Mendirikan sebuah Negara Islam merupakan cita-cita yang rentan menuai perdebatan pro-kontra di kalangan Ulama Islam. Berawal dari tumbangnya kekhalifahan utsmaniyah pada 1924, lalu munculah beragam gerakan yang mendasarkan ide dan gagasan untuk mendirikan khilafah islamiyah.
Mulai dari munculnya gerakan Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, DI/TII, Al-Qaeda, hingga puncaknya adalah ISIS. Semua berebut klaim sebagai mujahid islam, tentara pejuang tegaknya khilafah Islamiyah. Menariknya, tak satupun dari mereka saling mendukung. Bahkan yang ada, mereka saling menolak dan menentang satu sama lain.
Inilah yang menjadi problem internal umat Islam, mustahil Negara Islam atau Khilafah akan terwujud. Jika sesama kelompok yang mengatasnamakan pejuang khilafah, saling berebut klaim dan memerangi satu sama lain. Tak hanya itu, kepada umat islam yang lain pun, mereka melakukan serangan-serangan teror dan paksaan supaya memberikan dukungan terhadap gerakan dan ideologi yang diperjuangkannya. Belum lagi, tidak satupun dari mereka memiliki gambaran kiblat Negara Islam sebagaimana yang diperjuangkan selama ini secara pakem.
Kiai Ahmad Sarwat, dalam buku terbarunya yang diunggah di laman rumah fiqh berjudul “Negara Islam, Dilemma dan Pro Kontra” menyebutkan, sejak tahun 1924 ide dan gagasan mendirikan negara Islam sudah ada, tetapi jatuh bangun silih berganti, tidak saling mendukung bahkan umumnya tidak mendapatkan tanggapan positif dari masyarakat dunia Islam. Setidaknya jumlah umat Islam di dunia hari ini ada 1,5 hingga 1,6 milyar. Tetapi yang menyatakan bersedia untuk ikut gerakan mendirikan negara Islam nampaknya tidak terlalu signifikan.
Pro dan Kontra Negara Islam
Dari sekian milyar jumlah masyarakat dunia yang beragama Islam, terpecah menjadi 2 kubu yang saling bertentangan terkait pandangan mereka soal Negara Islam. Kembali mengutip tulisan Kiai Ahmad Sarwat, belum ada bentuk Negara Islam yang baku dan disepakati para Ulama. Sehingga pembahasan ini masih terus menjadi ajang perdebatan di kalangan internal umat Islam.
1. Barisan Pro
Pertama, mereka beranggapan bahwa mendirikan negara Islam merupakan perintah Al-Qur’an dan Hadits. Mereka menilai, kendati perintah tersebut tidak tertulis secara detil di dalam nash Al-Qur’an maupun Hadis, namun perintah untuk mendirikan Negara Islam adalah wajib. Sebagaimana tidak adanya perintah untuk mendirikan bangunan-bangunan sekolah dan Universitas, namun bukan berarti tidak perlu medirikan keduanya.
Salah satu dalil yang digunakan oleh kelompok yang pro dalam hal ini, adalah bunyi Al-Qur’an Surah An-Nisa ayat 65:
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”
Berdasarkan dalil ini, menurut mereka, akan sangat mustahil umat Islam bisa melaksanakan kewajibannya dalam berhukum kepada pemerintah Islam tanpa menggunakan sistem negara Islam. Sehingga, mereka yakin bahwa mendirikan negara islam juga merupakan kewajiban.
Kedua, keberadaan umat agama lain menurut mereka tidak ada masalah. Sebab, negara Islam yang diperjuangkan bukanlah negara teokrasi, dimana satu agama memegang kekuasaan, lantas menindas pemeluk agama lain dengan mengatasnamakan negara dan kekuasaan.
Ketiga, fakta sejarah. Mereka berpendapat bahwa negara islam bukanlah ilusi sejarah, melainkan sebuah fakta sejarah. Argumen ini didasarkan pada kejadian dimana Rasulullah SAW pertama hijrah ke Madinah dan mendirikan negara Islam yang berlangsung selama 10 tahun hingga beliau meninggal dunia. Kelompok ini mengatakan, mereka yang anti dengan negara islam itulah yang justru sedang terjebak ilusi sejarah.
