UUD 1945, pasal 6 ayat (1), menyatakan bahwa untuk dapat menduduki jabatan presiden atau kepala negara republik Indonesia seseorang harus orang Indonesia asli, dengan tidak ada persyaratan jenis kelamin. Dengan penegasan ini, baik laki-laki dan perempuan masing-masing memiliki kesempatan yang sama untuk menduduki jabatan tertinggi di negara ini. Tidak ada sekat gender untuk jabatan presiden sebagaimana diamanahkan oleh UUD 1945.
Tetapi kenyataan seringkali berbicara lain. Pada musim politik diskriminasi terhadap hak politik kaum perempuan kerap terjadi. Selalu ada sekelompok orang yang menarasikan ketidakabsahan perempuan menjadi pemimpin dengan justifikasi dalil agama.
Beberapa kalangan selalu menegasikan peran perempuan dalam kepemimpinan dengan menyandarkan pada hadits Nabi yang melarang perempuan menjadi pemimpin. Hadits riwayat Bukhari, Ahmad, Nasa’i dan Tirmidzi berbunyi suatu ketika Nabi bersabda: “Tidak akan sejahtera suatu kaum jika perempuan yang memerintah mereka”.
Dalil ini akan ramai dan dipromosikan ketika ada kontestasi politik apalagi jika ada seorang perempuan yang tampil sebagai kontestan. Lalu, pertanyaannya, apakah memang perempuan tidak mempunyai hak memimpin dalam Islam?
Untuk memahami hadits ini terlebih dulu harus mengetahui setting sosial yang melatarinya. Setting sosial (asbabun wurud) suatu hadits penting diketahui supaya memberikan pemahaman yang komprehensif. Karena itu, apakah benar hadits di atas melarang perempuan menjadi pemimpin secara mutlak atau tidak butuh kajian mendalam.
Kriteria Pemimpin dalam Islam
Namun, sebelum ke sana ada baiknya kita membaca dalil-dalil dari ayat al Qur’an tentang nasbul imam (mengangkat pemimpin). Dalam buku Fikih Tata Negara; Upaya Mendialogkan Sistem Ketatanegaraan Islam KH. Dr. (HC) Afifuddin Muhajir, menyebut prinsip dalam menentukan calon pemimpin adalah kapabilitas (quwwah) dan integritas (amanah). Fungsi seorang pemimpin menurut Islam adalah pelanjut tugas pokok kenabian, yakni menjaga agama dan mengatur dunia.
Dengan demikian, pemimpin dalam Islam tidak dibatasi oleh sekat-sekat sosial; ras, suku dan gender. Pemimpin dalam Islam bisa lahir dari rahim suku dan ras apapun, dan bisa dari golongan laki-laki atau perempuan. Dalam Islam, basis utama seorang pemimpin adalah kapabilitas dan integritas serta adil. Penilaiannya berdasar pada prestasi, rekam jejak dan lain-lain.
Prinsip-prinsip kepemimpinan tersebut termaktub dalam al Qur’an. Artinya, al Qur’an tidak menjelaskan secara rinci dan jelas persyaratan seorang pemimpin. Ia hanya menjelaskan prinsip-prinsip universal tentang kualifikasi seorang calon pemimpin. Prinsip-prinsip dimaksud adalah al ‘adalah (keadilan), al musawah (kesetaraan), al syura (musyawarah) dan al hurriyyah (kebebasan). Karena demikian, kriteria seorang pemimpin berada dalam ruang ijtihad.
Jadi, jelas Islam tidak melarang seorang perempuan untuk menjadi pemimpin; menjadi presiden, bupati, wali kota dan seterusnya. Lalu, bagaimana dengan hadits di atas?
Memahami Konteks Dalil Larangan Pemimpin Perempuan
Secara khusus hadits larangan perempuan menjadi pemimpin berbicara tentang ratu kerajaan Persia bernama Buwaran binti Syairawaih bin Kisra. Kisra adalah raja Persia yang pernah merobek surat Rasulullah.
Ibnu Hajar al ‘Asqalani dalam Fathul Bari menulis, saat itu, Rasulullah mengirim surat kepada Kisra, mengajak untuk memeluk Islam. Namun setelah membaca surat tersebut, ia menolak dan bahkan merobek-robek surat Nabi Muhammad. Menurut riwayat Ibnu Musayyab, setelah Nabi mengetahui hal itu, beliau bersabda: “Siapa saja yang telah merobek-robek surat saya, akan dirobek-robek (diri dan kerajaan) orang itu”.
Tidak lama kemudian, kekacauan terjadi di kerajaan Persia. Saling bunuh terjadi di kalangan keluarga kerajaan karena ambisi tahta. Akhirnya, Buwaran binti Syairawaih diangkat menjadi ratu karena ayahnya yang berhak atas tahta itu menjadi korban pembunuhan dan anak laki-lakinya (saudara Buwaran) juga dibunuh.
Ketika kabar itu sampai pada Rasulullah, beliau mengatakan: “Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan”.
Kesimpulannya, hadits di atas adalah komentar Rasulullah terhadap ratu Persia, Buwaran binti Syairawaih bin Kisra. Tidak secara khusus melarang perempuan menjadi pemimpin. Riwayat lengkap hadits di atas adalah berikut ini.
Dari Utsman bin Haitsam dari Auf dari Hasan dari Abi Bakrah berkata: “Allah memberikan manfaat kepadaku dengan sebuah kalimat yang aku dengar dari Rasulullah pada suatu hari menjelang Perang Jamal, setelah aku hampir membenarkan mereka (Ashabul Jamal) dan berperang bersama mereka. Ketika sampai kabar kepada Rasulullah bahwa bangsa Persia mengangkat putri Kisra sebagai pemimpin, beliau bersabda: “Tidak akan beruntung suatu kaum jika perempuan yang memerintah mereka”. (HR. Bukhari).
Satu kaidah menyatakan, “Al ‘Ibrah bi Khusus al Sabab la bi ‘umum al Lafdzi”, yang diperhatikan adalah kekhususan sebab, bukan keumuman teks. Artinya, meskipun hadits di atas berbicara terhadap perempuan secara umum, namun hanya dimaksudkan untuk ratu Persia Buwaran binti Syairawaih bin Kisra.
Dengan nalar seperti ini, hadits di atas tidak bertentangan dengan semangat al Qur’an surat al Taubah ayat 17. Karena memang secara tegas dan jelas tidak ada larangan dalam al Qur’an perempuan menjadi pemimpin.
Karena itulah, dalam kontestasi politik butuh kedewasaan umat beragama agar tidak selalu terjebak pada narasi yang menjegal perempuan dalam memimpin. Banyak kisah perempuan dalam Islam yang sukses menjadi pemimpin. Banyak pula kisah laki-laki yang gagal dalam mengelola kepemimpinan. Tentu saja, kepemimpinan bukan persoalan jenis kelamin, tetapi pada mental dan kapabilutas pemimpin.
Wallahu a’lam
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah