Sekali lagi dunia dakwah Islam di Nusantara dicemari oleh pola nalar keilmuan yang tak ilmiah. Salah seorang yang nekad “ngustad” di media sosial mengeluarkan statemen yang justeru membuktikan dirinya sangat lemah dalam pengetahuan agama.
Tak cukup membaca, minim mengkaji dan kurang tuntas memahami pendapat ulama favoritnya sendiri. Tersebutlah Evie Effendi, pendakwah amatiran yang mengaku belajar agama secara otodidak dinilai materi dakwahnya dinilai sangat tidak ilmiah oleh salah seorang kiai NU, Ma’ruf Khozin. Evie Effendi juga pernah mengalami kasus kontroversi karena memberikan ceramah tentang peringatan maulid memperingati masa sesatnya Nabi.
Tampaknya banyak pendakwah dari lingkungan di luar pesantren yang harus balik lagi ke titik nol. Artinya, harus belajar lagi supaya generasi berikutnya tidak ditulari hal yang sama. Dalam hal ini, paling tidak harus memahami konsep standar syarat yang harus dipenuhi oleh para penuntut ilmu. Sebenarnya, ada kitab kecil tapi muatannya padat dan kaya isi yang membicarakan syarat-syarat bagi penuntut ilmu agama, yaitu kitab Ta’lim Al Muta’allim.
Syekh al Zarnuji pengarang kitab Ta’lim al Muta’allim menerangkan, para penuntut ilmu harus memiliki bekal atau memenuhi syarat tertentu supaya sukses dan memiliki ilmu pengetahuan agama Islam yang cukup. Sebagai penentu pertama adalah niat supaya tidak salah arah. Niat mencari ridho Allah supaya mendapatkan kebahagiaan akhirat, menghilangkan kebodohan yang ada pada diri dan orang-orang sekitarnya, menghidupkan agama dan untuk menjaga keberlangsungan (kekekalan) agama.
Setelah itu, Imam al Zarnuji dengan menukil syair Sayyidina Ali menyebutkan, ada enam komponen penting sebagai syarat yang harus dipenuhi oleh pencari ilmu. Pertama, kecerdasan. Kecerdasan ini ada yang sifatnya paten pemberian Allah seperti kuatnya hafalan, dan ada kecerdasan yang sifatnya muktasab (bisa diusahakan) dengan cara mencatat, mengulang materi, berdiskusi, mudzakarah dan model pendalaman materi yang lain.
Kedua, bersungguh-sungguh. Semangat dan kesungguhan yang kuat menjadi kunci penentu yang kedua untuk suksesnya seseorang dalam mencari dan menguasai ilmu agama. Tanpa hal ini, mustahil akan mampu menguasai dan memahami ilmu agama secara sempurna. Siapa yang bersungguh-sungguh pasti dapat maraih tujuannya.
Ketiga, sabar. Untuk menguasai ilmu pengetahuan secara baik dibutuhkan kesabaran. Harus berproses dan tidak bisa diperoleh secara instan. Harus melalui fase-fase tertentu dan pasti diuji dengan cobaan yang menjadi aral rintangan. Dalam al Qur’an Allah sendiri menjelaskan pentingnya sabar. Ia akan mengantar manusia untuk melewati batu uji dan palang rintang yang menghadang.
Keempat, harus memiliki bekal atau biaya. Kecil ataupun besar, biaya untuk pendidikan harus ada. Minimal untuk makan. Walaupun di zaman sekarang ini ada program pendidikan gratis sampai jenjang tingkat atas, namun bagaimanapun para penuntut ilmu tidak akan lepas dari yang namanya biaya.
Kelima, bimbingan seorang guru. Terutama ilmu agama Islam, wajib belajar kepada seorang guru profesional, seperti para ulama, kiai dan ustad. Belajar ilmu agama tidak boleh secara otodidak sebab potensi kesalahannya sangat signifikan. Banyak fakta membuktikan, mereka yang belajar ilmu agama secara otodidak memahami agama secara parsial sehingga berakibat fatal. Sesat dan menyesatkan.
Keenam, waktu yang lama. Belajar ilmu, lebih-lebih ilmu agama Islam tidak bisa ditempuh dalam waktu yang singkat. Walaupun ada beberapa metode cepat membaca dan memahami kitab-kitab berbahasa Arab, hal itu hanya sebatas pemahaman dasar yang masih sangat butuh pendalaman.
Oleh karena itu, konsep “tuntutlah ilmu sejak lahir sampai masuk liang lahat” bukanlah sesuatu yang tanpa makna. Menuntut ilmu dalam waktu yang lama menjadi wajib supaya mampu memahami ilmu agama secara baik. Jalan pintas seperti belajar memakai terjemahan merupakan kesalahan fatal. Sehingga terjadi fenomena Ustad seperti yang dilakukan oleh Evie Effendi minim kapasitas tetapi dengan sejuta popularitas.
Oleh karena itu, sebagai penutup, layak kita simak apa yang disampaikan oleh Al Qadhi ketika ia ditanya, “Sampai kapan seseorang harus menuntut ilmu”?. Beliau menjawab, “Sampai ia meninggal dan tempat tintanya tertuang ke dalam liang lahadnya.
Jangan menambah dosa dengan menyesatkan diri sendiri karena sering menuduh bid’ah orang lain, padahal ilmu agama yang dimilikinya membatasi diri dalam lingkup sempit sehingga tidak mampu membaca apa yang telah orang baca. Dan, jangan menumpuk dosa dengan menyesatkan orang lain bermodal ilmu yang secuil itu.
Ilmu agama berbeda dengan ilmu lainnya yang bisa dipelajari secara otodidak. mempelajari ilmu agama harus dengan bimbingan guru dengan kapasitas yang diakui. Jika hanya belajar otodidak kemudian membuka praktek pengajian bukan tidak mungkin seperti dokter gadungan yang melakukan mal-praktik.
Guru, dai, ustad dan ulama lebih penting posisinya dari pada dokter karena memberikan kesehatan jiwa dan ilmu. Jika dokter malprakteknya sudah sangat dilarang, bagaimana dengan ustad mal-praktek?
‘Ala kulli hal, tentu saja niat baik untuk memberikan ilmu harus diapresiasi. Namun, jangan sampai ilmu yang minim akan menghantarkan seseorang dalam jurang kesesatan. Berhati-hatilah.