Sleman – Hanya dalam sepekan dua aksi terorisme terjadi di Indonesia. Pertama bom bunuh diri di depan Gereja Katedral Makassar, Minggu (28/3/2021) dan penyerangan Mabes Polri, Rabu (31/3/2021). Ironisnya di tengah aksi teror itu, masih ada orang yang menyebut aksi teror itu rekayasa pemerintah atau bahkan setingan semata untuk pengalihan isu.
Koordinator Nasional Jaringan Gus Durian, Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid atau disapa Alissa Wahid mengatakan bahwa narasi yang mengatakan kejadian teror adalah rekayasa, sebetulnya adalah bagian dari misinformasi atau penyesatan informasi yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu. Apalagi mjika misinformasi itu dilakukan dengan memuat potongan video dari Gus Dur.
”Yang disampaikan oleh Gus Dur (alm. KH Abdurrahman Wahid) itu konteksnya sangat berbeda dengan kejadian hari ini. Karena pernyataan itu dibuat pada saat rezim lalu yaitu orde baru, dimana kekuatan angkatan bersenjata saat itu memang cukup besar dan banyak catatan ‘rekayasa’ pada saat itu,” ujar Alissa di Sleman, Jumat (2/4/2021).
Menurutnya, video Gus Dur yang dipotong itu sebetulnya berbicara dalam konteks yang sama sekali berbeda dengan aksi terorisme yang terjadi pada pekan ini, dan Alissa menyebut bahwa video aslinya itu sebenarnya cukup panjang. Ia mempertanyakan kenapa yang diambil pas yang bagian itu saja.
”Panjang lho itu videonya, kenapa yang diambil hanya yang sepotong itu saja. Jadi menurut saya itu misinformasi yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu,” tutur Alissa.
Oleh karena itu, jika terkait narasi narasi rekayasa dan lain-lain, Alissa menyebut bahwa apapun yang dilakukan pemerintah dalam konteks ini (penanggulangan terorisme) pasti akan dituduh sebagai Islamophobia, kemudian ada rekayasa, mau menyudutkan kelompok tertentu dan lainnya.
”Karena masih denial (penyangkalan), masih tidak mau mengakui bahwa memang ada kelompok-kelompok ini yang kita seharusnya juga menolak kehadirannya,” kata Alissa.
Putri Presiden ke-4 RI, alm KH, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) itu juga mengutuk keras aksi teror yang belakangan terjadi di Indonesia. Ia setuju bahwa ada yang menyebut pandangan terorisme adalah bagian dari Islam itu juga harus ditolak. Alissa menyebut bahwa Islam tidak direpresentasikan oleh si teroris ini. Melainkan terorisme muncul karena ideologi kekerasan yang dia bawa dan terorisme itu tidak hanya ada di satu agama saja.
”Tetapi kita juga tidak bisa mengingkari bahwa teroris di Makassar tidak beragama Islam. Karena si pelaku ini mengakui dirinya Islam. Tetapi tafsir yang dia lakukan pada ajaran Islam itulah yang salah,” kata peraih Magister Psikologi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta
Oleh sebab itu, Alissa berpendapat bahwa masyarakat harus bisa membedakan antara Islam sebagai sebuah agama, dengan terorisme yang menggunakan tafsir yang salah atas nama Islam. Karena orang tidak ujug-ujug langsung meledakkan dirinya, melainkan ada proses inkubasinya. Menginternalisasi nilai-nilai baru, terutama yang eksklusif dan ekstrem.
Ini tampak dalam surat wasiat yang ditinggalkan ZA, perempuan yang berusaha melakukan tindak teror di Mabes Polri pada Rabu 31 Maret lalu. ZA meminta keluarganya untuk menjauhi musuh-musuh agama dan hidup secara eksklusif ‘dalam jalan Tuhan’.
ZA menjadi perempuan ke sekian yang terlibat sebagai pelaku aksi terorisme di garis depan. Fenomena ini semakin menguat beberapa tahun terakhir, mengikuti strategi kelompok-kelompok teror yang mengintensifkan rekrutmen dan kaderisasi perempuan.
”Bahwa diluar agama saya, keyakinan saya dan golongan saya itu adalah musuh. Lalu nanti naik ke penerimaan terhadap tindakan kekerasan, bahwa kekerasan itu boleh. Dan terakhir bahwa tindakan kekerasannya dia ini adalah untuk kepentingan agama. Pemahaman agama seperti itu sungguh sangat keliru sekali,” terangnya.
Ia proses orang menjadi memiliki keyakinan demikian terjadi secara bertahap. Diakui orang yang berada di lingkungan organisasi yang menghalalkan kekerasan itu resiko dan kemungkinan dia untuk berkembang kesana memang besar. Oleh sebab itu Alissa menyampaikan bahwa harus ada pencegahan dan juga penindakan.
”Pencegahannya itu ya diruang-ruang ini ketika orangnya belum jadi bomber, ketika dia mulai membuat tembok besar antara dia dengan lingkungan sekitar dan menganggap yang lain musuh. Tentunya semua pihak harus peka jika melihat gejala seperti itu di sekitarnya,” tegasnya.
Alissa mencontohkan kasus orang berjualan pada bulan puasa yang kemudian di sweeping, yang mana sebetulnya itu termasuk tindakan kekerasan. Oleh karena itu, Alissa menyebut bahwa orang atau anggota suatu kelompok organisasi tertentu yang memang melakukan banyak tindak kekerasan tidak semuanya akan menjadi teroris. Tetapi orang yang teroris itu pasti dia juga menjadi bagian dari kelompok-kelompok yang menganjurkan kekerasan.
”Maka untuk para generasi milenial harus berwawasan terbuka, kalau ada ajaran agama atau pemuka agama yang mengajarkan kita untuk membenci sesama manusia apalagi atas dasar golongan dan agamanya segeralah jauhi walaupun itu hanya kecil saja,” ujarnya
Alissa agar berhati-hati saat mendapat ajakan untuk membeci kelompok yang berbeda. Hal-hal seperti itu harus dijauhi walaupun itu atas nama agama.
“Masih banyak pemuka agama yang mengajarkan kebaikan dan kasih sayang, karena itu pilih mereka saja, jangan memilih pesan-pesan yang mengajarkan untuk membenci,” tutupnya.
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah