asmara
asmara

Fikih Gender (6) : Gejolak Asmara antara laki laki dan Perempuan dalam Islam

Manusia secara fitrahterlahir sebagai makhluk sosial. Ia senantiasa akan membutuhkan masyarakat (orang lain) dalam kehidupannya. Jika tidak, maka ia akan menjalani kehidupannya dengan kevakuman tanpa vitalitas dan kegembiraan berarti.

Mahmut Saltuth mengatakan Allah memerintahkan kita untuk berinteraksi secara sosial dan bekerja demi kepentingan sosial. Harus ada ikhtilath ( pergaulan), ta’aruf (saling mengenal), ta’awun (saling tolong menolong), dan mubadalah (saling memberi dan menerima) dalam proyek pemakmuran dunia.  (Al-Islam Aqidah Wa Syari’ah, 258).

Firman Allah “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS : Al-Hujurat:13).

Menurut al-Jazairi, ayat ini memerintah agar saling mengenali bukan saling membanggakan kelebihan, kehormatan, kekuatan dan lain sebagainya. Artinya secara tersirat laki laki diharuskan mengenali kemampuan terpendam perempuan, memahami talenta perempuan bukan malah melecehkan, mempersoalkan keterbatasan  atau bahkan membunuh karakter perempuan. ayat ini juga sekaligus himbauan untuk menjalin interaksi positif antara laki laki dan perempuan (Aysar al-Tafasir, 4/122).

Dari sini, jelas bahwa hidup dalam sebuah komunitas sosial secara positif akan mampu menumbuhkan perasaan sosial, yaitu kebutuhan berteman, berkawan dan bergaul yang merupakan preamble dari ‘persahabatan kemanusiaan yang nyata dan sejati’.

Tak jarang persahabatan harus bermuara pada perasaan senang kepada lain jenis (kelamin), atau yang sering diistilahkan dengan ‘asmara’. Dalam lapangan pergaulan sosial, baik di tempat kerja, tempat belajar, atau dalam acara acara sosial, terkadang tumbuh dan terjalin hubungan asmara yang biasanya berkelanjutan pada hubungan pacaran.

Asmara ini juga kerap kali berkesinambungan hingga pada jenjang pernikahan konvensional. Allah sendiri tidak menafikan hubungan asmara antara laki laki dan perempuan bahkan dalam rumah rasulpun asmara pernah membara.

Dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, asmara; romantisme,  tampil menawan mencari perhatian, lempar joke memikat pasangan, tampil dengan performa terbaik dan layak, obrolan gombal, basa basi seperlunya ternyata  sudah mentradisi dalam kehidupan laki laki.

Rasulullah sendiri pernah terjebak asmara dan tampil romantis. Menurut cerita Ibnu Ishaq, Suatu hari Rasulullah bertandang ke kediaman zaid Ibn Haritsah. Saat itu Zaid terbaring sakit. Saat yang bersamaan, Zainab Binti Jahsy, Istri Zaid, duduk di sisi kepala Zaid, suaminya. Namun tiba tiba Zainab berdiri untuk mengambil minuman. Pada saat itulah tidak sengaja Rasulullah memandangnya, keanggunan Zainab ternyata menggoda Rasulullah, Rasulpun menundukkan kepala seraya bergumam, “Maha suci Allah, Dzat yang mampu membolak balikkan perasaan (hati) seseorang” . (al-Sair Wa al-Maghazi, 262).

Dalam beberan cerita al-Thabari, Rasulullah terkesima setelah memandang kecantikan Zainab Binti jahsy. Tetapi Rasul menghormati status Zainab sebagai Istri sahnya Zaid Ibn Haritsah. Rasulullah menutup rapat-rapat gejolak asmara yang melanda perasaanNya. (Jami’ al-Bayan, 20/273.).

Maka tatkala Zaid menceraikan Zainab karena satu alasan tertentu, maka Rasulullah menikahi Zainab atas intruksi dari Allah. Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: “Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah”, sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi (QS: al-Ahzab: 37).

Ayat ini sejatinya hendak memberikan informasi bahwa ketertarikan kepada lawan jenis adalah fitrah alias manusiawi, ia tidak bisa dikekang atau bahkan dihadang oleh suatu norma tertentu, termasuk juga norma agama. Agama hanya bisa memberikan rambu rambu bagaimana asmara itu tidak berwujud kemaksiatan.

Keinginan untuk selalu bertemu, dan mencari perhatian memang sudah tertanam dalam diri setiap manusia, laki laki dan perempuan. Jika laki laki terpikat kepada perempuan, maka perempuan juga tertarik kepada laki laki. Sebab perempuan adalah hiasan bagi laki laki dan sebaliknya.

Hubungan emosional dan hiasan lebih berdasarkan atas ajakan dan respon dari kedua belah pihak tanpa ada paksaan dari pihak lain. Sesungguhnya, asmara yang mendekam dalam persaan seseorang adalah pesan ilahiyah untuk mengantarkan seseorang lebih akrab lagi dengan Allah.

Bagikan Artikel ini:

About Abdul Walid

Alumni Ma’had Aly Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo Situbondo

Check Also

hewan yang haram

Fikih Hewan (1): Ciri Hewan yang Haram Dimakan

Soal halal-haram begitu sentral dan krusial dalam pandangan kaum muslimin. Halal-haram merupakan batas antara yang …

tradisi manaqib

Tradisi Membaca Manaqib, Adakah Anjurannya ?

Salah satu amaliyah Nahdhiyyah yang gencar dibid’ahkan, bahkan disyirikkan adalah manaqiban. Tak sekedar memiliki aspek …