salaf dalam memahami ayat atau hadits mutasyabihat menggunakan pendepakat tafwid, artinya menyerahkan pemahamannya kepada Allah swt. Hanya saja ada perbedaan yang cukup mendasar apakah tafwid yang digunakan oleh ulama’ salaf hanya sebatas pada kaifiyahnya (bagaimana dan mengapa) saja atau juga pada maknanya ?

Menurut Salafi Wahabi, tafwid yang dilakukan oleh generasi salaf adalah tafwid bil kaifiyah saja, artinya yang diserahkan kepada Allah swt hanya sebatas tatacara, tetapi ulama salaf tetap memberikan makna dzahiriyah kepada ayat atau hadits tersebut.

Abdurrazak ‘Afifi salah satu ulama’ Salafi Wahabi di abad ini ketika ditanya tentang sebagian ungkapan Ibn Qudamah yang terdapat dalam kitab Lum’ah al I’tiqad berkaitan tentang pemahaman tafwid, ia menjawab:

مَذْهَبُ السَّلَفِ هُوَ التَّفْوِيْضُ فِى كَيْفِيَّةِ الصِّفَاتِ لَا فِى الْمَعْنَى

Artinya: “Madzhab Salaf adalah menyerahkan dalam kaifiyah (bentuk dan cara) sifatnya, bukan menyerahkan maknanya”[1]

Menurut ulama Salafi Wahabi ini, ulama’ Salaf hanya menyerahkan kaifiyahnya saja kepada Allah swt, sementara tentang maknanya tidak diserahkan, artinya ulama Salaf tetap memberikan makna.

Sebagai contoh yaitu ayat-ayat yang menjelaskan tentang istiwa’nya Allah swt, menurut pandangan Salafi Wahabi, ulama’ salaf tetap mengartikan kata “istawa” dengan arti “bersemayam”, atau “duduk”, hanya saja ulama’ salaf tidak memperpanjang pembahasan mengenai seperti apa, bagaimana, dan mengapa bersemayamnya Allah swt di Arys. Karena kaifiyahnya (bagaimana cara berdiamnya) diserahkan kepada Allah swt. ini yang kemudian disebut dengan tafwid bil kaifiyah.

Sehingga Salafi Wahabi keliru dalam memahami ungkapan Imam Malik bin Anas:

اَلْاِسْتِوَاءُ غَيْرُ مَجْهُوْلٍ وَالْكَيْفُ غَيْرُ مَعْقُوْلٍ وَالْإِيْمَانُ بِهِ وَاجِبٌ وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ

Artinya: Istiwa’nya Allah bukan hal yang tidak diketahui (artinya sudah diketahui), tatacaranya (bagaimana Allah swt beristiwa’) tidak masuk akal, beriman tentang istiwa’nya Allah hukumnya wajib, menanyakan istiwa’nya Allah termasuk perbuatan bid’ah”[2]

Kata “al istiwa’ ghairu majhul (istiwa’nya Allah bukan hal yang tidak diketahui)” dianggap bahwa arti istiwa’ sudah maklum dalam kalangan orang Arab, yaitu bersemayam atau duduk. Yang tidak diketahui adalah bagaimana bersemayamnya Allah dan begitu juga duduknya. Karena Allah swt tidak menjelaskan bagaimana kaifiyahnya. Berarti imam Malik bin Anas hanya melakukan tafwid pada kaifiyahnya saja tidak pada maknanya karena maknanya sudah jelas yaitu bersemayam atau duduk.

Bagaimana dengan Ahlussunnah wal Jama’ah ?

Dalam pandangan Ahlussunnah wal Jama’ah, bahwa mayoritas ulama’ salaf menggunakan pendekatan tafwid bil makna dan juga bil kaifiyah. Karena memang begitu fakta dalam perkataan ulama’ hadits.

Diantara ulama’ hadits yang menyampaikan hal tersebut adalah al Imam al Nawawi dalam kitabnya al Muhaddzab, ia berkata: “Ulama berbeda pendapat mengenai ayat-ayat dan hadits-hadits sifat apakah dijalankan berdasarkan takwil atau tidak ? Menurut ulama’ mutakallimin ditakwil dengan makna yang lebih layak. Sementara menurut ulama’ salaf tidak ditakwil, tetapi maknanya diserahkan kepada Allah swt[3]

Di samping itu, memang ada riwayat dari ulama’ salaf sendiri yang sharih bahwa dirinya menggunakan tafwid bil makna disamping juga tafwid bil kaifiyah. Di antaranya adalah imam Ahmad bin Hanbal. Ketika ditanya tentang Nuzulnya Allah dan apakah Allah dapat dilihat di hari kiamat nanti, Imam Ahmad bin Habal menjawab:

وَمَا أَشْبَهَ هَذِهِ الْأَحَادِيْثَ نُؤْمِنُ بِهَا وَنُصَدِّقُ بِهَا بِلَا كَيْفٍ وَلَا مَعْنًى وَلَا نَرُدُّ شَيْئًا مِنْهَا وَنَعْلَمُ أَنَّ مَا جَاءَ بِهِ الرَّسُوْلُ حَقٌّ وَلَا نَرُدُّ عَلَى رَسُوْلِ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا نَصِفُ اللهَ بِأَكْثَرَ مِمَّا وَصَفَ بِهِ نَفْسَهُ بِلَا حَدِّ وَلَا غَايَةٍ

Artinya: ““Hadits-hadits yang semisal hadits ini (hadits nuzul) kami beriman dengannya, dan kami meyakininya tanpa kaifiyah (cara dan bagaimana keadaannya) dan tanpa memberi makna, kami tidak menolak, dan kami meyakini apa yang datang dari Rasulullah saw adalah benar, kami tidak menolak terhadapnya, dan kami tidak mensifati Allah swt lebih dari apa yang Allah swt mensifatinya sendiri tanpa ada batas dan ujung”[4]

Pernyataan Imam Ahmad bin Hanbal ini juga dikutip oleh banyak ulama Salafi Wahabi, seperti Ibn Taimiyah dalam kitabnya Dar’u Ta’arudil ‘Aqli wannaqli, Muhammad bin Abdil Wahab dalam kitabnya Fi Aqaidil Islam dan ulama’-ulama’ Salafi Wahabi lainnya.

Terkait dengan ungkapan imam Malik bin Anas di atas yang diplesetkan pemahamannya oleh Salafi Wahabi, sebenarnya juga menunjukkan tafwid bil makna dan bil kaifiyah, sebab maksud perkataan imam Malik bin Anas tersebut “istiwa’ bukan hal yang tidak diketahui” artinya istiwa’nya Allah swt sudah maklum. karena Allah swt telah menyebutkannya berkali-kali dalam al Qur’an bahwa dirinya beristiwa terhadap ‘Arsy. Jadi maksud imam Malik bin Anas bukan arti istiwa’ yang sudah maklum, tapi istiwa’nya Allah swt yang maklum.

Jadi jelas bahwa aqidah Salafi Wahabi yang selalu menggembar gemborkan sebagai Manhaj Salaf tidak sama aqidahnya dengan ulama’ Salaf. Salah satunya adalah tentang pendekatan memahami ayat-ayat atau hadits-hadits mutasyabihat. Padahal pemahaman terhadap ayat dan hadits mutasyabihat dapat berpengaruh kepada kufur.

Wallahu a’lam


[1] Abdurrazak ‘Afifi, Fatawa Syaikh Abdurrazak ‘Afifi, Hal 104

[2] Al Husein bin Mas’ud al Baghawi, Syarh al Sunnah, Juz 1, Hal 171

[3] Syaraf al Nawawi, Majmu’ Syarh al Muhaddzab. Juz 1, Hal 25

[4] Ibn Qudamah al Maqdisi, Lum’ah al I’tiqad, Hal 3

Bagikan Artikel ini:

About M. Jamil Chansas

Dosen Qawaidul Fiqh di Ma'had Aly Nurul Qarnain Jember dan Aggota Aswaja Center Jember

Check Also

shalat jamaah perempuan

Posisi Yang Utama Bagi Perempuan Saat Menjadi Imam Shalat

Beberapa hari belakangan ini sempat viral di media sosial tentang video yang menampilkan seorang perempuan …

menghambat terkabulnya doa doa

Meminta Doa kepada Orang Shalih Hukumnya Haram? Ini Dalilnya !

Dalam salah satu ceramahnya, Yazid bin Abdil Qadir Jawas berkata tidak boleh meminta doa kepada …