tafsir surat al fatihah
tafsir surat al fatihah

Tafsir Surah Al-Fatihah Ayat 2-4: Makna Syukur kepada Penguasa Segalanya

Pada bagian ini akan dijelaskan tafsir surah Al-Fatihah ayat 2-4. Tiga ayat ini merupakan rangkaian indah yang memuat pesan sangat dalam tentang makna syukur. Dibuka tentang ekspresi syukur terhadap penguasa alam semesta, yang pengasih, penyayang dan penguasa hari pembalasan.

Segala Puji untuk Penguasa Alam Semesta

Allah Swt. berfirman:

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

“Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.” [Q.S. al-Fātiẖah:2]

Ayat diatas sudah tidak asing di telinga kita. Ketika selesai mengerjakan sesuatu, kita mengucapkan kalimat ‘alẖamdulillāh’. Lantas, apakah kita sudah menghayati makna kalimat ‘alẖamdulillāh’ itu ?.

Dalam tafsir al-Mishbāẖ, kata al-ẖamd terdiri dari dua huruf alif dan lām (baca Al) bersama dengan ẖamd. Dua huruf alif dan lām yang menghiasi kata ẖamd, oleh para pakar bahasa dinamai al-istighrāq dalam arti ‘mencakup segala sesuatu’. Itu sebabnya al-ẖamdu lillāh sering kali diterjemahkan dengan segala puji bagi Allah.

Kalangan ulama sempat berbeda pendapat makna syukur dari kalimat al-ẖamdu dan asy-syukru (antara puji dan syukur). Ibnu Jarir mengatakan, adakalanya diucapkan “sesungguhnya ucapan seseorang yang mengatakan alẖamdulillāh merupakan pujian yang ditujukan kepada-Nya dengan menyebut asma-Nya yang terbaik dan sifat-Nya Yang Maha Tinggi”. Sedangkan ucapan seseorang “segala syukur adalah milik Allah” merupakan pujian kepada-Nya atas nikmat dan limpahan rahmat-Nya.

Ja’far as-Shādiq dan Ibnu Atha’ mengatakan puji dan syukur adalah sama pengertiannya, hal ini dinukil oleh As-Sulami. Ibnu Abbas juga mengatakan bahwa ucapan “segala puji bagi Allah” adalah kalimat yang diucapkan oleh orang yang bersyukur. Oleh karena itulah menurut Ibnu Jarir masih perlu dipertimbangkan.

Sifat Ar-Raẖmān Dan Ar-Raẖīm

            Allah Swt. berfirman:

الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ

Maha Pengasih lagi Maha Penyayang” [Q.S. al-Fātiẖah: 3]

Pada tulisan terdahulu, kita sempat membedah ayat ‘bismillāhirraẖmānirraẖīm’. Sifat ar-raẖmān diberikan oleh Allah kepada seluruh makhluk di dunia. Namun sifat ar-raẖīm (khusus yang taat kepada Allah) untuk di alam akhirat saja. Karena ini semua adalah rahmat Allah. Ini berdasarkan hadits Nabi Saw. yang berbunyi:

وَ عَنْ أَبِي هُـرَيْرَةَ رَضِيَ الله عَنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ:  لَوْ يَعْلَمُ الْمُؤْمِنُ مَا عِنْدَ اللهِ مِنَ الْعُقُوبَةِ مَا طَمَعَ فِي جَنَّتِهِ أَحَدٌ، وَلَوْ يَعْلَمُ الْكَافِرُ مَا عِنْدَ اللهِ مِنَ الرَّحْمَةِ، مَا قَنَطَ مِنْ رَحْمَتِهِ أَحَدٌ

Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “Seandainya orang mukmin mengetahui apa yang ada di sisi Allah berupa siksaan, niscaya tiada seorang pun yang tamak menginginkan surga-Nya. Seandainya orang kafir mengetahui apa yang ada di sisi Allah berupa rahmat, niscaya tiada seorangpun yang berputus asa dari rahmat-Nya”. [H.R. Muslim, No. 2755]

Diharapkan ketika seseorang membaca ar-raẖmān atau ar-raẖīm, jiwanya dipenuhi oleh rahmat dan kasih sayang Allah.  Menurut Al-Ghazali dalam al-Maqshad al-A’lā, ada buah yang dihasilkan oleh raẖmān pada aktivitas seseorang, bahwa “Ia akan mencurahkan rahmat  dan kasih sayang kepada hamba-hamba Allah yang lengah, dan ini mengantar yang bersangkutan untuk mengalihkan mereka dari jalan kelengahan menuju Allah dengan memberinya nasihat secara lemah lembut”.

Sedangkan buah dari  ar-raẖīm, “Tidak membiarkan seorang yang butuh kecuali berupaya memenuhi kebutuhannya, tidak juga membiarkan seorang fakir di sekelilingnya atau di negerinya kecuali dia berusaha untuk membantu dan menampik kefakirannya dengan harta, kedudukan, atau berusaha melalui orang ketiga sehingga terpenuhi kebutuhannya. Kalau semua itu tidak berhasil, maka hendaklah ia membantunya dengan doa serta menampakkan rasa kesedihan dan kepedihan atas penderitaannya. (itu semua) sebagai tanda kasih dan sayang dan dengan demikian ia bagaikan serupa dengannya dalam kesulitan dan kebutuhan.”

Penguasa Hari Pembalasan

Al-Biqāi menghubungkan pemelihara dan pendidik yang Raẖmān dan Raẖīm boleh jadi tidak memiliki (sesuatu). Sedang sifat ketuhanan tidak bisa dilepaskan dari kepemilikan dan kekuasaan. Inilah yang dikandung oleh ayat keempat surah al-Fātiẖah ini yang berbunyi:

مَالِكِ يَوْمِ ٱلدِّينِ

“Yang Menguasai hari pembalasan” [Q.S. al-Fātiẖah: 4]

Sebagian ulama qira’ah ada yang membaca maliki, ada juga yang membaca panjang māliki. Kedua-duanya shaẖiẖ lagi mutawatir di kalangan imam bacaan tujuh (qira’at as-sab’ah).

Mengutip pendapat Quraish Shihab, ada dua makna yang dikandung pada ayat ini. Pertama, Allah yang menentukan dan Dia pula satu-satunya yang mengetahui kapan tibanya hari tersebut (kiamat atau pembalasan), sebagaimana firman-Nya pada Alquran surah al-A’rāf ayat 187.

Kedua, Allah menguasai segala sesuatu yang terjadi dan apapun yang terdapat ketika itu. Kekuasaan-Nya sedemikian besar, sampai berbicara pun harus dengan seizin-Nya.

Coba kita renungkan, susunan surah al-Fātiẖah dari ayat pertama sampai ayat keempat. Dimulai dengan bismillāhirraẖmānirrāẖīm (dikenalkan dengan Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang), alhamdulillāh rabb al-ā’lamīn (Allah menguasai alam semesta), ar-raẖmān ar-raẖīm (Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang), māliki yaum ad-dīn (Allah yang merajai hari kiamat atau pembalasan).

Dari sini kita dikenalkan tentang makna syukur kepada siapa yang pantas kita sembah dan pantas puji.

Wāllahu a’lam bi as-shawāb.

Bagikan Artikel ini:

About Mubarok ibn al-Bashari

Mahasiswa Pasca Sarjana UNUSIA

Check Also

palestina israel

Tafsir Surah al-Isra’ Ayat 4-5: Kezaliman Bani Israel dan Janji Allah Bagi Palestina

Peristiwa yang sangat tidak manusiawi terjadi kepada saudara-saudara kita di Palestina. Di saat melaksanakan kekhusyukan …

al-quran

Jika Salah Tafsir Surah al-Fath Ayat 29: Keraslah Terhadap Sifat Kafir

Surah al-Fath turun saat peristiwa Perjanjian Hudaibiyah. Perjanjian Hudaibiyah merupakan peristiwa yang begitu fenomenal. Dimana …