sedih dan bahagia
sedih dan bahagia

Antara Kebahagiaan dan Kesengsaraan; Sebuah Polemik Memahami Kemahakuasaan Tuhan

Sebagaimana kita ketahui dalam ajaran Islam, Tuhan adalah pencipta alam semesta yang maha pengasih dan penyayang. Menciptakan alam beserta isinya, bersamaan dengan rezeki dan waktu kematian yang telah ditentukan. Segala sesuatu yang diciptakan tidak luput dari kuasa dan kehendaknya, sebagaimana yang tercantum pada QS. Ali Imran 59; Al-Baqarah 117; An Nahl 40; Al-Mukmin 68; Ya-Sin 82; dan Ghafir 68. Sifat kasih dan sayang tuhan tidak hanya kepada umat Manusia, kepada semut pun tidak luput dari rezeki yang telah diaturnya.

Tetapi, apabila Tuhan maha penyayang, mengapa terjadi bencana, penderitaan dan kesengsaraan? Pertanyaan semacam ini merupakan problem kuno dalam filsafat dan teologi. Filsuf pencerahan prancis, Pierre Bayle, adalah salah satu yang mempertanyakan kebaikan dan keadilan tuhan. Jika Tuhan mahakuasa, mengapa ada penderitaan di dunia ini, dan jika mahabaik, mengapa ada kejahatan di dunia ini?  Bila ia mahakuasa, sejatinya dunia ini sempurna tanpa derita. Maka untuk menjawab pertanyaan tersebut, Gottfried Leibniz, filsuf Jerman pencetus istilah teodisi, menulis buku berjudul Essais sur la Théodicée Bonte de Dieu, la Liberté de l’homme et l’origine du mal (Teodisi: Esai tentang Kebaikan Tuhan, Kebebasan Manusia dan asal usul kejahatan, 1710)

Pada realitas kehidupan, manusia mengalami masing masing di antara dua hal: kebahagiaan dan kesengsaraan; kesenangan dan kesedihan; serta kebaikan dan keburukan. Orang kaya tidak selamanya mengalami kebahagiaan. Ia juga terhimpit oleh kesengsaraan yang datang menghampiri dalam hidupnya. Begitupun orang melarat, tidak selamanya ia berada pada posisi susah, juga terdapat kondisi kondisi tertentu yang membuatnya bahagia. Tetapi kita selaku manusia biasa, lebih melihat kekayaan adalah kebahagiaan secara keseluruhan dan kemiskinan sebagai sebuah kesengsaraan bahkan kehinaan.

Problem kejahatan atau kesengsaraan ini muncul berkaitan dengan pembahasan tentang keadilan Tuhan. Filsuf Muslim pada abad pertengahan tidak menyangsikan wujud tuhan serta kaitannya dengan bencana yang terjadi, sebagaimana yang dilakukan para Filsuf Barat. Salah satu kemiripan persoalan yang terjadi di dunia Islam dengan persoalan di Barat adalah bagaimana memperdamaikan antara kesempurnaan tuhan dengan ketidaksempurnaan yang ada di muka bumi. Jika Tuhan Maha Sempurna dan dunia ini hasil ciptaan-Nya, mengapa muncul ketidaksempurnaan di muka bumi?. Dari pertanyaan ini muncul perdebatan antara antara al Ghazali dengan pemikir muslim pengikut neo-Platonisme seperti Ibnu Arabi dan Ibnu Sina.

Al Ghazali menolak pemikiran Ibnu Sina yang berpandangan bahwa Tuhan adalah pencipta yang wajib ada, dan selain diri-Nya merupakan emanasi (pancaran) dari Tuhan. Al-Ghazali mengatakan bahwa hal itu tidak mungkin. Apabila sesuatu apapun berasal dari emanasi tuhan maka pemikiran tersebut menentang kehendak bebas Tuhan. Jika Tuhan tidak memiliki sifat tersebut (kehendak bebas) dan sifat sifat lainnya, lantas Tuhan tidak memiliki pilihan bebas untuk menentukan dunia seperti apa yang sejatinya ingin diciptakan. Lalu Al Ghazali menambahkan bahwa Tuhan tidak harus tunduk pada ‘kondisi kebaikan’.

Pemikiran al Ghazali, sebagaimana mazhab Asy’ariyah, tidak mengakui keadilan tuhan sebagai masalah keyakinan, sehingga mereka menolak keadilan itu sebagai suatu tolok ukur perbuatan Tuhan. Berbeda dengan Asy’ariyah, mazhab Mu’tazilah (rasionalis) dan Syi’ah menjadikan keadilan Tuhan sebagai prinsip pemikiran. Mereka mempercayai bahwa keadilan ini merupakan dasar perbuatan Tuhan dalam mengatur dan menegakkan hukum hukum alam semesta. Artinya, adil bagi Tuhan bahwa semua perbuatannya bersifat baik; Tuhan tidak akan pernah berbuat jahat atau buruk, dan tidak mengingkari terhadap kewajiban yang harus dikerjakan.

Melihat akar persoalan yang terjadi di atas, sejatinya, menurut Muthahari dalam karyanya yang berjudul al Adl al Ilahiyah, kesengsaraan yang merupakan buah dari term ‘kejahatan’ berkisar kepada tiga hal: pertama, apakah hakikat kejahatan itu? Apakah yang disebut kebaikan dan kejahatan tersebut merupakan problem eksistensial atau non-eksitensial?. Kedua, apakah antara kebaikan dan kejahatan dapat dipilah atau tidak? Bila tidak, segala kejahatan yang terjadi di alam semesta disebut apa, semuanya baik atau semuanya jahat?. Jka dapat dipilah bagaimana letak atau posisi di antara keduanya? Kebaikan lebih kuat dibandingkan kejahatan, atau kejahatan lebih kuat dari pada kebaikan, atau keduanya seimbang? Ketiga, apakah kejahatan benar benar murni kejahatan atau masih mengandung unsur kebaikan? Mungkinkan suatu kejahatan sejatinya merupakan pengantar atau sebab bagi kebaikan tertentu? Atau pada setiap kejahatan mengandung suatu unsur kebaikan dan bahwa setiap kejahatan menjadi sebab bagi suatu kebaikan?

Dari ketiga persoalan di atas, filsuf memandang kebaikan dan kejahatan secara dualistik, yaitu mempertentangkan di antara keduanya. Sedangkan sebagian filsuf yang lain mencoba merekonstruksi, yaitu membangun suatu pemahaman yang lebih memandang kepada sesuatu yang ada atau wujud (being, exsistence) sebagai suatu sistem yang baik dan indah.

Walhasil, polemik semacam ini memang sudah menjadi pembahasan para filosof, teolog, pemikir, dan ulama sejak dahuhu. Kalau menurut Ulil Abshar Abdallah, pertanyaan semacam ini merupakan pertanyaan perennial, abadi. Tidak akan tuntas sampai kapanpun. Segmen ini merupakan bagian dari “big question” pertanyaan besar yang akan selalu hadir pada setiap dimensi ruang dan waktu. Sebagai Ghazalian, Ulil mengutip pandangan Al Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin: laisa fil imkan ab’adu mimma kana—tak ada dunia yang lebih sempurna dari pada dunia yang sudah ada sekarang ini. Memang benar ada kejahatan, penderitaan, penyakit dan kesengsaraan di dunia, dari dulu sampai kapan pun. Walakin apa yang ada saat ini adalah bentuk dunia paling mungkin dan sempurna. Wallahu A’lam.

Sumber Rujukan

Abdalla, Ulil Abshar. (2020). Jika Tuhan Maha-Kuasa, Lantas Kenapa Manusia Menderita?. Diakses pada 26 Januari 2023. dari https://mojok.co/esai/kolom/jika-tuhan-maha-kuasa-lantas-kenapa-manusia-menderita/

Al Ghazali, Abu Hamid. Ihya’ Ulumiddin Juz 4. Al Hidayah: Surabaya.

Maftukhin. (2018). Pemikiran Teodisi Said Nursi tentang Bencana Alam: Perpaduan Pemikiran al Ghazali dan al Rumi. Tsaqafah Jurnal Pemikiran Islam, 14 (2). 241-262

Muthahari, Murtadla. (1997). Al Adl al Ilahi.  Al Dar al Islamiyah: Beirut Libanon.

Zubaidi, Sujiat. (2011) Antara Teodisi dan Monoteisme: Memaknai Esensi Keadilan Ilahi, Jurnal Tsaqafah Islamic Theology 7 (2). 247-272

 

Bagikan Artikel ini:

About Ahmad Rofiq

Check Also

jangan takut berpuasa

Rapor Puasa: Mengevaluasi Tindakan Kita terhadap Makanan

Ramadan merupakan bulan yang wajib bagi umat Muslim untuk melaksanakan puasa selama satu bulan penuh. …

pola makan

Posting Makanan atau Minuman di Siang Hari Bulan Puasa, Bagaimana Hukumnya?

Puasa Ramadan merupakan salah satu rukun Islam. Perbuatan menahan diri dari makan, minum dan segala …