Bagaimana pandangan Islam tentang demonstrasi? Lalu, adakah memang aturan dalam demonstrasi? Bagaimana apabila demonstrasi berujung pada anarki?
Masih ingatkah dengan Lutfi Alfiandi. Namanya melegenda saat aksi demo di DPR, Sepetember 2019. Namanya juga beberapa kali menjadi trending topic di sosial media. Tagar Bebaskan Luthfi pun, beramai-ramai dipropagandakan oleh khalayak warganet. Ia pun telah dapat menghirup angin kebebasan sekarang.
Dalam kasus Lutfi, kenapa potret demonstrasi saat ini justru harus berurusan dengan hukum? Salahkan dengan demonstrasi atau ada yang salah dengan cara demonstrasi? Apakah memang ada aturan demontrasi dalam Islam?
Direncanakan Persaudaraan Alumi (PA) 212 juga akan menggelar aksi pada 21 Februari 2020. Kelompok yang mendadak terkenal dari hikmah kasus Ahok ini memang kerap memanfaatkan kode angka tanggal dan bulan untuk menggelar aksi. Sudah kesekian kalinya beraksi dan tentunya simbol-simbol agama menjadi bagian penting dari aksi ini.
Saya ingin kembali mengetengahkan perbincangan bagaimana pandangan Islam tentang demonstrasi? Lalu, adakah memang aturan dalam demonstrasi? Bagaimana apabila demonstrasi berujung pada anarki?
Demonstrasi adalah bagian dari demokrasi. Keduanya adalah persoalan kontemporer yang jelas jika dirujuk dalam khazanah keislaman sangat sulit dilacak secara eksplisit. Namun, banyak sekali rujukan keagamaan yang memiliki kesamaan semangat yang bisa diimplementasikan.
Apabila kita komitmen mengatakan tidak ada kontradiksi antara Islam dengan demokrasi, maka kita pun harus konsisten tidak ada hukum haram dalam demonstrasi karena ia bagian integral dari instrument demokrasi. Demonstrasi adalah instrument penting dalam menyuarakan aspirasi rakyat.
Lalu, bagaimana sebenarnya fikih melihat demonstrasi? Demonstrasi adalah penyampaian aspirasi, koreksi dan protes yang dikemukakan secara massal melalui unjuk rasa. Demontrasi menurut Dr. Wahbah al-Zuhaili, adalah bagian dari bentuk kebebasan berpendapat, menurutnya, kebebasan berpendapat adalah prinsipil.
Demonstrasi adalah instrument yang menyediakan seseorang atau kelompok untuk menyatakan kebenaran dengan tegas tanpa dibayang-bayangi oleh rasa takut kepada siapapun. Demi terwujudnya prinsip ini Rasulullah memberikan motivasi dalam sabdanya:
قل الحق ولو كان مرا
“Katakan yang benar walau pahit akibatnya”. HR: Ibnu Hibban:NO 362
Dalam konteks inilah, sebenarnya menyatakan kebenaran dalam bentuk aspirasi dan perjuangan rakyat adalah sesuatu yang sah dan penting dilakukan. Seorang pemimpin dalam Islam juga tidak boleh kebal kritik dan aspirasi.
Sebagaimana terinspirasi dari hadits ini Umar Ibn al-Khaththab berkata tegas dalam sebuah pidato politiknya:
“Rakyatku, siapapun yang mendapatkan ada yang ganjil pada kebijakan saya, hendaknya ia memperbaikinya” seorang A’rabi lalu menimpalinya: Demi Allah, wahai amirul mukminin, seandainya aku jumpai ada yang ganjil pada kebijakanmu, aku akan memeperbaikinya dengan pedangku ini”. Al-Fiqh al-Islam Wa Adillatuh, 8/332.
Dalam dimensi yang lebih relijius menyatakan pendapat baik perorangan maupun kelompok melalui demonstrasi bisa dikatakan bagian dari jihad. Rasulullah mengatakan bahwa jihad yang paling utama. sabdaNya:
عن أبي أمامة أن رجلا قال عند الجمرة : يا رسول الله أي الجهاد أفضل ؟ قال : أفضل الجهاد كلمة حق عند سلطان جائر
“Dari Abu Umamah bahwa seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah saat ia lempar Jumrah: wahai Rasulullah, jihad apakah yang paling utama? Rasul menjawab; jihad yang paling utama adalah menyampaikan kebenaran kepada penguasa yang lalim”. HR: Thabrani, No: 8081.
Namun, penting dikemukakan bahwa menyatakan pendapat tentang kebenaran dan menyampaikan aspirasi bukan berarti melakukan pembangkangan. Demonstrasi bentuk perlawanan terhadap kebijakan yang dianggap salah, tetapi bukan pembangkangan.
Persoalan pembangkangan dan makar menjadi persoalan lain. Pembangakan dan menolak kepemimpinan dalam arti makar sangat dilarang dalam Islam. Dari lbnu Abbas Ra bahwasanya Rasulullah bersabda, ” Barang siapa membenci sesuatu hal dari pemimpin mukmminnya, maka hendaklah ia bersabar. Sesungguhnya siapa yang keluar dari ketaatan kepada penguasa mukmin walau sejengkal, niscaya ia mati seperti cara mati orang jahiliyah.” (HR. Muttafaq ‘alaih).
Karena itulah, koridor penyampaian kebenaran sebagai jihad dalam Islam bukan berarti membolehkan tidak ada ketaatan kepada pemimpin. Demonstrasi adalah bagian dari penyampaian aspirasi, tetapi bukan untuk melakukan subversi.
Prinsip-prinsip Demonstrasi dalam Islam
Persoalan selanjutnya, yang kadang luput dari demonstrasi yang akhirnya berujung pada persoalan hukum adalah metode. Dalam Islam memperjuangkan kebenaran harus pula dengan cara benar. Tidak bisa dikatakan bahwa memperjuangkan aspirasi bisa dilakukan menghalalkan segala cara.
Pertama, demonstrasi harus mementingkan kepentingan orang lain. Demonstrasi tidak boleh mengganggu kepentingan umum apalagi merusak fasilitas publik. Mencegah keburukan dalam hal ini menjadi lebih utama didahulukan dari pada meraih kemashlatan. Jika demonstrasi berpotensi disusupi dengan oknum kekerasan, sebaiknya aksi itu tidak dilakukan.
Kedua, tidak ada caci maki dan perkataan kotor dalam aksi. Inilah yang sering terjadi. Emosi massa kerap menutup kesadaran dan akal sehat. Berteriak-teriak dalam demonstrasi malah acapkali bukan menyampaikan aspirasi tetapi justru makian.
Lihat contoh dalam dalam surah Thaha Allah SWT secara jelas memerintahkan kepada Nabi Musa dan Harun untuk mendatangi raja Fir’aun dan menasehatinya dengan lemah lembut. Allah SWT berfirman : Artinya: Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya ia telah melampaui batas; Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata – kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut. (QS. Thaha : 43-44)
Dalam menyampaikan kepada raja Lalim seperti Fir’aun saja Allah memerintahkan untuk mengutarakan perkatan yang baik dan lemah lembut, apalagi kepada pemimpin.
Ketiga, jika ulama dan agamawan melakukan penyampaian kebenaran sebaiknya dilakukan tidak di tengah jalan berbicara lantang apalagi mengumbar makian dan menunjukkan kebencian terhadap pemimpin. Tokoh agama adalah panutan.
Rasulullah telah memberikan tuntunan yang baik dan etika yang sangat tinggi dalam urusan menasehati pemimpin, seperti sabda nabi berikut ini :
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِيْ سُلْطَانٍ فَلاَ يُبْدِهِ عَلاِنِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوْ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلاَّ كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِيْ عَلَيْهِ
“Barang siapa ingin menasihati seorang penguasa maka jangan ia tampakkan terang-terangan, akan tetapi hendaknya ia mengambil tangan penguasa tersebut dan menyendiri dengannya. Jika dengan itu, ia menerima (nasihat) darinya maka itulah (yang diinginkan, red.) dan jika tidak menerima maka ia (yang menasihati) telah melaksanakan kewajibannya.” (Sahih, HR. Ahmad, Ibnu Abu ‘Ashim).
Hadist Nabi ini bisa diterjemahkan dalam konteks kekinian bagaimana ulama dan tokoh agama atau gerakan yang mengatasnamakan agama untuk melakukan audiensi dengan para pemimpin dengan tidak membuat kegaduhan dalam menyampaikan kebenaran.
Simpulannya: demonstrasi adalah hak umat untuk menyampaikan aspirasi yang benar. Dan Demonstrasi adalah prinsip perpolitikan Islam (siyasah al-Islamiyyah) sebagai kontroling kebijakan penguasa yang tidak pro rakyat. Namun begitu, menyampaikan aspirasi harus tetap dalam koridor syari’at. Tidak melakukan aksi yang anarkis apalagi mengganggu kemaslahatan orang lain.
Al-Ghazali menegaskan, demonstrasi yang merugikan pihak lain hingga menimbulkan bahaya pada orang lain hukumnya tidak boleh, tetapi bila dilakukan dengan cara yang santun, sesuai dengan aturan yang ada, menurutnya, hukumnya boleh. Ihya’ ‘Ulum al-Din, 2/338.
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah