Transmisi Islam yang dipelopori Walisangga merupakan perjuangan brilian yang diimplementasikan dengan cara sederhana, yaitu menunjukkan jalan dan alternatif baru yang tidak mengusik tradisi dan kebiasaan lokal, serta mudah ditangkap oleh orang awam dikarenakan pendekatan-pendekatannya konkrit dan realistis, tidak njelimet, dan menyatu dengan kehidupan masyarakat.
Diskursus Islam Nusantara menjadi sangat strategis di tengah perkembangan dunia saat ini. Karena, secara genealogis Islam Nusantara juga tidak terputus dalam jaringan pengetahuan dengan Islam di Timur Tengah (Hijaz), terutama pada masa Walisanga pada kisaran abad 16 dan 17.
Pemahaman, pengalaman dan metode dakwah ulama Nusantara sejauh ini telah memberikan kesan yang baik, yaitu Islam yang tampil dengan wajah sumringah (senyum, ramah) dan tidak pongah (sombong), namun Islam yang toleran, permai, dan damai. Maka dari itu, cara berislam penuh damai sebagaimana di Nusantara ini kembali terafirmasi sebagai hasil tafsir yang paling memadai untuk masa kini.
Memahami gagasan Islam Nusantara, secara sederhana adalah ajaran-ajaran Islam yang dikontekstualkan dan disesuaikan dengan prinsip-prinsip budaya dan akar tradisi yang ada di Nusantara. Islam yang dibawa dan digagas bukanlah Islam yang berdasarkan pada ajaran Islam yang berkembang di Jazirah Arab, tetapi Islam yang berdasarkan pada kearifan lokal (local wisdom) pada suatu daerah.
Oleh sebab itu, dapat dikatakan disini bahwa proses kontektualisasi ajaran-ajaran Islam dan budaya Nusantara merupakan suatu keniscayaan untuk proses penyebaran pemahaman Islam saat ini. Akulturasi ajaran Islam dan budaya Nusantara menjadi kekuatan dan titik kunci untuk suksesnya sebuah pemikiran dan gerakan Islam yang ramah, toleran dan damai untuk diperkenalkan pada masyarakat dunia saat ini.
Pada zaman Walisanga, perpaduan tradisi lokal dengan ajaran Islam mulai dikembangkan. Salah satu contohnya adalah tradisi sesajen yang dulu dianut oleh nenek moyang Indonesia dari ajaran Hindu-Buddha. Oleh para Walisanga, sesajen ditransformasikan menjadi tradisi selametan.
Apabila sesajen awalnya diniatkan mempersembahkan makanan kepada roh-roh gaib, namun dalam tradisi selametan, seperti makanan justru diberikan kepada seluruh umat Islam untuk kemudian diminta mendoakan pihak yang mengadakan selametan. Hal seperti ini hanya ditemukan di Indonesia, karena sejarah Indonesia yang sejak zaman dahulu sudah hidup dengan keragaman adat istiadat. Cara pendekatan budaya inilah yang dinamakan dengan Islam Nusantara.
Peran Walisanga
Walisanga adalah arsitek yang handal dalam pembumian Islam di Indonesia. Walisanga merupakan “agen-agen” unik Jawa yang mampu memadukan aspek-aspek spiritual dan sekuler dalam menyiarkan Islam. Posisi mereka dalam kehidupan sosio-kultural dan religius di Jawa begitu memikat hingga bisa dikatakan Islam tidak pernah menjadi the religion of Java, jika sufisme yang dikembangkan oleh Walisanga tidak mengakar dalam masyarakat.
Rujukan ciri-ciri itu menunjukkan bahwa ajaran Islam yang diperkenalkan Walisanga di Tanah Jawa hadir dengan penuh kedamaian, walaupun terkesan lamban namun meyakinkan. Berdasarkan fakta sejarah bahwa dengan cara menoleransi tradisi lokal serta memodifikasinya ke dalam ajaran Islam dan tetap bersandar pada prinsip-prinsip Islam, agama baru ini dipeluk oleh bangsawan-bangsawan serta mayoritas masyarakat Jawa di pesisir utara.
Transmisi Islam yang dipelopori Walisangga merupakan perjuangan brilian yang diimplementasikan dengan cara sederhana, yaitu menunjukkan jalan dan alternatif baru yang tidak mengusik tradisi dan kebiasaan lokal, serta mudah ditangkap oleh orang awam dikarenakan pendekatan-pendekatannya konkrit dan realistis, tidak njelimet, dan menyatu dengan kehidupan masyarakat. Model ini menunjukkan keunikan sufi Jawa yang mampu menyerap elemen-elemen budaya lokal dan asing, tetapi dalam waktu yang sama masih berdiri tegar di atas prinsip-prinsip Islam.
Demikian pula dikatakan bahwa proses pergumulan Islam dengan kebudayaan setempat yang paling intensif terlihat pada zaman Walisanga. Masa ini merupakan masa peralihan besar dari Hindu-Jawa yang mulai pudar menuju fajar zaman Islam. Keramahan terhadap tradisi dan budaya setempat itu diramu menjadi watak dasar budaya Islam pesantren.
Wajah seperti itulah yang manjadikan Islam begitu mudah diterima oleh berbagai etnis yang ada di Nusantara. Hal ini terjadi karena adanya kesesuaian antara agama baru (Islam) dan kepercayaan lama. Setidaknya, kehadiran Islam tidak mengusik kepercayaan lama, tetapi sebaliknya kepercayaan tersebut diapresiasi dan kemudian diintegrasikan ke dalam doktrin dan budaya Islam.
Begitulah karakteristik Islam di Indonesia. Yaitu memiliki akar sejarah Islam yang ramah, bukan pemarah.
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah