dicintai allah
cinta

Samnun al-Majnun: Segalanya Bisa Berubah Atas Nama Cinta

Cinta kepada Allah sumber dan muara akhir segalanya.


Orang-orang sekitarnya memanggilnya dengan nama Samnun al majnun (Si Gila Samnun). Dipanggil Si Gila, sebab ia tak seperti orang biasanya. Saat orang menyebut dan mendengar nama ‘Allah’ biasa-biasa saja.

Namun, tidak bagi samnun, saat nama Allah disebut dan didengar, seakan Samnun mabuk kepayang. Huruf-hurufnya mampu membuat Samnun terkesima. Dia tergila-gila kepada Allah. Dalam dunia sufistik, nama Samsun, adalah salah satu nama dari sederet nama ‘Para Pecinta Allah’ (muhibbin).

Lama membujang, akhirnya Samnun terpikat dengan gadis jelita shalihah. Di usianya yang cukup renta, Samnun menikahi gadis pujaannya. Dikaruniai seorang putri yang cantik rupawan, cinta Samnun pun terbagi dua, untuk Allah Allah dan Putrinya.

Suatu malam, ia bermimpi. Alam porak-poranda. Bumi dan seisinya, hancur lebur. Langit luluh lantak. Kiamat terjadi. Ya, kiamat terjadi. Di alam akhirat, semua manusia dikumpulkan berbaris rapi di bawah panji-panji para Nabiyullah dan Waliyullah.  Di belakang dua barisan ini, tampak satu panji yang berkibar tinggi, memancarkan sinar hingga menembus cakrawala. Panji itu bertuliskan “rombongan Para Pecinta Allah (Muhibbin) yang tulus ikhlash”.

Samnun melihat dirinya berada dalam barisan itu. Namun mendadak seorang Malaikat menyeret Samnun untuk keluar dari barisan itu.  Sambil meronta-ronta, Samnun berusaha melepaskan diri, sembari berkata “aku Pecinta Allah! aku Pecinta Allah!  jangan Kau  paksa aku keluar dari barisan para pecinta Allah! “ pekiknya.

“Memang benar kau Pecinta Allah, Namun semenjak kau dianugerahi seorang putri, cintamu telah terbagi.  Oleh karena itu, kami mencoret namamu dari daftar para pecinta Allah” kata Malaikat berusaha menjelaskan.

Samnun pun menangis sejadi-jadinya. Dalam tidurnya Samnun bermunajat kepada Allah “ wahai Tuhanku, jika putri hamba menjadi penyebab dan perusak cintaku padaMu, hingga aku tak mendapatkan kasihMu, maka aku rela kehilangan putriku”.

Tiba-tiba terdengar suara hiruk pikuk bercampur jerit tangisan. Samnun terperanjat bangun dari tidurnya. Kenapa kalian menangis dan menjerit-jerit? Tanya Samnun. Putrimu terjatuh dari loteng hingga menemui ajalnya. Jawab mereka. Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan penghalang dan perusak cintaku pada Allah. Samnun membathin. (Dzurrah al-Nashihin, Utsman Ibn Hasan al-KHubawi, 52-53).

Berawal dari Cinta

Kisah Samnun adalah sebuah ibrah dari pendakian cinta hamba kepada Sang Khalik. Tidak ada kemewahan dan kebahagiaan dunia yang bisa ditukar dengan cinta kepada Allah. Semua cinta pada makhluk pada akhirnya bermuara pada cinta kepada Allah.

Banyak kalangan awam menganggap sepele persoalan cinta. Tidak begitu bagi seorang sufi (sebutan ahli tasawwuf). Dalam wacana sufistik, cinta merupakan salah satu bentuk kesadaran teologis yang mampu melahirkan amalan positif. Cinta juga bisa menjadi motivasi religius yang mampu membebaskan kedurhakaan. Maka nyaris tidak ada jarak yang membatasi antara para pecinta dan yang dicintai, dekat, sedekat urat nadi.

Diam-diam, banyak di antara kita berada dalam kegelisahan, bahkan mungkin tegang, menghadapi petaka petaka zaman, yang belum sangat jelas sosoknya, namun jelas ancamannya. Termasuk corona yang mewacana hingga ke tingkat paling terpencil. Tetapi tindakan apapun yang diambil atas nama cinta, akan selalu membawa hasil yang maksimal.

Kita perlu kawan, bukan sekedar  yang tahu nama dan alamat kita. Melainkan yang juga diajak menanggung berbagai beban  beban psikis, ekonomi, dan keruhanian.  Gampangnya, kawan yang berkawan atas nama cinta.

Ini mungkin mekanisme paling primordial dalam religiositas manusia. Karena cinta mampu menemukan hal yang baik bahkan pada hal yang buruk sekalipun. Dan tiada teman terbaik dan kekasih terbaik yang bisa dicintai kecuali Allah.

Tak heran bila al-Imam al-Syadzili mencoba menggugat Allah dalam sebuah munajat atas nama cinta. Doa beliau:

“Allahumma j’al sayyiaatina sayyiaati man ahbabta wa la taj’al hasanaatina hasanaati man abghadhta”.

Ya Allah, jadikan keburukan (dosa dosa ) kami, seperti keburukan (dosa dosa)nya orang yang Engkau cintai. Jangan Engkau jadikan kebaikan kebaikan (amal amal shalih) kami seperti kebaikan (amal amal shalih) orang orang yang Engkau murkai.

Ibnu Athaillah mengatakan, kebencian akan selalu mempersoalkan perbuatan walaupun itu baik, sementara cinta akan senantiasa memaklumi bahkan memaafkan amal amal buruk (dosa). (Syarh al-Hikan al-‘Athaiyyah, 1/58)

Bagikan Artikel ini:

About Abdul Walid

Alumni Ma’had Aly Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo Situbondo

Check Also

hewan yang haram

Fikih Hewan (1): Ciri Hewan yang Haram Dimakan

Soal halal-haram begitu sentral dan krusial dalam pandangan kaum muslimin. Halal-haram merupakan batas antara yang …

tradisi manaqib

Tradisi Membaca Manaqib, Adakah Anjurannya ?

Salah satu amaliyah Nahdhiyyah yang gencar dibid’ahkan, bahkan disyirikkan adalah manaqiban. Tak sekedar memiliki aspek …