Selain itu, ada juga argumen atas nama kebutuhan syariah. Dimana dalam Islam, diwajibkan atas hukuman-hukuman syariah seperti Qisas, potong tangan, rajam, beserta yang lain. Serta ada beberapa kewajiban lain bagi umat Islam seperti menunaikan zakat, shalat, puasa, haji, dan lain sebagainya yang mustahil bisa ditegakan tanpa adanya negara Islam.
2. Barisan Kontra
Berkebalikan dengan argumen kelompok yang pro terhadap negara Islam, kelompok yang kontra beranggapan bahwa tidak ada nash yang mewajibkan untuk mendirikan negara islam. Bahkan, kata ‘daulah’ yang berarti negara dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah yang memerintahkan umat Islam untuk mendirikan sebuah negara pun tidak ditemukan.
Kedua, terkait keberadaan agama lain, kelompok yang kontra beranggapan bahwa dengan mendirikan negara Islam, berarti tidak menghargai keberadaan agama-agama lain. Terlebih, Indonesia bukanlah negara agama, melainkan negara Pancasila dengan beragam agama dan penganut kepercayaan di dalamnya.
Selain itu, kelompok yang kontra juga beranggapan bahwa Madinah bukanlah negara Islam, melainkan negara yang mendasarkan pada pluralisme dan keberagaman yang merupakan representasi dari Piagam Madinah. Kegagalan negara-negara di dunia dalam mendirikan negara Islam juga menjadi salah satu argumen penguat penolakan atas berdirinya negara islam oleh kelompok ini.
Adakah Negara Islam hari ini?
Jika negara Islam yang dimaksud adalah negara resmi yang menggunakan nama Islam seperti Republik Islam Pakistan, Afghanistan, Brunei Darussalam dan Iran, mereka memang menggunakan nama-nama berbau Islam untuk nama Negara mereka. Namun, rata-rata tidak berhasil menerapkan syariat Islam sebagai dasar dalam bernegara.
Atau mungkin yang dimaksud adalah negara yang memberlakukan syariat Islam seperti di Arab Saudi dan Malaysia? Mereka memang mengeklaim negaranya memberlakukan syariat Islam sebagai hukum dalam bernegara. Namun, bukan berarti tidak ada hukum selain hukum syariat. Seperti di Malaysia, mereka juga memberlakukan hukum Inggris dalam beberapa situasi. Di Arab, menegakan hukum syariat tidak membuat mereka mampu berbuat adil.
Atau mungkin juga negara berasesori Islam seperti Somalia, Libya dan Indonesia. Meskipun masing-masing dari negara ini memiliki lagu kebangsaan, jargon, ataupun penduduk dengan mayoritas Islam terbesar, namun bukan berarti mereka adalah negara Islam.
Seperti Indonesia, meski sebagian besar penduduknya beragama Islam, namun negara ini secara tegas menyatakan sebagai negara demokrasi Pancasila, bukan negara Islam. Kendati dalam sejarah, kelompok Islam pernah beradu dengan kelompok nasionalis dalam merumuskan dasar negara dalam sidang BPUPKI. Namun dalam pidatonya, Sukarno menyatakan secara tegas bahwa Indonesia bukanlah negara Islam. Hal ini dibuktikan dengan pernyataan Bung Karno yang diucapkan saat memberi materi pada kursus Pancasila tahun 1958 di Jakarta:
“… Kita langsung terjun di dalam fase negara nasional ini. Maka oleh karena itu di dalam perdebatan saya dengan beberapa pihak, saya berkata: ‘Republik Indonesia bukan negara agama, tetapi adalah negara nasional, di dalam arti meliputi seluruh badannya natie Indonesia’.
Akhirnya, perdebatan rumit ini membawa kita kepada suatu kesimpulan. Bahwasanya, memang ada beragam pendapat yang meneguhkan narasi pro maupun kontra. Keduanya saling berpegang erat kepada argumennya masing-masing. Sehingga, belum ada kesepakatan yang pakem terkait bentuk negara Islam hingga saat ini. Terlebih, kondisi umat Islam saat ini yang terpecah menjadi 73 golongan membuat negara Islam itu sendiri cenderung sulit untuk direalisasikan.
Adapun kelompok seperti ISIS yang mengeklaim berhasil mendirikan negara islam di Irak dan Suriah, hanyalah negara ilusi belaka yang justru digunakan untuk kedok menghancurkan eksistensi Islam yang Rahmatan Lil Alamin secara terang-terangan.
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah